Oleh Ferry Fansuri
Pernahkah kau mendengarkan cerita ini,
kisah yang tak pernah ku ceritakan kepada siapapun. Ini tentang ayahku, kepala
dalam keluarga ini. Waktu muda sering ia merantau, gemar berpetualang menjelajahi
tempat-tempat terpencil, menyukai semua hal yang berbau kemenyan. Berguru ke
bukit, bertapa di gua dan puasa pati geni untuk mendapatkan kewibawaan
dan ketenaran.
Dia tak pecaya akan adanya Tuhan, yang ia
sembah jenglot yang diperam dalam kotak, keris yang dipuja atau koleksi
barang klenik-kleniknya. Semua kekayaan dan kehidupan dunia ia peroleh dengan
mudah menjentikkan jari.
Tapi berubah bertahun-tahun hidup
bergelimpahan harta dan kedamaian yang hampa didalamnya. Peristiwa itu mengubah
ayahku, sosok tegar dan berwibawa menjadi seorang pesakitan yang kehilangan
arah tujuannya. Ibuku lari dengan pria lain, berkhianat akan pria yang selama
ini membangun keluarga ini dari bawah.
Ia seperti dipukul palu godam di kepalanya,
dijatuhkan dari langit ketujuh serta diinjak-injak layak gelandangan.
Kehilangan harapan dan tujuan, semua meninggalkan sedih di dada menyesakkan.
Semua ia dapatkan tapi hanya satu yang tidak, sebuah kesetiaan dari ibuku.
Tak peduli akan sekitarnya, mengunci diri
dalam kamarnya dan berkutat dengan dupa dan sesajan untuk peliharaan gaibnya.
Tapi semua itu tak mampu mengembalikan istrinya yang lebih memilih pria lain,
entah dimana sekarang. Akupun tak tahu kabarnya, hilang seperti debu ditiup
angin.
Bertahun-tahun ia hanya menyesali dirinya,
tak ada ia lakukan. Sesekali keluar untuk membeli makan atau rokok, tak
digubris aku dan adikku. Murkanya menjadi-menjadi saat mengetahui bahwa Martin
adikku mengaku bahwa dia seorang gay. Ditamparnya adikku dan diusir dari rumah,
lelaki sejati hanya ada di rumah ini katanya. Betapa luka lebih menganga, ibuku
dan adikku tak ada lagi di rumah.
Hanya aku yang menemaninya saat ini
*******************************
Tubuhnya tampak ringkih tua dan
sakit-sakitan, sakitnya bukan dibadan
tapi hatinya. Luka dan dendam itu disimpan bertahun-tahun dalam hati dan
kepalanya, rumah sebesar ini tidak ada artinya buatnya.
Suatu hari aku datangi kamarnya untuk
pamitan karena surat lamaran kerjaku sebagai programer di online web Ibukota
diterima. Kubuka pintu itu perlahan-lahan kudapati orang tua itu duduk di kursi
dengan memandangi televisi dengan tatapan kosong.
“Aku mau pergi, besok engkau sendirian”
ucapanku seperti angin berlalu di telinganya. Terdiam sejenak, sesunyi kamar
ini.
Akhirnya ku berpaling pergi keluar tanpa
menoleh
“Pergilah kau, seperti lainnya meninggalkan
aku sendiri” suara itu keluar dari mulut Ayahku yang bertahun-tahun terkunci.
Tak kujawab karena itu sudah pertanda tanda
setuju jika aku pergi tapi apa peduli dia. Hidupnya bagaikan bangkai, mati tak
bisa hidup segan.
Maka kubiarkan orang renta ini sendirian
dalam bayangan ilusi masa lalunya. Kupergi bukan karena bosan akan dia tapi ini
waktuku untuk mengejar impian tertundaku, menguasai bahasa program komputer dan
menerapkan ilmuku. Menjadi programer handal.
Pergi ke Jakarta jadi solusiku untuk rehat
dari masa lalu Ayahku dan juga debat-debat yang selalu mentalkan oleh dia.
“Bagaimana kau dapatkan surgamu jika
sedetikpun kau tidak percaya Tuhan. Hanya barang mistik itu” seruku
“Jika memang tidak ada surga dan neraka
apakah kau percaya Tuhan?” jawaban yang menohok jantung.
“Jangan kau mengurusi Nerakaku, Surgapun
belum tentu kau dapat” sinisnya
Dia seperti arwah penasaran yang menghantui
jiwa dan pikirannya.
*************
Tak kudengar beritanya dan lama tak
kusambangi rumah itu, banyak cerita-cerita aneh semenjak aku tinggalkan.Rumah
besar itu terdengar kelam dimata tetangga sekitarnya, dan berita-berita miring
sering terlihat. Pernah sekali pak RT melihat bola-bola api keluar masuk dalam
rumah itu,saling beradu melesat menembus langit gelap.
Dimalam hari tak tampak cahaya sedikitpun,
memang rumah ini sedikit mojok di kampung kami dan jarak para tetangga agak
berjauhan jika menjelang malam akan terlihat sepi. Konon para tetangga
mendengar suara-suara aneh, pernah suatu malam penjual ronde keliling
melewati pagar rumah itu dan berhenti sejenak untuk menyalakan lampu templokmya.
Tak disangka-sangka terdengar cekikikan wanita yang menusuk telinga, menegakkan
bulu kuduk dan membuat keringat dingin bercucuran. Tukang ronde itu jingkrak
ketakutan lari tunggang langgang mendorong gerobak yang hampir memuntahkan
seisi dalamnya, tak dihiraukan sama sekali. Hanya terpikir pergi jauh sejauhnya
dari rumah itu.
Tidak hanya pada malam hari saja keganjilan
terus terjadi di siang hari menjelang, konon ada seorang tukang pos pernah
mengantar sebuah surat tagihan ke rumah besar itu, depan pagar beruji tegak
tukang pos sempat mengetuk dan mengucapkan salam. Tapi tak ada suara terdengar,
hening sepi tiada suara.
Tukang pos ini memegang surat ditangan
kanan dan berpikir sejenak apakah ada orang dirumah atau diletakkan saja surat
tersebut. Beberapa detik berpikir, surat itu dilemparkan begitu saja
dipekarangan rumah itu. Tiba-tiba suara auman harimau terdengar dalam ruangan
memekak telinga membuat gendang tukang pos mau pecah. Keringat dingin
bercucuran segera dan kaki lemas seperti mau jatuh, bergegas tukang pos itu
menggenjot sepeda bututnya jauh-jauh dari rumah besar itu.
Cerita-cerita itu disiarkan dari mulut-ke
mulut tapi aku sendiri tak pernah mengalaminya selama dalam rumah itu. Kabar
burung bahwa itu penunggu rumah itu dan peliharaan tuannya yang ada didalamnya
***********
Sesekali aku tengok dia beberapa kali untuk
baktiku sebagai anak tapi ia takkan keluar dari kamar itu. Hidup atau mati ku
juga tak tahu dan rumah ini tidak terawat entah berapa lama, debu dan sarang
laba-laba jadi pemandangan tak lazim. Kotoran-kotoran tahi tikus berserakan
bercampur kelabang melata diantaranya dan menimbulkan bau tak sedap membuatku
terus merasa mual teras mau muntah.
Pernah sekilas kuintip dia disela-sela
pintu itu, ia terlihat berbaring dan matanya selalu menatap langit-langit.
Tubuhnya terlihat kurus kering kerontang terbujur kaku layaknya mayat hidup,
terlihat mengerikan di bagian kaki-kakinya. Penampakan luka menganga dari ujung
tumit sampai sikut. Nanah berceceran menggeroti kulit, belatung-belatung kecil
bergerak perlahan-perlahan mengeluarkan bau busuk setiap kali mencium aroma
dalam kamar tersebut.
Sungguh mengenaskan kondisinya tapi tak
bisa mendekat bukan karena jijik tapi tempatku bukan disana. Kuperhatikan
ruangan dalam kamar itu gelap tidak ada cahaya yang menerobos masuk sama sekali,
aku tak tahu berapa lama ia didalam sana tanpa makan dan minum.
Tapi ia tahu kedatanganku, matanya melirik
ke sela pintu yang kuintip tanpa berkata apapun. Mata itu tak berubah, seperti
dulu hampa sepi memancarkan kebencian sangat siapapun memandangnya.
“Pergi kau dari sini, pergi seperti yang
lain meninggalkanku disini!! teriaknya dengan setengah meracau
Hati ini terasa tersayat pedih melihat ia
tak berubah dan menyerah akan masa lalunya. Dia selalu menyalahkan apa yang
terjadi dan tidak percaya akan Tuhan sama sekali. Ia lebih percaya ilmu-ilmu
hitam yang dianut atau puasa-puasa yang tak sesuai ajaran agama, dunia yang
dipercaya tapi akhirat tidak
Maka kutinggalkan dia sendiri sekali lagi
**********
Aku mulai bergelut dengan pekerjaanku,
berhadapan dengan layar Macintosh bergelut CorelDraw dan Photoshop. Melupakan
apa yang terjadi rumah itu dan tak mendengar beritanya lagi. Lama tak kudengar
kabarnya, pak RT kampungku mengabari bahwa ayahku akan sakratul maut tapi belum
bisa dan tak ada yang berani mendekat.
Kudengar dari cerita-cerita orangtua
kampungku bahwa ia pada masa muda sering melakukan lelaku dan tirakat
untuk ngalap berkah. Untuk mendapatkan ajian tertinggi Pancasona, ia
harus berguru gaib ke Blitar tempat leluhur patih Djojodigdo turunan Diponegoro.
Pancasona membuat tidak akan mati kecuali
ada turunan yang melanjutkan. Ini yang terjadi pada dia, jasadnya tidak bisa
diterima bumi. Hidup segan mati tak mau, oleh tetangga kampungku disarankan
untuk pulang. Karena tiap malam rumah itu terdengar erangan-erangan memilukan
diselingan geraman binatang. Hanya aku yang bisa menolong dia karena aku
satu-satunya anggota keluarganya, ibu dan adikku tak tahu dimana rimbanya.
Kulihat orang tua itu di ranjangnya dengan
napas tersengal-sengal menghirup udara setengah-setengah ibarat nyawa sudah
diujung tenggorokan. Sungguh mengenaskan kala itu, tubuh kurus kering kulit
membalut tulang dan kaki itu sudah tidak berbentuk lagi karena jari-jari kaki
hilang digerogoti belatung itu.
Tak tega melihat semua itu, apa yang
membuat dia seperti ini layaknya mayat hidup. “Kau telah datang “ suara
terbata-bata dari mulutnya.
“Maafkan aku”
“Aku sudah mengkhilaskan semua dimasa lalu”
jawabku
“Pergilah dengan tenang”
“Arhaarg…Ahargg”
Hanya erangan yang kudengar, lama erangan
terus semakin keras tapi ia tak kunjung menghembuskan napasnya terakhir. Tak
terasa airmata menetes dari mata ini, kau tak bisa mati dan jasadmu tidak
diterima bumi. Karena ilmu busukmu, kau jadi begini. Biar kau dilaknat dikuburmu,
didalam benak hati.
Suara erangan itu muncul lagi seperti menjawab ucapan dalam hatiku, mata
itu sekali melotot meminta aku untuk ucapkan kata ajaib itu.
“Baik !! aku terima warisanmu dan pergilah
dengan tenang”
“Aaaaarrhhhhhh !!” sebuah erangan panjang
dari mulutnya dan mata mendelik, saat itu hembusan napas terakhir.
Mulut itu menganga lebar dalam terakhir
sakratul mautnya dan dari dalam mulut itu keluar kecoa tidak hanya satu tapi
puluhan bahkan ratusan memenuhi kamar itu.
Memandang kecoa-kecoa itu
Terasa ada yang bergerak dalam rongga
dadaku ini.
Surabaya, Februari 2017
Ferransuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional
0 comments:
Post a Comment