Oleh M Yudhie Haryono
Direktur
Eksekutif Nusantara Centre
Dulu. Ya
dulu. Republik ini dibuat oleh mereka yang berani makar. Negara ini
diproklamirkan oleh mereka yang berani kudeta. Bangsa ini dipimpin oleh mereka
yang revolusioner. Sebutlah mereka Tan, Karno, Hatta, Syahrir, Dirman, Kihajar,
Djuanda, Amir, Wilopo dan lainnya.
Tapi,
republik dan negara yang kita warisi kini seperti drakula. Dikelola dengan
sadis penuh amis. Bagai isi puisi di bawah ini. Puisi tentang penghianatan
negara ke pemiliknya, rakyat.
Puisi yang
ditulis Yudi S Suyuti (2016):
Ketika
dibentuk untuk memakmurkan, tapi memiskinkan/Ketika dibentuk untuk melayani,
tapi menindas/Ketika dibentuk untuk memuliakan, tapi memperbudak/Ketika
dibentuk untuk melindungi, tapi meneror/Ketika dibentuk dengan demokrasi, tapi
menjadi tiran/Ketika pemimpinnya didudukkan, tapi berbohong dan menipu/Ketika
diselenggarakan untuk harapan, tapi menakutkan/Inilah sebuah negara yang berkhianat
pada kita.
Maka kini
kita siapa? Jika diam melihat jahatnya elite negara. Jika membela pongahnya
penguasa. Yang jelas kita bukan Pak Mustofa, Pak Maarif, Pak Aqil dan Pak
Kusron. Sebab mereka penikmat begundal kolonial yang pasrah atas manisnya kejahatan
sistematis, masif dan terstruktur.
Kita juga
bukan bagian dari para fundamentalis sekuler yang sibuk ngemis uang ke "yang
lain." Kita juga antifundamentalis ontanis yang cuma bersimpuh ngemis uang
ke Tuhan. Sebab keduanya kurang piknik karena miskin sehingga kerjanya
"jualan agama" dan "saling memfitnah di antara sesama."
Lihat saja, kini keduanya sibuk soal "ucapan selamat natal."
Sebaliknya,
kini kita adalah manusia waras. Yang nalarnya meraksasa. Yang jeniusnya sadar
waktu. Yang kurikulumnya postkolonial. Yang mengerti bahwa tugas kita adalah
mengandung dalam diri masing-masing api kemerdekaan, banjir revolusi,
pergerakan kewarasan yang nanti melahirkan kemandirian, kemodernan dan
kemartabatifan.
Generasi
setelah kita yang akan memetiknya. Merekalah yang akan menjadi diri dan bangsa
ini dahsyat kembali karena menemukan dirinya setelah kuman neoliberalisme kita
tusuk mati tepat di jantungnya. Melalui revolusi putih; revolusi total.
Mereka
adalah generasi garuda yang hormat pada kebaikan masa lalu sambil terus
memproduksi kedahsyatan-kedahsyatan jenuin bagi masa depannya. Mereka subjek
sejarah besar: manusia atlantik; agensi pancasila.
Kita harus
sadarkan meraka bahwa sesungguhnya kecerdasan-kekayaan-kesehatan itu ialah hak
seluruh warganegara dan oleh sebab itu, maka konglomerasi di bumi
nusantara-bumi manusia harus dilenyapkan karena tidak sesuai dengan pancasila
dan cita-cita proklamasi.
Itulah
generasi yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur dan berdoa karena jiwa
patriotik yang dibawa mati dan tangguh sampai di depan Tuhannya. Hidupnya cukup
ringkas: lahir, jihad dan syahid.
Generasi yang
nantinya menegakkan negara dengan lima pilar: 1)Ulama yang jenius; 2)Umaro yang
adil; 3)Orang kaya yang sosial; 4)Kaum miskin yang progresif; 5)Budayawan yang
beradab.
Kini, kita
adalah Diponegoro dan Tjokroaminoto yang menanam benih revolusi agar lahir
badai-badai baru penyapu ranjau kejahatan lokal dan kebiadaban internasional. (*)
0 comments:
Post a Comment