Pati, Harianblora.com - Saat bedah buku yang dihelat Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Dukuhseti, Pati, pembicara bedah buku Hamidulloh Ibda menegaskan bahwa hanya LPS MAHIDA Ngagel, Dukuhseti, Pati yang paling produktif di wilayah Pati.
"Saya sudah survei dan dari data yang saya dapat, belum ada LPS seproduktif LPS MAHIDA. Bahkan, saya memastikan masih sedikit sekolah yang punya LPS," ujar Hamidulloh Ibda penulis buku "Sing Penting NUlis Terus (Panduan Praktis Menulis Artikel dan Esai di Koran)" pada Kamis siang (5/10/2017) di aula MA. MAHIDA Ngagel yang digelar LPS Cendekia dan Penerbit Formaci.
Menurut saya tidak hanya hanya di Pati, kata dia, bahkan di wilayah karesidenan Pati belum ada LPS yang konsisten dan selalu aktif menggelorakan kegiatan literasi. "Saya lihat dari kemarin di FB-nya LPS Cendekia selalu update kegiatan terus. Tapi, ke depan saya harap bisa dikirimkan ke media online atau cetak melalui siaran pers," harap dia.
Kalau sekarang baru berita dan siaran video di FB dan koran di dinding, kata dia, ke depan bisa ditingkatkan dan saya siap membantu.
Ia juga mendorong, ke depan MAHIDA bisa memproduksi buku, baik itu antologi puisi atau cerpen atau buku ringan lainnya sesuai kemampuan pelajar MAHIDA.
Ia menegaskan, bahwa pelajar dan juga aktivis Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Dukuhseti, Pati dilarang buta literasi, khususnya literasi digital sebagai salah satu kemampuan dasar dalam bermedia. Sebab, era yang sekarang masuk era digital, milenial, Z, membawa dampak positif dan negatif. Salah satunya adalah banyaknya berita hoax dan fake, hate speech bertebaran di mana-mana.
Dosen STAINU Temanggung itu juga menegaskan bahwa hakikat manusia tidak hanya makhluk berpikir, rasional atau animal rationale. "Namun manusia itu animal symbolicum atau makhluk yang dapat memahami simbol, menyukai simbol atau makhluk berbahasa," jelas pengajar mata kuliah Filsafat Ilmu tersebut.
Maka dari itu, menurut dia, keunikan manusia itu bisa berbasa secara lengkap, baik huruf konsonan mau vokal, juga bahasa lisan maupun tulisan. "Kalau kita bisa ngomong apa saja, berbahasa Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, dan lainnya. Namun kalau kerbau misalnya, ya hanya seperti itu. Anjing, ya hanya gak guk gitu tok. Tetapi kita manusia diberi kelebihan luar biasa oleh Tuhan dan harus dimanfaatkan," beber pria yang pernah belajar di MA. MAHIDA tersebut.
Buta literasi, menurut dia menjadi awal kemunduran suatu bangsa. Sebab, kemajuan suatu bangsa diawali dari kemajuan berpikirnya. "Maka tujuan belajar yang benar itu tidak meraup ilmu setingginya dan gelar akademik sebanyaknya, tapi menata cara berpikir dan mengubah perilaku," lanjut dia.
Penulis buku Demokrasi Setengah Hati ini juga menegaskan, bahwa saat ini sudah digelorakan gerakan literasi di mana-mana. "Literasi itu bukan sekadar empat kemampuan berbahasa, namun juga berkaitan dengan melek komputer, IT, bahkan cyber. Yang paling saya suka itu, adalah literasi itu dimaknai sebagai segala usaha untuk mendapatkan pengetahuan, termasuk bedah buku ini," lanjut dia.
Ia tidak mengajak peserta untuk menjadi penulis, namun kalau ingin nama mengabadi dan punya karya intelektual harus menulis. "Sekali lagi, tidak ada tokoh besar tanpa tulisan. Alquran saja kalau tidak dibukukan atau jadi mushaf itu, saya yakin Islam tidak berkembang sampai sekarang kok. Jadi betapa pentingnya tulisan itu," tegas pria kelahiran Dukuhseti itu.
Maka, kata dia, saya tidak mengajak teman-teman jadi penulis. "Karena penulis itu sepi materi. Kecuali sekelas Raditya Dika, Asma Nadia atau Tere Liye. Kalau ingin kaya ya bisnis saja. Tapi kalau ingin jadi intelektual ya harus menulis, karena menulis itu investasi ide untuk masa depan," tukas dia.
Kemajuan teknologi sekarang, katanya, bagi saya cuma tiga posisi kita. "Pertama untuk bisnis atau jualan online. Kedua itu kepentingan propaganda dan ketiganya adalah untuk aktualisasi. Nah posisi kita sebenarnya tinggal milih," tegas dia.
Sementara itu, Barorotul Ulfa guru MA. MAHIDA Ngagel pembedah buku menjelaskan secara rinci isi dari buku tersebut. "Buku ini secara umum tidak ada kekurangannya. Dan ketika saya baca, enak kok. Bahasa simpel dan mudah dipahami. Itu tidak hanya saya, namun Bu Eva juga demikian. Pokoknya, semua pertanyaan ada di sini," beber dia.
Kekurangannya, kata dia, buku ini fokus ke opini. "Ya bukan kekurangan sih, justru karena fokus ini menjadi kelebihan," beber mahasiswi Pascasarjana Unnes itu.
Selain itu, ia juga mempertanyakan judul buku yang ada kata NU yang ditulis huruf kapital. Baginya, ini ada nuansa politik yang mengajak pembaca untuk menulis dan menjadi NU.
Usai pemaparan, peserta diajak dialog dan tanya jawab seputar isi buku. Melalui bedah buku ini, ke depan Penerbit Formaci dan LPS Cendekia akan bersinergi menerbitkan buku-buku karya pelajar MA. MAHIDA Ngagel, Dukuhseti, Pati. (HB99/Indra)
"Saya sudah survei dan dari data yang saya dapat, belum ada LPS seproduktif LPS MAHIDA. Bahkan, saya memastikan masih sedikit sekolah yang punya LPS," ujar Hamidulloh Ibda penulis buku "Sing Penting NUlis Terus (Panduan Praktis Menulis Artikel dan Esai di Koran)" pada Kamis siang (5/10/2017) di aula MA. MAHIDA Ngagel yang digelar LPS Cendekia dan Penerbit Formaci.
Menurut saya tidak hanya hanya di Pati, kata dia, bahkan di wilayah karesidenan Pati belum ada LPS yang konsisten dan selalu aktif menggelorakan kegiatan literasi. "Saya lihat dari kemarin di FB-nya LPS Cendekia selalu update kegiatan terus. Tapi, ke depan saya harap bisa dikirimkan ke media online atau cetak melalui siaran pers," harap dia.
Kalau sekarang baru berita dan siaran video di FB dan koran di dinding, kata dia, ke depan bisa ditingkatkan dan saya siap membantu.
Ia juga mendorong, ke depan MAHIDA bisa memproduksi buku, baik itu antologi puisi atau cerpen atau buku ringan lainnya sesuai kemampuan pelajar MAHIDA.
Ia menegaskan, bahwa pelajar dan juga aktivis Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Dukuhseti, Pati dilarang buta literasi, khususnya literasi digital sebagai salah satu kemampuan dasar dalam bermedia. Sebab, era yang sekarang masuk era digital, milenial, Z, membawa dampak positif dan negatif. Salah satunya adalah banyaknya berita hoax dan fake, hate speech bertebaran di mana-mana.
Dosen STAINU Temanggung itu juga menegaskan bahwa hakikat manusia tidak hanya makhluk berpikir, rasional atau animal rationale. "Namun manusia itu animal symbolicum atau makhluk yang dapat memahami simbol, menyukai simbol atau makhluk berbahasa," jelas pengajar mata kuliah Filsafat Ilmu tersebut.
Maka dari itu, menurut dia, keunikan manusia itu bisa berbasa secara lengkap, baik huruf konsonan mau vokal, juga bahasa lisan maupun tulisan. "Kalau kita bisa ngomong apa saja, berbahasa Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, dan lainnya. Namun kalau kerbau misalnya, ya hanya seperti itu. Anjing, ya hanya gak guk gitu tok. Tetapi kita manusia diberi kelebihan luar biasa oleh Tuhan dan harus dimanfaatkan," beber pria yang pernah belajar di MA. MAHIDA tersebut.
Buta literasi, menurut dia menjadi awal kemunduran suatu bangsa. Sebab, kemajuan suatu bangsa diawali dari kemajuan berpikirnya. "Maka tujuan belajar yang benar itu tidak meraup ilmu setingginya dan gelar akademik sebanyaknya, tapi menata cara berpikir dan mengubah perilaku," lanjut dia.
Penulis buku Demokrasi Setengah Hati ini juga menegaskan, bahwa saat ini sudah digelorakan gerakan literasi di mana-mana. "Literasi itu bukan sekadar empat kemampuan berbahasa, namun juga berkaitan dengan melek komputer, IT, bahkan cyber. Yang paling saya suka itu, adalah literasi itu dimaknai sebagai segala usaha untuk mendapatkan pengetahuan, termasuk bedah buku ini," lanjut dia.
Ia tidak mengajak peserta untuk menjadi penulis, namun kalau ingin nama mengabadi dan punya karya intelektual harus menulis. "Sekali lagi, tidak ada tokoh besar tanpa tulisan. Alquran saja kalau tidak dibukukan atau jadi mushaf itu, saya yakin Islam tidak berkembang sampai sekarang kok. Jadi betapa pentingnya tulisan itu," tegas pria kelahiran Dukuhseti itu.
Maka, kata dia, saya tidak mengajak teman-teman jadi penulis. "Karena penulis itu sepi materi. Kecuali sekelas Raditya Dika, Asma Nadia atau Tere Liye. Kalau ingin kaya ya bisnis saja. Tapi kalau ingin jadi intelektual ya harus menulis, karena menulis itu investasi ide untuk masa depan," tukas dia.
Kemajuan teknologi sekarang, katanya, bagi saya cuma tiga posisi kita. "Pertama untuk bisnis atau jualan online. Kedua itu kepentingan propaganda dan ketiganya adalah untuk aktualisasi. Nah posisi kita sebenarnya tinggal milih," tegas dia.
Sementara itu, Barorotul Ulfa guru MA. MAHIDA Ngagel pembedah buku menjelaskan secara rinci isi dari buku tersebut. "Buku ini secara umum tidak ada kekurangannya. Dan ketika saya baca, enak kok. Bahasa simpel dan mudah dipahami. Itu tidak hanya saya, namun Bu Eva juga demikian. Pokoknya, semua pertanyaan ada di sini," beber dia.
Kekurangannya, kata dia, buku ini fokus ke opini. "Ya bukan kekurangan sih, justru karena fokus ini menjadi kelebihan," beber mahasiswi Pascasarjana Unnes itu.
Selain itu, ia juga mempertanyakan judul buku yang ada kata NU yang ditulis huruf kapital. Baginya, ini ada nuansa politik yang mengajak pembaca untuk menulis dan menjadi NU.
Usai pemaparan, peserta diajak dialog dan tanya jawab seputar isi buku. Melalui bedah buku ini, ke depan Penerbit Formaci dan LPS Cendekia akan bersinergi menerbitkan buku-buku karya pelajar MA. MAHIDA Ngagel, Dukuhseti, Pati. (HB99/Indra)
Wah, ini keren banget..
ReplyDelete