Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Luruh. Di sini. Terkutukku. Bulan Sabit senyum di awan. Cantik. Tak tertolak hujan. Ia kusambit dengan ontel sepeda. Lambat dan hikmat. Dari surau yg merona. Maghrib yg lucu. Sebab bisaku sujud dan ruku. Berontaknya via doa dan ziarah. Sarung-sarung lusuh dan spalding. Ingatanmu ingatanku.
Hey, apa sudah pulang ke kotamu dan peluk cium bapak-ibumu? Apa sudah kau temukan jiwa-raga masa lalumu? Apa di sana ada setangkup haru dalam rindu yg berkarung-karung? Apa di sana ada telaga biru yg bergunung-gunung? Masihkah seperti waktu dulu? Masihkah ngangeni seperti saat SMA? Di mana saat kau pacaran, tiap sudutnya menyapa mesra. Tiap harinya bersahabat berjabat erat. Tiap malamnya membahana segemuruh debur ombak.
Sungguh penuh selaksa makna. Sebaskom ketupat dan opor. Akan romantika dan harap-harap cemas. Hingga siapa saja bisa terhanyut nostalgia. Antara kenyataan dan siksa. Terutama saat kau sering luangkan waktu. Kayuh sepeda. Petik gitar. Telan biji-biji dlm minum sekoteng. Bersama ia yg mampu nikmati kemping serdadu. Seluruh suasana. Pagi dan putih. Malam dan gulita.
Melukis elegi jingga. Batin tanpa takut dosa. Ya. Suasananya sangat mistis dan giris. Terutama di persimpangan itu. Saat kau cium tangannya. Saat kau katakan cinta. Ingatkah kau pada langkah teman yg terhenti? Karena gigil lapar pada ramai kaki lima? Para muadzin malam yg menjajakan sajian khas berselera. Nasi urap gulai tikus mirip di blok M Jakarta. Saat orang-orang duduk bersila, beraksi, menyanyi, mengamen dan membentuk ibadah malam kudus. Malam penuh panjat doa. Seiring laraku kehilanganmu. Juga karya kangenmu yg bahil. Kehilangan semua tujuan hidupku. Menangis. Miskin. Papa. Paria. Putus asa. Merintih sendiri. Tak berkawan. Tak berhenti. Ditelan deru kampungmu. Juga rindumu yg entah. Diterjang kejamnya ibu tiri dan ibu kota. Hingga kau lenyap tidak kembali. Entah di mana. Dirimu berada. Hampa kurasa. Sampai-sampai kotamu tolak hadirkan senyummu abadi. Yang tak bisa kubawa dlm tiap ketikan puisi.
Kini lumpuh ingatanku tentang seluruh hal ikhwal kehidupan yg seharusnya kudapatkan semilyar tahun lalu. Ke mana saja kamu, "tanyamu suatu kali padaku." Dari pertanyaan itu kutahu engkau perempuan tak bervagina dan tak berpayudara.
Kok aku masih hidup? Sesalku terus-terusan tak berhingga. Kini aku tidur dan berharap tak bangun kembali. Kecuali kau duduk di sampingku, senyum dan baca puisi.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Luruh. Di sini. Terkutukku. Bulan Sabit senyum di awan. Cantik. Tak tertolak hujan. Ia kusambit dengan ontel sepeda. Lambat dan hikmat. Dari surau yg merona. Maghrib yg lucu. Sebab bisaku sujud dan ruku. Berontaknya via doa dan ziarah. Sarung-sarung lusuh dan spalding. Ingatanmu ingatanku.
Hey, apa sudah pulang ke kotamu dan peluk cium bapak-ibumu? Apa sudah kau temukan jiwa-raga masa lalumu? Apa di sana ada setangkup haru dalam rindu yg berkarung-karung? Apa di sana ada telaga biru yg bergunung-gunung? Masihkah seperti waktu dulu? Masihkah ngangeni seperti saat SMA? Di mana saat kau pacaran, tiap sudutnya menyapa mesra. Tiap harinya bersahabat berjabat erat. Tiap malamnya membahana segemuruh debur ombak.
Sungguh penuh selaksa makna. Sebaskom ketupat dan opor. Akan romantika dan harap-harap cemas. Hingga siapa saja bisa terhanyut nostalgia. Antara kenyataan dan siksa. Terutama saat kau sering luangkan waktu. Kayuh sepeda. Petik gitar. Telan biji-biji dlm minum sekoteng. Bersama ia yg mampu nikmati kemping serdadu. Seluruh suasana. Pagi dan putih. Malam dan gulita.
Melukis elegi jingga. Batin tanpa takut dosa. Ya. Suasananya sangat mistis dan giris. Terutama di persimpangan itu. Saat kau cium tangannya. Saat kau katakan cinta. Ingatkah kau pada langkah teman yg terhenti? Karena gigil lapar pada ramai kaki lima? Para muadzin malam yg menjajakan sajian khas berselera. Nasi urap gulai tikus mirip di blok M Jakarta. Saat orang-orang duduk bersila, beraksi, menyanyi, mengamen dan membentuk ibadah malam kudus. Malam penuh panjat doa. Seiring laraku kehilanganmu. Juga karya kangenmu yg bahil. Kehilangan semua tujuan hidupku. Menangis. Miskin. Papa. Paria. Putus asa. Merintih sendiri. Tak berkawan. Tak berhenti. Ditelan deru kampungmu. Juga rindumu yg entah. Diterjang kejamnya ibu tiri dan ibu kota. Hingga kau lenyap tidak kembali. Entah di mana. Dirimu berada. Hampa kurasa. Sampai-sampai kotamu tolak hadirkan senyummu abadi. Yang tak bisa kubawa dlm tiap ketikan puisi.
Kini lumpuh ingatanku tentang seluruh hal ikhwal kehidupan yg seharusnya kudapatkan semilyar tahun lalu. Ke mana saja kamu, "tanyamu suatu kali padaku." Dari pertanyaan itu kutahu engkau perempuan tak bervagina dan tak berpayudara.
Kok aku masih hidup? Sesalku terus-terusan tak berhingga. Kini aku tidur dan berharap tak bangun kembali. Kecuali kau duduk di sampingku, senyum dan baca puisi.(*)
0 comments:
Post a Comment