Ilustrasi |
Penulis tinggal di Jl. Manyar VII no 6 Perumnas Karangjati
Apakah kalian tahu apa itu hidup? Dari mana kalian mengetahui perspektif tentang hidup? Guru kalian di sekolah? Kelurga? Atau teman kalian? Aku memahami perspektif hidup dari teman ku, Friska. Ia adalah gadis yang cantik dan baik, namun ia sedikit pencemburu dan terkadang mengatur. Terlepas dari itu, aku sangat menyayanginya. Tapi orang tua dan kakak ku tak menyukai Friska. Mereka sangat membenci Friska, saat aku menceritakan hari hariku di sekolah bersama Friska, mereka pasti tak mau mendengar. Tak jarang mereka justru memarahiku.
“Luna sudah cukup!” Kak Merry membentakku saat kami makan malam bersama.
“Kenapa sih? Kalian ga pernah percaya sama Luna?”
“Karena itu semua emang ga bener sayang” lagi lagi ibuku tak mau tahu tentang ceritaku.
“Habiskan makanan mu, baru kau cerita!” Yaa mungkin ayahku mengatakan begitu untuk membuatku tak bercerita saat kami berkumpul.
“terserah Ibu, Ayah, sama Kak Merry deh, sejak kelas 6, Ibu, Ayah, Kak Merry ga mau dengar ceritaku!”
Aku langsung beranjak pergi ke kamar untuk menghindari ocehan dan nasehat dari mereka semua. Bagiku, Friska adalah teman yang selalu menghiburku saat aku lesu, menyemangatiku saat aku malas dan hampir menyerah. Ya Friska lebih mengerti aku daripada kedua orangtuaku, apalagi kakak ku.
Aku sampai sekarang tak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan tentang Friska, mereka sering menyebutnya ‘teman khayalan’. Yah, mana mungkin ada teman khayalan di dunia ini? Aku bukan anak kecil lagi yang bermain dengan boneka dan menganggap mereka hidup dengan cara mengajak boneka-boneka beruang itu berbicara dan minum teh. Aku sudah berumur 15 tahun!
“Luna?”
Aku menoleh , aahh Friska sudah berdiri di depan pintu kamar ku, ya dia selalu datang saat aku merasa bosan. Seperti sekarang.
“Kamu bertengkar lagi ya?”
“Engga kok Fris, aku Cuma kesal sama ibu sama ayah”
“Maaf ya Lun, gara-gara aku kamu jadi sering berantem sama orang tuamu dan Kak Merry.”
“Bukan salahmu kok Fris”
Friska mengajakku keluar kamar, melihat deretan atap rumah dan kumpulan awan di balkon kamarku. Dia tahu aku sangat menyukai pemandangan yang sederhana ini. Kami lalu duduk di balkon, sambil menengadahkan kepala ke atas, menghirup udara sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya melalui mulut. Aahhh ini membat ku lebih tenang. Kami berdiam di sini, tak ada yang bicara, tak ada suara yang kami keluarkan.
Aku ingat betul saat aku kelas 3 Sekolah Dasar, saat itu aku tak ada yang mau duduk denganku. Yah, itu karena dulu tubuhku kurus, pendek, di tambah aku selalumenundukkan kepalaku. Tak peduli seseorang mengajakku berbicara atau bermain. Aku tetap menundukkan kepalaku. Menurutku mereka sama saja seperti anak yang lainnya. Baik memang di awal, tapi lama kelamaan mereka menyebutku anak yang aneh.
Terserah mereka mau menganggapku aneh atau apalah itu, karena aku hanya ingin bermain dengan orang yang benar benar mengerti apa mauku. Dan saat itu, Bu Gina, Wali Guru ku memasuki ruangan dan ia diikuti oleh seorang anak kecil yang manis dan mungil.
“Ayo cantik, beritahu siapa namamu!” pinta bu Gina pada gadis itu.
Aku melirik pada gadis baru itu. Terlihat ia jelas malu-malu.
“Mmm, namaku Friska Ajeng teman-teman.” ucapnya lirih karena malu, atau mungkin tak nyaman dengan aura kelas ini.
“Namamu bagus sayang, lalu siapa nama panggilanmu?” tanya Bu Gina pada anak itu lagi.
“Friska bu”
“Baik anak-anak, ini adalah teman baru kalian. Friska ini murid pindahan dari kota yang jauh sekali, di sini dia masih belum kenal kalian. Jadi nanti kalian kenalan satu persatu ya! Dan ajak teman kalian ini bermain oke?”
“Iya Bu Guru!” kami menjawab serentak permintaan Bu Gina saat itu.
Saat istirahat kami berkenalan pada Friska, awalnya ia sangat malu-malu. Tapi lama kelamaan Ia pun mulai memberanikan diri untuk berbicara pada kami. Dan Friska tak pernah menganggap ku “anak aneh” seperti teman-temanku memanggilku.
“Heii!!” Luna membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh, tanpa bertanya “Ada apa?” pada Friska, pasti Ia sudah tahu dengan melihat ekspresiku.
“Kenapa bengong sih?” tanyanya padaku dengan senyum.
“keinget dulu pas kita pertama ketemu Fris, inget?”
“Hhmm, ya inget lah Lun. Kenapa?”
“Heran aja, kenapa kamu mau temenan sama aku padahal kata teman sekelas aku ini anak aneh, pendiam”
“Buat apa sih pilih-pilih teman? Semua itu sama saja Fris. Kalau aku sih ya, ga ada untungnya tuh milih temen seenaknya sendiri. Lagian kan kamu sebenarnya anakny asyik Lun”
“Iyalah aku asyik, emang kamu? Anak baru yang pemalu”
“iihh, ngledek ya?”
Aku dan Luna saling menggelitik, tertawa lepas bersama-sama, sangat menyenangkan. Tapi saat posisi dudukku di atas balkon mulai bergeser perlahan, aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Yang kuingat saat itu aku berteriak, Friska mencoba meraihku tapi gagal.
Aku terbangun, aku merasa semua tubuhku di hujami rasa sakit dan nyeri yang teramat sangat. Langit langit ruangan ini putih , bau nya tak enak. Bau yang tak ku suka sejak kecil. Samar samar aku mendengar Ayahku berbicara dengan seorang pria berjubah putih yang mengalungkan stetoskop di lehernya.
Aku tak tahu apa yang Ayah dan dokter itu katakan. Tapi dari raut wajah Ayah, Ia sangat cemas, syok, tak karuan perasaannya. Aku ingin menanyakan, ada apa? Tapi aku masih pusing, aku belum bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Sedangkan ku lihat samar, sesekali Ayah memandangku dengan tatapan sedih seolah Ia berkata “harusnya aku! Jangan anakku!”.
Setelah hanya beberapa hari aku di rawat di rumah sakit, Kamis siang aku di perbolehkan pulang ke rumah. Ah, aku tak sabar bertemu dengan Friska lagi. Aku ingin mengomelinya karena Ia tak menengokku saat aku masih di rumah sakit. Dan biasanya jika aku mengomel padanya, Ia langsung menghibur ku dengan candaan yang membuatku sakit perut.
Hari minggu ke dua di bulan Agustus ini Kak Merry mengajakku untuk pergi. Aku tak tau Ia mengajakku ke mana. Aku hanya menurut dan diam. Dan kak Merry tak banyak bicara seperti biasanya.
Di tengah jalan, Kak Merry mengajakku untuk membeli bunga. Aku bertanya, untuk apa bunga itu? Dan akan ke mana kita ini? Tapi aku tak berani menanyakannya langsung. Aku hanya melihatnya dengan tatapan penuh tanya.
Kami memberhentikan mobil Sedan kami di pinggir jalan depan pemakaman. Ziarah? Pada siapa? Kami berjalan memasuki pemakaman itu, sepi.hanya ada beberapa orang di sana yang sekedar membersihkan makam sanak saudaranya atau memanjatkan doa di depan nisan.
Kak Merry berhenti di sebuah makam di deret ke 4, lalu memndangku. Aku melihat nisan itu.
“Friska Ajeng , wafat 27 April 2013? Loh?” aku termangu. Tak percaya!
“Kamu tahu tentang penyakit skizofrenia ?”
Aku menggeleng. Tak mengerti.
“Suatu penyakit yang tidak bisa membedakan mana dunia yang nyata dan khayalannya” jelas Kak Merry lirih. “Dan saat kamu kelas 6, Friska pergi Lun. Rumahnya di rampok, semua penghuni rumah terbunuh. Tapi kamu, kamu masih seolah olah bermain dengan Friska”
“Engga! Tapi ...”
“Ya Lun, semenjak Friska meninggal, kamu jadi kesepian. Keinginanmu adalah mempunyai teman seperti Friska, atau Friska kembali bermain lagi dengan mu seperti dulu.”
“Friska engga mungkin cuma khayalan!”
“Ikhlaskan Lun!” Kak Sari mengelus punggungku. Memberi sedikit ketabahan. Memintaku untuk tetap sabar.
Dan aku tahu, apa yang ayah bicarakan pada dokter di rumah sakit saat aku tak sadarkan diri. Aku juga tahu mengapa aku harus selalu meminum obat berwarna putih itu, dan aku tahu mengapa aku tak pernah berjumpa dengan Friska lagi sejak aku meminum obat itu.
Ya, aku tahu mengapa!
0 comments:
Post a Comment