Ilustrasi |
Oleh Sunardi, S. Hum.
Alamat Ds. Semawur, RT/RW:04/01, Kec. Ngawwen, kab. Blora
Harianblora.com - Dalam
perkembangannya wilayah administrasi suatu daerah selalu mengalami perubahan
dan perkembangan. Dari masa kerajaan hingga masa kolonial luas suatu daerah
terjadi perubahan dalam proses dinamika kewilayahan. Begitu juga dengan
Kabupaten Blora yang memiliki potret perubahan wilayah yang begitu jelas namun
belum banyak diketahui oleh khalayak umum.
Pada
abad XVI, Blora merupakan suatu daerah dibawah kekuasaan Kadipaten Jipang
Panolan. Adapun Kadipaten Jipang pada waktu itu termasuk wilayah Kerajaan Demak.
Jipang Panolan diperintah oleh seorang Adipati bernama Aria Penangsang. Oleh
karena ia menguasai Jipang disebut pula Aria Jipang. Daerah kekuasaan Aria
Jipang cukup luas sebab meliputi Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Aria
Penangsang masih berhubungan keluarga raja Demak sebab ia kemenakan Pangeran
Trenggana, raja Demak. Setelah Pangeran Trenggana wafat, tahta kerajaan Demak
diwarisi oleh Sunan Prawata dan dilanjutkan oleh Jaka Tingkir (Hadiwijaya) yang
akhirnya memindahkan pusat kerajaan di Pajang, Sala. Dengan demikian Blora
masuk kerajaan Pajang.
Keberadaan
Kerajaan Pajang tidak bertahan lama, sebab direbut oleh Kerajaan Mataram yang
berpusat di Kotagede, Yogyakarta. Dengan pindahnya pusat kerajaan ke
Yogyakarta, maka daerah yang jauh dari pusat benyak melepaskan diri, termasuk
daerah Blora. Oleh sebab itu, raja Senapati (1586-1601) sebagai raja Mataram
pertama berusaha memasukkan daerah yang jauh kembali ke wilayah kekuasaannya,
termasuk Blora. Sehingga pada akhirnya Blora termasuk wilayah Mataram bagian
timur atau Bang Wetan.
Pada
waktu Raja Sultan Agung (1613-1645) mengadakan pembagian wilayah Mataram
menjadi daerah Kutagara, Negara Agung, Mancanegara, dan Pesisiran, Blora
termasuk daerah Mancanegara Timur. Pada
masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora diberikan kepada
puteranya Pangeran Blitar sebagai apanage dan ia diberi gelar Adipati. Luas
Blora waktu itu 3.000 karya (1
karya = ¾ hektar, jadi luas Blora ketika itu 3.000 karya = 3.000 x ¾ hektar =
2.250 hektar).
Memasuki periode pemerintahan Hindia Belanda kondisi wilayah Blora
mengalami perubahan yang kesekian kalinya.
Berdasarkan
Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, Blora masuk dalam Karesidenan
Rembang yang memiliki 6 distrik yaitu Blora, Panolan, Randublatung, Ngawen,
Karangjati, dan Jepon. Dalam buku Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek
van Nederlandsch Indie,Tweede Deel dijelaskan bahwa;
Blora
merupakan salah satu kabupaten di Jawa yang terletak di bagian selatan-barat
Rembang. Daerah ini berbatasan dengan Bojonegoro disebelah timur, Tuban
disebelah utara, Gerobogan disebelah barat dan Ngawi disebelah timur. Blora
terdiri dari enam distrik, yaitu Blora, Panolan, Randu Blatong atau Blandong,
Ngawen, Karang Djati dan Djepon. Kabupaten ini memiliki jumlah penduduk
sebanyak 62.235 jiwa, yangmana 14 orang dari Eropa, 401 orang China, 61.806
orang Jawa dan 14 orang Arab dan Melayu. Daerah ini merupakan daerah yang
memiliki hutan luas dan ini menjadi potensi tersendiri dalam proses penunjang
pembangunan. Orang yang memimpin daerah ini disebut Bupati, seorang Pendeta,
Ulama’, Controlir, dan Kepala Gudang yang telah ditugaskan. Dulu wilayah ini luas,
tetapi pada tahun 1831 Rndu Blatong masuk ke wilayah bagian Madiun.
Blora
merupakan distrik di Jawa, Karesidenan Rembang, Kabupaten Blora. Daerah ini
dipenuhi dengan hutan jati yang luas. Populasi penduduknya mencapai 4.400 jiwa.
Di distrik ini masih ditemukan sisa-sisa bangunan kota tua dan kuil. Blora
merupakan ibukota dari Kabupaten Blora di Jawa, di Karesidenan Rembang.
Jaraknya 25 pal dari Rembang, 47 pal dari Bodjonegoro, dan 77 pal dari Tuban.
Panolan,
salah satu distrik di Jawa, Karesidenan Rembang, Kabupaten Blora, di bagian
selatan-barat yang dihuni oleh 10.000 jiwa. Desa utamanya yaitu Plunturan di
Tepu, sebuah desa yang terletak di jalan
Rembang arah Madiun, 8 pal (1 pal = 1,506 km) dari Madiun dan 15 pal dari Ngawi
yang terletak di sebelah tenggara distrik. Plunturan merupakan desa dan stasiun
pal di Jawa, Karesidenan Rembang, Kabupaten Blora, distrik Panolan. Yangmana
memiliki jarak sekitar 21 pal dari Blora, 43 pal dari Rembang, dan 23 pal dari
Ngawi, yang terletak di sepanjang jalan Rembang-Madiun (Warto, Blandong,
2001).
Randu
Blatung, daerah Blandong, salah satu distrik di Jawa, Karesidenan Rembang,
Afdeeling Blora, dengan penduduk 4.330 jiwa dan distrik ini pada tahun 1831
termasuk bagian dari Madiun.
Ngawen,
salah satu distrik di Jawa, Karesidenan Rembang, Kabupaten Blora, di distrik
sebelah selatan-barat ini terdapat 13.500 jiwa. Desa utamanya yaitu Ngawen
terletak 34 pal dari Rembang dan 86 pal dari Tuban. Di distrik ini terdapat
sumber daya mineral. Pada tahun 1840 jumlah desa yang ada di distrik Ngawen
tidak sebanyak tahun 1869. Pada tahun ini distrik Ngawen terdiri dari 100 desa
dengan penduduk 11.603 jiwa atau 3.020 cacah dan 2.247 tenaga kerja petani
laki-laki yang produktif (werkbare mannen). Distrik ini memiliki luas
sawah 10.503,45 hektar dan tanah tegal 1.025,95 hektar.
Karangjati,
distrik dan desa di Jawa, karesidenan Rembang, Kabupaten Blora. Distrik ini
terdapat 17.500 warga. Adapun Djepon merupakan sebuah distrik sekaligus desa di
Jawa, Residen Rembang, Kabupaten Blora. Distrik ini memiliki jarak 48 pal dari
Rembang, 62 pal dari Tuban dan 42 pal dari Bodjonegoro. Adapun Distrik Jepon
(Blora) terdiri dari 58 desa Blandong, dengan jumlah penduduknya 13.108 jiwa
atau 2.538 cacah. Luas tanah sawah yang ada 6.164,20 hektar dan tanah tegal
seluas 673,20 hektar.
Dari setiap distrik ini membawahi beberapa
desa: Distrik Blora membawahi 5 desa, Distrik Panolan membawahi 55 desa, Distrik Randu Blatung membawahi 34 desa, Distrik Ngawen
membawahi 125 desa, Distrik Karangjati membawahi 151 desa dan Distrik
Jepon membawahi 82 desa (Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1865).
Demikianlah
potret singkat wilayah administrasi Kabupaten Blora pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Sehingga dari uraian diatas kita tahu, bahwa ada beberapa
daerah yang merupakan daerah lama yang sudah ada sejaka jaman kerajaan atau
penjajahan dan ada juga daerah yang baru muncul paska kolonial. (Hb44).
0 comments:
Post a Comment