Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
“Tuhan tidak bertanya apa agamamu. Melainkan Tuhan bertanya apa perbuatanmu. Sebab Tuhan tidak beragama.”
"Kita akan mengkreasi masa depan dengan semangat dan imaji bhineka tunggal ika," begitulah pidato akhir Nabi Muhammad di awal-awal kuasa negara Madinah.
Inilah epistema tauhid. Fokus pada perbuatan baik, intra dan antar sesama tanpa meributkan apa agama/suku/ras sesama karena metoda dan tujuan yang sama: menyembah pasrah pada Tuhan. Sesungguhnya ini tema lanjutan dari kultum ke-17 tentang tema pokok Alquran: kemultikulturalan.
Ada banyak teks yang mendukung gagasan pluralitas dan multikulturalitas. Tetapi babonnya adlh QS Al-Baqarah: 62. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan. Tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Karena itu, gagasan islam yang tunggal, ekslusif dan benar sendiri sebenarnya usang dan rabun sejarah. Kurang piknik dan miskin vitamin. Sebaliknya, jika daya bacanya panjang dan trilyunan, akan sampai pada pandangan yang dicita-citakan Lekmad. Apa itu? Yaitu bangsa multikultural.
Ide multikulturalis mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh negara yang majemuk, terbuka dan toleran dari segi etnis, budaya, agama dan lain-lain, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan. Kuncinya di toleransi dan progresifitas.
Sungguh, jejak multikultural ini merupakan lompatan besar yang tak dimiliki oleh orang banyak. Hanya para jenius yang mampu menghadirkannya. Karena itu, Alquran berfungsi sebagai mushaddiq (pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu (QS. Al-Baqarah: 4-5). Dus, desain Alquran bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya. Sebaliknya, ia justru pembenar inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya.
Sedang fungsi lainnya adlh sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi). Dari sini dapat ditegaskan bahwa esensi dan subtansinya sama dengan ajaran kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil, dan lainnya. Lihat QS. Asyuura: 15, "Katakanlah (Muhammad) Aku beriman kepada semua kitab yang telah diturunkan Allah."
“Tuhan tidak bertanya apa agamamu. Melainkan tuhan bertanya apa perbuatanmu. Sebab Tuhan tidak beragama.”
Para pendiri republik yang jenius menyadari soal ini secara mendalam. Karena itu sejak awal mereka membayangkan terciptanya indonesia yang plural dan multikultural. Dengan gagasan tersebut, indonesia dibayangkan sebagai negara spiritual; bkn negara agama. Karenanya, sila pertama cukup berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, titik. Sila ini mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya: kekuasaannya tidak terbatas. SelainNya yang terbatas.
Konsekuensinya kita harus menjamin, melindungi dan mengembangkan warga negara memeluk dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Basis-basis ini ada di Pembukaan UUD-45 aline ketiga, yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa... “ Lalu diperjelas dlm pasal 29 UUD-45, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Oleh karena itu, kita haram bertikai atas nama Tuhan. Kita harus menghindari sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan. Sebaliknya, kita wajib mengkaji, memahami, dan menerapkannya sehingga terwujud generasi berbudi luhur: merdeka, mandiri, modern, martabatif yang toleran, emansipatoris, ingklusif, progresif, dan pluralis yang fokus mengejar cita-cita bersama.
Penegasan ini menjadi penting karena agama dan elite kita kini hanya melahirkan ironi manusia modern: suka menerima, tetapi tidak mau "memantulkannya" kembali. Itulah epistema konglomerasi dan anak kandung oligarki. Mestinya, negara yang merampoknya. Itulah inti negara multikultural. Tunduk pada hukum publik. Sayang, negaramu kini dipimpin petugas bukan pemimpin.(*)
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
“Tuhan tidak bertanya apa agamamu. Melainkan Tuhan bertanya apa perbuatanmu. Sebab Tuhan tidak beragama.”
Inilah epistema tauhid. Fokus pada perbuatan baik, intra dan antar sesama tanpa meributkan apa agama/suku/ras sesama karena metoda dan tujuan yang sama: menyembah pasrah pada Tuhan. Sesungguhnya ini tema lanjutan dari kultum ke-17 tentang tema pokok Alquran: kemultikulturalan.
Ada banyak teks yang mendukung gagasan pluralitas dan multikulturalitas. Tetapi babonnya adlh QS Al-Baqarah: 62. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan. Tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Karena itu, gagasan islam yang tunggal, ekslusif dan benar sendiri sebenarnya usang dan rabun sejarah. Kurang piknik dan miskin vitamin. Sebaliknya, jika daya bacanya panjang dan trilyunan, akan sampai pada pandangan yang dicita-citakan Lekmad. Apa itu? Yaitu bangsa multikultural.
Ide multikulturalis mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh negara yang majemuk, terbuka dan toleran dari segi etnis, budaya, agama dan lain-lain, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan. Kuncinya di toleransi dan progresifitas.
Sungguh, jejak multikultural ini merupakan lompatan besar yang tak dimiliki oleh orang banyak. Hanya para jenius yang mampu menghadirkannya. Karena itu, Alquran berfungsi sebagai mushaddiq (pembenaran) bagi kitab-kitab terdahulu (QS. Al-Baqarah: 4-5). Dus, desain Alquran bukan sebagai pembatal kitab-kitab sebelumnya. Sebaliknya, ia justru pembenar inti ajaran Tuhan yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya.
Sedang fungsi lainnya adlh sebagai muhaimin (penguji) dan furqan (pengoreksi). Dari sini dapat ditegaskan bahwa esensi dan subtansinya sama dengan ajaran kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil, dan lainnya. Lihat QS. Asyuura: 15, "Katakanlah (Muhammad) Aku beriman kepada semua kitab yang telah diturunkan Allah."
“Tuhan tidak bertanya apa agamamu. Melainkan tuhan bertanya apa perbuatanmu. Sebab Tuhan tidak beragama.”
Para pendiri republik yang jenius menyadari soal ini secara mendalam. Karena itu sejak awal mereka membayangkan terciptanya indonesia yang plural dan multikultural. Dengan gagasan tersebut, indonesia dibayangkan sebagai negara spiritual; bkn negara agama. Karenanya, sila pertama cukup berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, titik. Sila ini mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya: kekuasaannya tidak terbatas. SelainNya yang terbatas.
Konsekuensinya kita harus menjamin, melindungi dan mengembangkan warga negara memeluk dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Basis-basis ini ada di Pembukaan UUD-45 aline ketiga, yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa... “ Lalu diperjelas dlm pasal 29 UUD-45, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Oleh karena itu, kita haram bertikai atas nama Tuhan. Kita harus menghindari sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan. Sebaliknya, kita wajib mengkaji, memahami, dan menerapkannya sehingga terwujud generasi berbudi luhur: merdeka, mandiri, modern, martabatif yang toleran, emansipatoris, ingklusif, progresif, dan pluralis yang fokus mengejar cita-cita bersama.
Penegasan ini menjadi penting karena agama dan elite kita kini hanya melahirkan ironi manusia modern: suka menerima, tetapi tidak mau "memantulkannya" kembali. Itulah epistema konglomerasi dan anak kandung oligarki. Mestinya, negara yang merampoknya. Itulah inti negara multikultural. Tunduk pada hukum publik. Sayang, negaramu kini dipimpin petugas bukan pemimpin.(*)
0 comments:
Post a Comment