Pemateri saat menyampaikan materi dalam Bandongan Jurnalistik di Ponpes Miftahul Ulum Demak. |
"Santri harus melek literasi. Minimal bisa menulis berita, opini dan syukur-syukur bisa menulis buku dan kitab. Jangan sampai ada santri yang menjadi korban berita hoax. Maka prinsip bermedsos, karena saat ini banyak ponpes memperkenankan santrinya membawa gadget, para santri harus memegang teguh etika, logika dan juga prinsip Muamalah Medsosiyah sesuai Fatwa MUI," kata Hamidulloh Ibda Pemimpin Umum Formaci Press di hadapan ratusan santri tersebut.
Dalam kegiatan bertajuk "Gerakan Literasi untuk Memperkuat Persatuan dan Kebhinekaan" tersebut, Ibda yang juga alumnus Ponpes Mambaul Huda Pati itu menegaskan, bahwa membuat, membagikan, memviralkan suatu berita tanpa adanya tabayun, maka sama saja membagikan kotoran pada orang lain.
"Disiplin tabayun harus diutamakan. Kalau tidak bisa pakai pola kerja ilmuwan, ya minimal menerapkan pola kerja wartawan, yaitu harus wawancara, klarifikasi. Itu minimal, tapi kalau Anda ilmuwan, ya harus diteliti, ilmiah, logis dan empiris. Bukan sekadar hoax dan berdasarkan dhon atau prasangka," ujar mantan Sekretaris IPNU tersebut.
Alumnus Pascasarjana Unnes itu juga menjelaskan, salah satu dosa besar santri adalah memviralkan berita hoax. "Jadi, tugas kita memang tidak boleh membagikan hoax dan harus dilawan. Kita juga harus melakukan gerakan literasi untuk melawan serangan hoax yang selama ini banyak ditujukan pada kiai dan ulama kita. Makanya, pilar literasi berupa baca, tulis dan arsip harus jalan. Santri selain lihai membaca, wajib melakukan publikasi dan pengarsipan, baik itu berupa artikel di koran, buletin, majalah maupun buku bahkan kitab kuning," tegas penulis buku Demokrasi Setengah Hati tersebut.
Saya yakin, lanjut dia, kalau kemampuan literasi kita mapan, maka soal memperkuat persatuan, kesatuan dan kebhinekaan akan mudah digapai dan dipertahankan.
Ratusan santri saat menyimak materi |
Mantan aktivis PMII tersebut membeberkan, bahwa berita itu ada yang sengaja dibuat untuk menyerang lembaga dan seorang. “Unsur berita itu ya minimal 5 W dan 1 H, kalau tidak ada itu, anggap saja belum memenuhi kaidah jurnalistik,” beber alumnus Universitas Wahid Hasyim Semarang tersebut.
Penulis buku Jenis-jenis Karangan dan 105 Tokoh Penemu dan Perintis itu juga mengatakan, santri di era milenial harus memiliki kompetensi menyeleksi berita. “Dalam jurnalistik ada istilah bad news is good news. Makanya, banyak media yang mengedepankan opini daripada berita. Padahal dalam berita, tidak boleh ada unsur opininya. Maka pilihlah berita yang tidak bombastis, karena biasanya yang bombastis itu hoax,” tegas pengajar di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang tersebut.
KH. Humaedi Tamyiz Pengasuh Ponpes Miftahul Ulum Jogoloyo, Demak juga mengatakan, bahwa prestasi santri di SMK Miftahul Ulum tidak hanya di bidang kajian Islam, namun yang paling terlihat adalah di pencak silat Pagar Nusa. “Sudah beberapa kali kita melakukan wisuda pencat silat Pagar Nusa di sini. Nah, Saya berharap setelah acara ini, para santri bisa memaksimalkan karya jurnalistik yang nyata,” harapnya.
Usai Bandongan Jurnalistik, kegiatan dilanjutkan buka bersama sekaligus doa khataman yang dipimpin KH. Humaedi Tamyiz. Ia berharap, bulan Ramadan ini membawa berkah bagi semua santri.
M. Chaezam Ketua Panitia Bandongam Jurnalistik, merespon positif dukungan kepada para santri agar melek literasi. Sebab, menurut kiai muda tersebut, santri zaman sekarang berada dalam zona banjir informasi.
"Demak itu Kota Wali. Meski demikian, banyak para santri yang belum mengenal Demak lebih dalam termasuk sejarah Walisongo. Nah, kalau sudah melek literasi, mau ada berita hoax dan sejarah palsu pun, santri akan mampu menyeleksi," beber Sekretaris Yayasan Miftahul Ulum Demak itu dalam kegiatan yang terlaksana atas kerjasama antara Ponpes Miftahul Ulum dan penerbit Formaci Press, LTN NU serta HJ Network. (Red-HB99).
0 comments:
Post a Comment