Suasana seminar di STAINU Temanggung. |
Dalam artikel bertajul “Konsep Hubbul Wathan Minal Iman dalam Pendidikan Islam sebagai Marwah Nasionalisme” itu, Ibda menegaskan bahwa selama ini banyak orang salah kaprah tentang konsep Hubbul Wathan. “Ada yang mengatakan ini ayat Alquran, padahal ini rumusan kiai NU untuk membangkitkan spirit nasionalisme dalam melawan penjajah. Dalam artikel ini, saya membaginya ada tiga fase. Mulai sebelum, sesudah kemerdekaan dan era sekarang,” beber dia.
Ia juga membeberkan, bahwa urgensei penerapan Hubbul Wathan dalam pendidikan Islam adalah seratus persen. “Pertentangan antara nasionalisme dan spirit keagamaan makin kacau karena ditunggangi kepentingan politik. Ditambah benturan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Adanya kelompok pengusung spirit negara Islam justru memperkeruh kondisi bangsa. Padahal memegang nasionalisme dan Pancasila sudah sangat islami dan bukan pula melenceng dari substansi Islam itu sendiri,” beber mantan Ketua IPNU tersebut.
Adanya kelompok radikal, lanjut dia, konservatif, kaku, yang ingin menegakkan khilafah, negara Islam dan sistem syariah. “Kita juga harus melihat, bahwa Indonesia dengan Arab, Mesir, Yaman beda. Di Nusantara ini, tidak ada yang urgen untuk mendirikan negara Islam, daulah islamiyah, Islamic state atau pun khilafah. Sebab, hukum Islam tidak bergantung pada adanya suatu negara, melainkan masyarakat dapat memberlakukan hukum agama dalam sebuah negara berbentuk apa saja. Dan Islam tidak harus menjadi sebuah negara, karena yang harus ditonjolkan seharusnya adalah nilai-nilainya, spirit dan substansinya,” beber dia.
Dalam sejarah Islam, menurut dia, nasionalisme tidak bisa lepas dari lahirnya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang oleh para pakar politik Islam sekaliber Montgomery Watt pada 1988 dan Bernard Lewis pada 1994 yang dianggap sebagai embrio lahirnya negara nasional atau nation state dan menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin negara dan tidak sekadar menjadi pemimpin agama. “Pembentukan Piagam Madinah itu, tidak hanya dinikmati umat Islam, namun juga dari kaum Yahudi, Nasrani dan umat yang masih menyembah berhala. Jadi, faham nasionalisme itu sudah lahir sejak zaman nabi,” jelasnya.
Ia juga menyinggung sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia. "Dari artikel saya, ada tiga jenis nasionalisme, yaitu nasionalisme Islam, kebudayaan dan nasionalisme radikal. Salah satu pelopor nasionalisme kebudayaan adalah Budi Utomo (BU). Sementara organisasi yang mengusung nasionalisme berbasis pemurnian Islam, yaitu Syarikat Islam (SI) dulu bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian pada 4 Juli 1927 Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan wadah nasionalisme modern yang radikal. Ideologi partai tersebut nasional radikal, yang dalam pandangan Bung Karno dianggap kekuatan bangsa Indonesia terletak pada Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme (NASAKOM).
“Setelah itu, diikuti kelahiran banyak organisasi, baik yang bercorak keagamaan, politik maupun kepemudaan, seperti Muhammadiyyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), Christelijke Ethische Partij (1916), Indiche Katholieke Partij (1918), Jong Java (1915), Jong Sumatera Bond (1917), dan lainnya. Lahirnya beraneka ragam organisasi itu dapat dikatakan nasionalisme sudah mulai tumbuh karena senasib sependeritaan, yang menginginkan bebas dari penjajahan Belanda, dan ingin mewujudkan cita-cita yaitu masa depan lebih baik, yang oleh Anderson disebut Imagined Political Community. Nasionalisme mencapai puncaknya saat dibentuknya BPUPKI pada 1 Maret 1945,” ujar dia.
Menurutnya, gagasan cinta tanah air, nasionalisme, yang dikemas dengan idiom Hubbul Wathan Minal Iman tidak pernah lepas dari peran ulama dan kiai Nusantara khususnya NU. “Secara bahasa, hub artinya cinta, wathan berarti tanah air (bangsa), minal iman berarti dari atau sebagian dari iman.
Konsep Hubbul Wathan Minal Iman yang digagas tahun 1934 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah yang kemudian diabadikan dalam lagu Syubbanul Wathan adalah yang paling ideal dan justru menjadi induk nasionalisme. “Sebab, Hubbul Wathan Minal Iman itu lengkap, memuat unsur Islam, kebudayaan dan kebangsaan. Namun, mengapa kok pakai Bahasa Arab? Kalau versi Kiai Said, karena untuk mengecoh Belanda agar tidak tahu artinya saat penjajahan dulu,” ujar dia.
Selain itu, dalam artikelnya itu, ada beberapa peran NU dalam mengawal nasionalisme. Sebab, tanggal 22 Oktober 1945 yang diperingati sebagai Hari Santri Nasional, delapan minggu setelah Indonesia merdeka, terjadi perang di Surabaya. Untuk memobilisasi dukungan umat Islam, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa untuk tetap mempertahankan NKRI.
“Pertama, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. Keempat, umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kelima, kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal di radius 94 kilometer,” beber dia.
Tidak hanya dalam bentuk lagu, KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mendirikan sekolah Islam bernama Nahdlatul Wathan untuk membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Nahdlatul Wathan menjadi kawah candradimuka yang menggembleng pemuda Islam untuk belajar dan menggelorakan cinta tanah air dalam melawan penjajah.
“Gagasan Hubbul Wathan Minal Iman tidak bisa terlepas dari peran dan perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang dikonsep dari spirit Islam dan kebangsaan. Dirumuskan dengan Bahasa Arab, tujuannya agar Belanda tidak mengetahui maknanya. Sebab, jika tahu maknanya, maka Belanda akan melawan kaum pesantren saat itu,” lanjut dia.
Untuk menggerakan spirit nasionalisme, kata dia, Syubbanul Wathan sebagai sayap Nahdlatul Wathan mendirikan sayap di sejumlah daerah. Seperti Madrasah Akhul Wathan (saudara setanah air) di Semarang, Far’ul Wathan (cabang tanah air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan (petunjuk tanah air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (warga tanah air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling.
Ia juga menjelaskan penerapan Hubbul Wathan Minal Iman dalam pendidikan Islam yang bisa diterapkan melalui Pancasila, mapel Kewarganegaraan, PKn dan semua materi. “Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), ada 17 karakter yang dikuatkan. Nah, ada dua karakter yang senafas dengan Hubbul Wathan Minal Iman, yaitu semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Di sinilah yang harus dipahami bersama untuk mengimplementasikan Hubbul Wathan Minal Iman secara sederhana,” papar dia.
Karakter nasionalisme dan Hubbul Wathan Minal Iman yang didesain melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), lanjut dia, harus dimaksimalkan lembaga pendidikan Islam untuk mencetak generasi yang setia kepada Indonesia. “Hal itu menjadi cara strategis untuk menghalau lahirnya generasi antinasionalisme, faham dan aliran radikal yang mengancam keutuhan Indonesia. Nasionalisme memang bukan segalanya, namun keutuhan negara yang di dalamnya ada suku, bahasa, budaya dan agama berawal dari sana. Tanpa nasionalisme, Indonesia akan mudah dijajah dan dihancurkan,” tutur dia.
Sementara itu, Rhindra Puspitasari pemateri kedua yang juga dosen PIAUD STAINU Temanggung, membeberkan bahwa urgensi menerapkan Pancasila dalam PAUD atau TK sangat mendesak. Sebab, saat ini banyak pengaruh negatif, degradasi nilai dan moral anak, penyalahgunaan narkoba seks bebas dan lainnya.
“Di dalam Pancasila itu banyak karakter kebangsaan. Maka kita harus menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, menjadikan bangsa Indonesia sudah menetapkan fondasi bagi setiap konten aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” beber dia yang membawakan materi dengan artikel bertajuk “Eksistensi Pancasila dalam Pendidikan Karakter Kebangsaan Melalui Good Citizen Diary Activity Anak Salih (GCDA2S) Untuk Anak Usia Dini”.
Dari desain penelitian yang ia gagasa itu, ada beberapa hal yang dikonsep. Pertama adalah pembentukan karakter kebangsaan sebagai perwujudan dari eksistensi Pancasila melalui good citizen daity activity anak salih.
“Kedua, nilai-nilai Pancasila mampu menjadi jangkar transedental dalam pembentukan karakter kebangsaan, sedangkan good citizen dairy acivity anak salih dapat menjadi salah satu media pembiasaan anak usia dini dalam melakukan pembiasaan disiplin sholat dan pembiasaan lain yang positif. Dan Ketiga, salah satu kunci dari keberhasilan membentuk karakter kebangsaan pada anak usia dini adalah konsistensi, keteladanan dan ketelatenan orang tua maupun pendidik dalam menerapkan pembiasaan disiplin sholat pada anak dan pembiasaan lain yang positif,” papar dia dalam seminar yang dihadiri pejabat dan semua dosen STAINU Temanggung itu. (Red-HB33/Dloli).
0 comments:
Post a Comment