Oleh Ferry Fansuri
Surat itu terus
aku pandangi diatas meja kamarku, aku duduk tepi ranjang dan disebelahku Adim
bayi kecilku yang masih memerah menginjak 1 tahun ini. Kubelai rambutnya yang
lurus dan kulitnya yang putih,dalam benakku “Kasihan kau nak, tak kenal dengan
ayahmu” bisikku. Ayahnya menghilang dalam satu malam saat malam pertama dan
hanya meninggalkan surat bersegel perekat lilin merah dengan tulisan “bukalah
saat yang tepat”. Sebenarnya aku tak perduli surat itu tapi rasa penasaran
itu bergejolak ingin tahu isinya
Aku tak paham
kenapa dia meninggalkanku setelah menindihku dan memasukan benihnya ke rahimku
pada malam itu setelah resmi menjadi suamiku. Kukenal Penta dengan waktu
singkat tak lebih sebulan, itupun memang tidak sengaja. Dia datang di ambang
pintuku secara tiba-tiba 1 tahun yang lalu, mengenalkan dirinya sebagai teman
lama tapi seingatku aku tak ingat punya teman seperti dia.
Wajahnya putih
dengan rambut lurus, tinggi proposional dan memiliki aura menarik. Tapi aku tak
tertarik akan seorang pria, biarpun itu ganteng dan mempunyai tubuh atletis
sekalipun. Tapi kehadiran Penta saat itu, hanya aku manfaatkan untuk melegalkan
hubunganku dengan Dini. Iya aku lesbian, penyuka perempuan atau kalian katakan
LGBT di luar sana.
****************************
Beberapa tahun
yang sebelumnya, aku berasal keluarga yang dibilang bahagia dan bercukupan. Aku
memperoleh pendidikan tinggi sampai bangku kuliah, kenyamanan dan ketenangan
ada di keluarga ini. Tapi yang kurasakan kosong akan semua ini, ada jiwa lain
dalam diri ini memberontakk dan ingin keluar.
Sebagai wanita
secara fisik aku menarik, bodi aduhai, pinggul layak biola, bibir tipis, kulit
putih dan rambut panjang pasti menggoda tiap pria saat memandangku. Begitu
banyak pria yang mendekatiku tapi jiwa ini menolak tanpa chesmistry sama
sekali, bahkan pria-pria yang mendekati aku ini hanya kumanfaatkan saja.
Beda saat kulihat
wanita, jantung ini berdebar-debar dan darah naik turun ingin menjamahnya. Ada
jiwa laki-laki dalam tubuhku, ini muncul sejak kanak-kanak sampai dewasa.
Mataku tak bisa lepas jika memandang wanita. Tapi di lingkungan dan masyarakat
semua itu tabu, penyakit itu telah lama ada sejak kota kuno Sodom dan Gomorah dibinasakan
pada jaman nabi. Aku hanya bisa diam memendam itu, sampai akhirnya aku
menemukan Lastri dalam chattingku di dunia maya.
Hati ini terasa
menemukan belahan jiwanya, Lastri seperti menyejukkan jiwa-jiwa yang gersang
akan diriku. Rayuan-rayuan dan bualan-bualannya meluruhkan hatiku, akhirnya kami
janjian ketemu kopi darat. Lastri ini cewek tomboy dengan rambut pendeknya,
celana ketat, kaos ketat dan sepatu kanvas converse jadi ciri khasnya.
Lastri mengenalkan
diri bekerja programer sebuah ojek online terkenal di Jakarta, bahkan dia rela
datang ke kampungku di Kepanjen. Hubungan kami intens, Lastri mengunjungi aku
di kampungku atau sesekali aku ke Jakarta menginap di tempat kosnya.
Orang tuaku tak
akan curiga saat kuberitahu bahwa ke Jakarta menginap di tempat Lastri dengan
alasan pelatihan kantor selama 3 hari. Disana kami memandu kasih layaknya
pasangan yang lagi kasmaran, tak peduli cercaaan sekitarnya.
****************************
Hubungan kami
semakin jauh dengan Lastri, seperti tidak mau dipisahkan olehnya. Keinginan
mati jika tidak bersamanya, maka dengan memberanikan diri kuajak Lastri ke
rumah orang tuaku untuk minta restu melegalkan kami.
“Apa ??!! gila kau
Nay !!” teriak bapakku dengan wajah memerah dan berang mendengarkan ucapanku
sambil memandangi Lastri. “Tapi aku benar-benar mencintainya pak, tidak bisa
hidup tanpanya” sahutku. “ Keblinger kamu Nay, apa bapak ini tidak
memberikan pelajaran agama yang baik buat kamu. Sejak kecil kami didik kamu
jadi orang benar, kok sekarang mau jadi gendeng” Bapakku terasa tak
percaya sambil memukul kepala serta jidatnya berkali-kali.
“Mbokne,
kerjamu apa saja kok anakmu ini mau jadi orang sinting. Wanita kok mau kawin
sama wanita” teriak bapakku sambil memandangi ibuku yang dari tadi menangis
sesengukan dari tadi. “Nduk, kami kenapa toh? Kesambet setan dari mana?”
ibuku terus berlinang airmata.
“Bu, ini aku anakmu Nayala. Tidak gila tapi sadar.Aku pengen nikah sama Lastri bukan yang lain. Jika tidak, aku bunuh diri” ancamku. “Oalah nduk, kamu itu sinting. Mana ada perkawinan sesama jenis disini, kamu dilaknat” jawab ibuku.
“Sudah..sudah mbokne,
jika kamu teruskan rencana gilamu menikahi setan ini. Pergi dari rumah ini!!” geram
bapakku sambil melotot ke Lastri yang tenang-tenang saja sambil menyungging
senyumnya tanda kemenangan.
“Pergil kamu dari
rumah ini !!, aku tak rela punya anak seperti kamu. Kami didik kamu dengan
ajaran yang benar tapi kamu seperti ini. Oh Gusti, apa salah keluarga kami?
Sampai anak ini punya pikiran edan” sambil tengadah tangan ke atas meminta
ampun.
“Baik, kalau bapak
dan ibu tidak merestui hubungan kami. Aku minggat dari rumah ini. Jika itu
keputusannya” sambil kutarik tangan kiri Lastri untuk keluar. Kudengar hanya
sanyup-sanyup suara Ibu memanggilku dan mencoba menahanku untuk tak pergi tapi
tubuhnya dipegangi Bapak.
Sejak itu terakhir
aku lihat keluargaku, aku memutuskan hijrah ke Jakarta mengikuti Lastri. Disanalah
kami bisa diterima.
**********************************
Di Jakarta, kami
lebih bebas dari dunia yang taat pada norma-norma agama. Aku dan Lastri memadu
kasih tanpa gangguan. Kamipun tinggal bersama, menyewa rumah dan mencari
pekerjaan. Tak sulit untukku mendapatkan pekerjaan di gemerlap kota Jakarta,
lamaran kerjaku di provider telekomunikasi diterima.
Tapi hubunganku
bersama Lastri tidaklah mulus karena ternyata dia selingkuh dengan yang lain.
Hal menyakitiku lagi ternyata dia bisex, kepergok olehku saat kelaminya dihajar
oleh seseorang lelaki di rumah yang kita tinggali bersama. Kuusir dia dari
rumah itu. Sedihku tak berujung, Lastri yang kupercaya telah berkianat.
Tapi tak lama
kesedihanku itu terobati dengan menemukan tambatan hati lainnya, tapi
hubunganku selalu kandas. Ada Rory pelatih fitness, Sheila pemain sinetron
figuran, Ratih dosen perguruan swasta dan banyak lagi. Tapi semua kandas dan
terakhir Dini seorang pendidik taman kanak-kanak jadi pasanganku.
Sepertinya masalah
yang dulu-dulu, status kami tidak bisa kami legalkan. Karena hukum negeri ini
tidak menerima perkawinan sejenis atau harusnya kami pergi ke Eropa atau Amrik
untuk meresmikan status kami dan ganti kewarganegaraan. Ah itu tak mungkin,
hidup dan pekerjaan kami disini ada di negeri katulistiwa ini.
Saat itulah kami
ada ide gila yang kami rancang berdua “Nay sayang, ini akan berhasil jika kita
lakukan bersama” bisiknya pada waktu sore selepas kerja sambil membelaiku. “Maksudmu
gimana princess? “ tanyaku manja dan heran. “Carilah pria yang mau menikah
kamu, agar kamu punya status jelas dan kita tetap bisa bersama” jelasnya. “Apa
gila kamu Din, aku tidak terangsang sama pria sama sekali apalagi diajak kawin..cuiih”celaku.
“Apa lagi Nay, kamu tahu sendiri hukum di negeri ini tak terima pasangan macam kita
” teriak Din “Apa kamu mau sampai tua tidak nikah, jadi perawan tua terus
dicurigai tetangga dan masyarakat sekitar kita..hah? jelasnya.
Sebenarnya omongan
Dini masuk akal, jika kami tinggal serumah biarpun sesama perempuan dengan
waktu lama. Mengaku saudara tapi tidak mempunyai kartu keluarga, bisa-bisa
digerebek satpol pp. Dan akhirnya rencana busuk itu aku jalankan menjerat
lelaki, maka disana muncul Penta.
***********************
Rasa penasaranku
tidak sebesar ini semenjak kulihat surat itu lagi, apakah isinya sampai Penta
meninggalkan ini untukku. Surat itu tidaklah istimewa, hanya perekat dari lilin
merah sebagai segelnya.
Kuraih surat itu,
segel merah itu terkoyak dan kukeluarkan selembar kertas di dalamnya dan kubaca.
“Dear Nayala,
kutinggalkan surat ini untukmu agar engkau baca saat yang tepat. Kenapa aku
datang kepadamu, kenapa aku meninggalkanmu. Lihatlah wajah bayimu, perhatikan
mata, bibir, rambut serta kulitnya. Tahukah engkau, dia itu adalah aku yang
menjadi suamimu dalam semalam. Tempatku 20 tahun dari sekarang, kulewati
perjalanan waktu untuk menemui kamu. Iya engkau ibuku di masa depan, kenapa aku
datang kepadamu karena dimasa depan engkau sangatlah menderita dengan jiwa yang
lain dari tubuhmu itu. Tubuh dan pikiran tak menyatu, kau umbar keinginanmu
untuk melampiskan napsu yang tak berunjung. Terus dan menerus untuk memuaskan
jiwamu yang hilang itu. Kutinggalkan diriku untukmu tuk kau rawat, agar kau
rasakan sentuhan lelaki sebenarnya.Dan lelaki itu adalah Aku”
Surabaya, Desember 2016
-Ferry
Fansuri kelahiran Surabaya, 23 Maret 1980 adalah penulis, fotografer dan
entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga
(UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam
pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan"
(2000) termuat. Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group.
Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional.
0 comments:
Post a Comment