Harianblora.com - Serabi merupakan makanan tradisional manusia bukan makanan sapi. Namun, di Blora ada kaitan erat antara serabi dan sapi. Serabi terbuat dari tepung beras dan dipanggang menggunakan kwali, biasa dijajakan di pasar-pasar tradisional. Siapa sangka serabi menjadi lambang sakral bagi kelompok masyarakat dalam ritual bancakan weton sapi.
Ritual ini dinamakan “Tradisi Wetonan Sapi”, ada di Desa Sembongin,
Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Tradisi dimana masyarakat satu desa
serentak membuat serabi di bulan Suro tepatnya hari Jumat Pahing. Menurut kepercayaan
turun-temurun hari tersebut merupakan weton sapi.
Tradisi ini bertujuan untuk mendoakan kesehatan, keselamatan hewan ternak
sapi. Sapi merupakan mayoritas hewan ternak masyarakat Sembongin dan juga masyarakat
Blora pada umumnya. Sapi tidak hanya dimaknai
sebagai hewan peliharaan, melainkan sebagai harta benda juga pembantu pekerjaan
bagi masyarakat pedesaan seperti halnya di Desa Sembongin. Oleh karenanya,
dalam ritual ini sapi mendapat keistimewaan menikmati serabi yang matang pertama
kali.
Di samping membuat serabi, masyarakat juga membuat tumpengan berisi nasi
uduk berisi lauk dan serabi. Bagi mereka yang tidak memiliki peliharaan sapi, maka
serabi dalam tumpeng diganti dengan jajanan kering ataupun basah.
Lantas masyarakat setempat membawa tumpengan tersebut ke mushola terdekat
untuk didoakan. Doa ditujukan untuk mendapat keberkahan hidup terkhusus
keselamatan dan kesehatan hewan peliharaan. Biasanya hal ini dipimpin oleh kyai
desa.
Setelah berdoa, masyarakat secara bersama-sama menikmati tumpengan yang
telah tersaji. Kebersamaan menjadikan masyarakat setempat rukun dan damai. Hal
ini menampakkan sisi penting kearifan local, yaitu menciptakan keseimbangan
hidup, berupa kerukunan dan kedamaian.
Di samping itu juga di jaman yang modern seperti sekarang, adat
istiadat sudah mulai luntur. Jika tidak dilestarikan kemungkinan besar di masa
depan anak cucu kita sudah tidak mengenal tradisi ini lagi. Hal yang sangat
disayangkan untuk kehilangan nilai-nilai budaya luhur.
Masa Depan Tradisi Serabi
Jaman modern seperti ini, pelaku budaya akan sangat mempertanyakan
eksistensi perilaku yang telah menjadi tradisi. Demikian halnya tradisi serabi.
Bagi masyarakat yang meyakini makna penting dari tradisi tersebut, langsung
maupun tidak langsung, akan memperhatikan atau malah mengkhawatirkan
kelestarian tradisi tersebut.
Kelestarian suatu tradisi dapat
diukur berdasarkan ciri-ciri unsur budaya daerah potensial sebagai local genius
menurut Moendardjito (dalam Avatrohaedi 1986:40-41) tentang kemampuan budaya
bertahan sampai era sekarang. Ciri-cirinya adalah :
Mampu bertahan terhadap budaya luar
Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
Mempunyai kemampuan mengendalikan
Mampu memberi arah pada perkembangan budaya
Seperti tradisi serabi ini, tradisi yang telah berlangsung berabad-abad
dan masih bertahan sampai sekarang di era yang sudah modern. Meskipun tradisi
kuno, namun tradisi ini masih dipatuhi
oleh sebagian masyarakat. Banyaknya budaya baru yang bermunculan, sedikit
banyak menjadikan tradisi-tradisi yang telah ada mulai memudar. Sebagai
genarasi penerus, harus pandai mempertahankan budaya local serta menyaring pengaruh
budaya luar yang memberikan efek negatif maupun positif bagi generasi anak cucu.
Sebagai contoh, dahulu saat saya kecil, bersama teman-teman seumuran sangat
antusias saat menjelang tradisi serabi ini, dengan antusias yang tinggi berlari
ke mushola untuk mengikuti runtutan acara. Anak-anak kecil mungkin hanya
memaknai tradisi seperti ini sebagai tradisi makan-makan karena tersaji banyak
tumpengan, tanpa tahu makna dari tradisi tersebut. Di sisi lain, dengan adanya
pengenalan tradisi sejak kecil, dimaksudkan agar di masa mendatang mereka akan menjaga
kelestarian salah satu kekayaan bangsa ini. Namun paradigma di jaman modern
seperti sekarang, hal ini sudah mengalami pergeseran.
Banyak dari anak-anak maupun pemuda di Desa Sembongin yang kini sudah
mengabaikan tradisi ini. Mereka lebih tertarik untuk bermain gadget ataupun hiburan
popular lainnya. Berkebalikan dengan kondisi belasan tahun lalu, dimana
antusiame tertinggi oleh anak-anak untuk meramaikan tradisi ini, sekarang orang
tua yang khidmat mengikuti sementara hanya segelintir anak yang bersedia ikut
serta.
Sebagai warisan leluhur tentu tradisi serabi tidak berubah wajah
aslinya sedari dulu. Wajah asli budaya masyarakat Jawa. Oleh karenanya jelas
tradisi ini tidak tercampuri oleh budaya luar maupun populer. Namun, sudah
pasti kelestariannya sedikit banyak terpengaruh oleh perilaku budaya populer
yang menjadi candu para pemuda hingga anak-anak di era modern.
Sejauh kelestarian tradisi serabi tetap bertahan meskipun dengan
rongrongan budaya populer, tradisi ini menyimpan kemampuan mengendalikan
perilaku masyarakat. Ialah laku menghargai sesama makhluk hidup –dalam hal ini
terkhusus hewan sapi- demi keseimbangan alam serta mempertahankan kerukunan
warga dan tabiat berbagi rezeki melalui tumpeng yang disajikan. Penulis
menjamin semua laku ini terpelihara sepanjang tradisi serabi dilestarikan.
Laku mulia seperti tersebut di atas dapat menjadi pagar diri sekaligus tuntunan menghadapi perkembangan jaman. Itulah makna penting kearifan lokal dalam posisi kita sebagai sebuah bangsa. Sedangkan tradisi serabi ini dalam perkembangan jaman terbukti memiliki ketahanan nilai yang berguna bagi kehidupan tanpa menutup fakta semakin terkikis eksistensinya oleh banyak perilaku populer. (Septika Dewi Nuryanti).
0 comments:
Post a Comment