Berhentilah Menangisiku
Oleh: Rizal Mubit
Cerpenis
Setelah kepergianku meninggalkan kotamu, aku merumuskan sebuah kata dari kisah yang harus diakhiri bersama. Bahwa perpisahan adalah fardu ain setelah jumpa dan segala yang berawal dari ketidakjujuran akan melahirkan luka. Maka, sebelum segala kesedihan menyesak di dada dan mengalir di mata, berhentilah menangis dan resapilah tiap kata yang kutulis.
Kasih, jika dia gemar membuatmu tersenyum, menikahlah. Jika dia bersedia mendengar keluhmu tiap malam, menikahlah! Jika dia telah berikrar untuk tidak memakimu, menikahlah! Jika dia sudah menjamin bahagiamu, menikahlah! Jika kau ingin menuruti ibumu, menikahlah!
Yakinilah! Aku tak apa di sini, dipermainkan kenangan seraya menunggumu memasang poto resepsi. Yang sudah kita lewati biarkan menjadi fosil. Kata orang, segalanya pasti ada artinya walaupun yang disebut arti dalam perpisahan ini adalah rasa sakit yang kututup-tutupi.
Aku juga ingin pergi, meresapi makna sendiri. Aku menyadari yang diinginkan ibumu bukan lelaki sepertiku tapi sosok yang istiqomah memberi uang membiayai kuliahmu. Mulai belajarlah melupakanku bersama segala daif dan kekuranganku. Bukankah kau sudah tahu, cara terbaik menghadapi perpisahan adalah merelakan.
Memang, beberapa rasa sakit disebabkan oleh harapan yang ditunggu tanpa sadar bahwa segalanya adalah semu. Seperti harapku pada ketidakmungkinan yang lama kutunggu sampai aku lupa bahwa semesta sedang bekerja untuk suatu hal yang sebetulnya akan mempersilakan jalan lain.
Lelaki itu tak pernah salah sama sekali. Bagi ibumu, dialah yang paling berjasa, memberimu banyak uang untuk biaya kuliahmu. Namun aku bersumpah tak ingin mengucap selamat padanya. Sebab aku tahu pengorbanan finansial itu tak lebih manusiawi dari pembegalan atas perasaanku. Lelaki itu pasti sudah tahu yang menarik darimu bukan hanya alis tebalmu, bibir yang tak pernah bergincu atau sifat manjamu. Tapi segala yang melekat dalam dirimu yang disebut orang sebagai akhlak dan perangaimu.
Aku berusaha agar dilahap jarak yang mengajarkanmu bagaimana cara membiarkan air matamu jatuh sebagaimana mestinya. Hingga pada akhirnya kita tahu, setiap harapan tak harus dikabulkan.
Kita pernah memelihara rasa yang sama, walaupun tanpa restu ibumu. Dengan rasa itu kita berusaha menjadi diri sendiri untuk saling mencintai tanpa basa-basi. Lalu kenyataan merencanakan perang untuk memisahkan kita, sampai kita sadar bahwa perasaan yang diagung-agungkan selama ini hanyalah perkara fana belaka.
Hingga pada akhirnya aku dan kamu menjadi pribadi yang lain. Segala yang kita lakukan seolah terlihat sebagai usaha untuk menyakiti satu sama lain. Sampai kita bersepakat untuk memalingkan muka satu sama lain. Dan lahirlah jarak yang menjelma rasa benci. Dalam pertikaian itu, kita sama-sama menginsaf bahwa pertemuan kita hanyalah kebetulan yang keparat.
Tapi itu semua bohong. Tak ada yang sedang menyakiti satu sama lain. Tak ada yang berusaha membenci satu sama lain. Kita hanya sedang berusaha membaca isyarat rasa sambil malu-malu. Nyatanya perasaan yang tak direstui ibumu itu masih terjaga dalam galeri hati. Namun kita masih bersikukuh dan berusaha membesarkan ego dan gengsi yang kepalang besar.
Seharusnya ada yang lebih bijak dari pada membiarkan diri dimangsa oleh jarak. Seperti memberi kesempatan pada masa lalu agar mau bersekongkol dengan kenangan untuk tak lagi datang. Aku tahu yang brengsek bukanlah perpisahan tapi ingatan manis yang datang serupa pembegal.
Kata orang, setiap sedih pasti ada maksudnya. Banyak kisah yang diakhiri kesedihan untuk membuat cerita manis yang lebih rumit. Mungkin kita salah satu diantaranya. Tapi tolonglah, berhentilah menangisiku.
Perjodohan yang dipaksakan akan terus ada dalam setiap peradaban. Walau tradisi tengik itu diam-diam dibenci orang. Sebab akan ada banyak luka yang susah mengering dalam setiap hati yang pura-pura pasrah. Sepertimu.
Pergilah dengan lelaki itu. Dia akan membuatmu tersenyum setiap pagi. Membuatmu lebih bahagia dibandingkan aku atau bahkan bapak dan ibumu. Tak perlu berpikir realistis soal perasaan. Yang kamu perlukan hanya satu. Merelakanku.
Aku pun masih berusaha untuk merelakanmu. Beberapa hari lalu, kita atau barangkali hanya aku, sedang berharap untuk kembali. Ada pilihan yang harus segera diputuskan, memilih memperjuangkanmu sambil melukai banyak orang atau merelakanmu untuk merobek luka untuk diriku sendiri. Hanya saja pada akhirnya aku mengerti, walau sebatas saling pandang, perasaan yang ada di antara kita hanyalah perkara nisbi.
Kepedihan adalah bagian tetap dalam perpisahan yang dipaksakan. Tapi bukan air mata. Tangisan tak harus ada dalam perpisahan ini. Kita perlu belajar berpura-pura jika jika tak sengaja bertemu atau memilih bersembunyi jika tak sengaja berjumpa. Tapi tolong berhentilah menangisiku.
O......, betapa sakitnya yang namanya luka sampai aku tak sadar tak ada yang kumakan hingga senja. Bukan sunyi yang kutakuti, bukan air mata yang tengah kubenci, bukan itu semua. Yang mengerikan adalah ingatan akan kekonyolanku yang berani mendustai diri dengan meniup luka yang semakin melepuh. Juga tentang baju ungu yang kaupakai suatu malam, diiringi lagu sendu yang kunyanyikan.
Maafkan aku yang belum bisa melupa semua sehingga karena tulisan ini membuat matamu dipenuhi hujan. Aku tahu, menghalau sepi tidaklah mudah. Kesedihan ini tak bisa hilang karena sulapan seperti dalam kisah anak tiri yang dihibur oleh ibu peri. Kelak kesunyian akan menjadi ruangan kusam yang dihuni kehampaan.
Jika segala hubungan akan berakhir seperti ini, maka nasib terbaik adalah tidak pernah jatuh cinta. Sekali lagi kuminta, berhentilah menangisiku.
Suci, 4 Mei 2015.
Oleh: Rizal Mubit
Cerpenis
Setelah kepergianku meninggalkan kotamu, aku merumuskan sebuah kata dari kisah yang harus diakhiri bersama. Bahwa perpisahan adalah fardu ain setelah jumpa dan segala yang berawal dari ketidakjujuran akan melahirkan luka. Maka, sebelum segala kesedihan menyesak di dada dan mengalir di mata, berhentilah menangis dan resapilah tiap kata yang kutulis.
Kasih, jika dia gemar membuatmu tersenyum, menikahlah. Jika dia bersedia mendengar keluhmu tiap malam, menikahlah! Jika dia telah berikrar untuk tidak memakimu, menikahlah! Jika dia sudah menjamin bahagiamu, menikahlah! Jika kau ingin menuruti ibumu, menikahlah!
Yakinilah! Aku tak apa di sini, dipermainkan kenangan seraya menunggumu memasang poto resepsi. Yang sudah kita lewati biarkan menjadi fosil. Kata orang, segalanya pasti ada artinya walaupun yang disebut arti dalam perpisahan ini adalah rasa sakit yang kututup-tutupi.
Aku juga ingin pergi, meresapi makna sendiri. Aku menyadari yang diinginkan ibumu bukan lelaki sepertiku tapi sosok yang istiqomah memberi uang membiayai kuliahmu. Mulai belajarlah melupakanku bersama segala daif dan kekuranganku. Bukankah kau sudah tahu, cara terbaik menghadapi perpisahan adalah merelakan.
Memang, beberapa rasa sakit disebabkan oleh harapan yang ditunggu tanpa sadar bahwa segalanya adalah semu. Seperti harapku pada ketidakmungkinan yang lama kutunggu sampai aku lupa bahwa semesta sedang bekerja untuk suatu hal yang sebetulnya akan mempersilakan jalan lain.
Lelaki itu tak pernah salah sama sekali. Bagi ibumu, dialah yang paling berjasa, memberimu banyak uang untuk biaya kuliahmu. Namun aku bersumpah tak ingin mengucap selamat padanya. Sebab aku tahu pengorbanan finansial itu tak lebih manusiawi dari pembegalan atas perasaanku. Lelaki itu pasti sudah tahu yang menarik darimu bukan hanya alis tebalmu, bibir yang tak pernah bergincu atau sifat manjamu. Tapi segala yang melekat dalam dirimu yang disebut orang sebagai akhlak dan perangaimu.
Aku berusaha agar dilahap jarak yang mengajarkanmu bagaimana cara membiarkan air matamu jatuh sebagaimana mestinya. Hingga pada akhirnya kita tahu, setiap harapan tak harus dikabulkan.
Kita pernah memelihara rasa yang sama, walaupun tanpa restu ibumu. Dengan rasa itu kita berusaha menjadi diri sendiri untuk saling mencintai tanpa basa-basi. Lalu kenyataan merencanakan perang untuk memisahkan kita, sampai kita sadar bahwa perasaan yang diagung-agungkan selama ini hanyalah perkara fana belaka.
Hingga pada akhirnya aku dan kamu menjadi pribadi yang lain. Segala yang kita lakukan seolah terlihat sebagai usaha untuk menyakiti satu sama lain. Sampai kita bersepakat untuk memalingkan muka satu sama lain. Dan lahirlah jarak yang menjelma rasa benci. Dalam pertikaian itu, kita sama-sama menginsaf bahwa pertemuan kita hanyalah kebetulan yang keparat.
Tapi itu semua bohong. Tak ada yang sedang menyakiti satu sama lain. Tak ada yang berusaha membenci satu sama lain. Kita hanya sedang berusaha membaca isyarat rasa sambil malu-malu. Nyatanya perasaan yang tak direstui ibumu itu masih terjaga dalam galeri hati. Namun kita masih bersikukuh dan berusaha membesarkan ego dan gengsi yang kepalang besar.
Seharusnya ada yang lebih bijak dari pada membiarkan diri dimangsa oleh jarak. Seperti memberi kesempatan pada masa lalu agar mau bersekongkol dengan kenangan untuk tak lagi datang. Aku tahu yang brengsek bukanlah perpisahan tapi ingatan manis yang datang serupa pembegal.
Kata orang, setiap sedih pasti ada maksudnya. Banyak kisah yang diakhiri kesedihan untuk membuat cerita manis yang lebih rumit. Mungkin kita salah satu diantaranya. Tapi tolonglah, berhentilah menangisiku.
Perjodohan yang dipaksakan akan terus ada dalam setiap peradaban. Walau tradisi tengik itu diam-diam dibenci orang. Sebab akan ada banyak luka yang susah mengering dalam setiap hati yang pura-pura pasrah. Sepertimu.
Pergilah dengan lelaki itu. Dia akan membuatmu tersenyum setiap pagi. Membuatmu lebih bahagia dibandingkan aku atau bahkan bapak dan ibumu. Tak perlu berpikir realistis soal perasaan. Yang kamu perlukan hanya satu. Merelakanku.
Aku pun masih berusaha untuk merelakanmu. Beberapa hari lalu, kita atau barangkali hanya aku, sedang berharap untuk kembali. Ada pilihan yang harus segera diputuskan, memilih memperjuangkanmu sambil melukai banyak orang atau merelakanmu untuk merobek luka untuk diriku sendiri. Hanya saja pada akhirnya aku mengerti, walau sebatas saling pandang, perasaan yang ada di antara kita hanyalah perkara nisbi.
Kepedihan adalah bagian tetap dalam perpisahan yang dipaksakan. Tapi bukan air mata. Tangisan tak harus ada dalam perpisahan ini. Kita perlu belajar berpura-pura jika jika tak sengaja bertemu atau memilih bersembunyi jika tak sengaja berjumpa. Tapi tolong berhentilah menangisiku.
O......, betapa sakitnya yang namanya luka sampai aku tak sadar tak ada yang kumakan hingga senja. Bukan sunyi yang kutakuti, bukan air mata yang tengah kubenci, bukan itu semua. Yang mengerikan adalah ingatan akan kekonyolanku yang berani mendustai diri dengan meniup luka yang semakin melepuh. Juga tentang baju ungu yang kaupakai suatu malam, diiringi lagu sendu yang kunyanyikan.
Maafkan aku yang belum bisa melupa semua sehingga karena tulisan ini membuat matamu dipenuhi hujan. Aku tahu, menghalau sepi tidaklah mudah. Kesedihan ini tak bisa hilang karena sulapan seperti dalam kisah anak tiri yang dihibur oleh ibu peri. Kelak kesunyian akan menjadi ruangan kusam yang dihuni kehampaan.
Jika segala hubungan akan berakhir seperti ini, maka nasib terbaik adalah tidak pernah jatuh cinta. Sekali lagi kuminta, berhentilah menangisiku.
Suci, 4 Mei 2015.
terima kasih sudah memuat tulisan saya.
ReplyDelete