suasana training jurnalistik di MA Madarijul Huda |
Pati, Harianblora.com – Puluhan pelajar Madrasah Aliyah (MA)
Madarijul Huda Kembang, Dukuhseti, Pati, diharuskan mengerti perubahan Ejaan
Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
Selain para pelajar juga harus mampu menerapkan ilmu jurnalistik serta
literasi. Hal itu dijelaskan Hamidulloh Ibda, dosen STAINU Temanggung dalam
pelatihan jurnalistik di gedung MA Madarijul Huda, kemarin, yang diikuti
puluhan pelajar.
Dalam pengantarnya, Ummi Fadhilatin, guru pembimbing,
menegaskan bahwa kegiatan tersebut dalam rangka follow up sebelum menerbitkan majalah
Tabligh yang diproduksi MA Madarijul Huda Kembang. “Ini merupakan langkah
follow up agar adik-adik bisa mengerti lebih dalam tentang kerjurnalistikan,”
beber dia
Sementara itu, saat menyampaikan
materi, Hamidulloh Ibda menandaskan sejumlah materi. Mulai pengenalan Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) sebagai pengganti Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD), manajemen redaksi, rubrikasi, sampai dengan pemetaan
berita, informasi, isu, berita hoax, fake dan lainnya.
“Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
atau EYD itu sekarang tidak dipakai lagi, karena sudah diganti dengan Ejaan
Bahasa Indonesia atau EBI sejak 2015,” beber Ibda yang juga alumnus MA
Madarijul Huda tersebut.
Ibda juga menegaskan, bahwa semua
masyarakat Indonesia wajib beriman dan bertakwa pada
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). “Total bahasa di Indonesia 742, data ini sampai 9 September 2016 dari Pusat Bahasa,” beber dia.
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). “Total bahasa di Indonesia 742, data ini sampai 9 September 2016 dari Pusat Bahasa,” beber dia.
Ia juga menjelaskan, sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia, menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (PUEYD) diganti dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI) yang penyempurnaan naskahnya disusun Pusat Pengembangan
dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan ajaan baru bernama
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
Lalu, kata dia, apa itu EBI. “Ejaan Bahasa Indonesia (disingkat
EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan
yang Disempurnakan,” ujar dia.
Menurut dia, ada beberapa
perbedaan EYD dan EBI. Pertama, penambahan huruf vokal diftong. Pada EYD, huruf
diftong hanya tiga yaitu ai, au, oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah
satu yaitu ei. (misalnya pada kata survei, seprei). Kedua, penggunaan huruf
kapital. Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital digunakan untuk menulis
unsur julukan. Sedangkan dalam EBI, unsur julukan tidak diatur ditulis dengan
awal huruf capital, misal raja dangdut, bumi mina tani, pendekar aswaja, kota
batik, kota ukir dan lainnya.
Ketiga, penggunaan huruf tebal.
Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga (menuliskan judul buku, bab, dan
semacamnya, mengkhususkan huruf, serta menulis lema atau sublema dalam kamus.
Dalam EBI, fungsi ketiga dihapus. “EBI ini masih baru, dan masih jarang yang
tahu, jangankan pelajar, banyak kok dosen dan mahasiswa kalau EYD itu sudah
diganti,” beber dia.
Ia juga menuturkan, ada beberapa
orang yang patut menjadi anutan bahasa. “Mereka adalah Presiden dan Wakil Presiden,
para menteri, pemimpin lembaga tinggi, pemimpin ABRI, guru dan dosen, wartawan,
sekretaris dan pengonsep pidato serta pemuka agama dan tokoh masyarakat,”
urainya.
Pria kelahiran Pati tersebut juga
menuturkan, bahwa perkembangan dunia jurnalistik dan media massa yang begitu
pesat, mengharuskan para pelajar harus melek literasi. “Literasi itu tidak
hanya urusan kemampuan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, menulis dan
membaca, melainkan juga berupa ilmu untuk mendapatkan pengetahuan serta
kemampuan menyeleksi informasi,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut dia,
pelajar yang budayanya viral dan termasuk generasi milenial harus melek
literasi. “Kalau sudah melek literasi, maka kalau ada berita hoax seperti
apapun tidak akan mudah terbodohi,” tegas dia.
Sementara itu, untuk menghasilkan
majalah yang baik, haruslah memegang teguh kaidah jurnalistik dan memiliki
karakter. “Kalau yang mau bagus ya harus punya karakter, menjaga konten dan
jelas segmentasinya. Tapi karena ini di bawah naungan sekolah, cobalah
sekali-kali ganti tema yang tidak monoton pendidikan saja, bisa sejarah desa,
profil kiai, dan berbagai legenda menarik dan itu mengenalkan potensi lokal,”
lanjut mantan Pemimpin Umum Majalah Tuntas tersebut.
Di akhir kegiatan, ia juga
mengajak para pelajar tersebut untuk praktik menulis feature sebagai genre yang
dikembangkan oleh berbagai majalah. “Kalau sudah terbiasa menulis feature, saya
yakin Anda akan mudah menulis berita ringan dan artikel,” urainya. (Red-HB99).
0 comments:
Post a Comment