Oleh M Yudhie Haryono
Sambil menunggu subuh, kuketik cerpen. Masih kelanjutan yg kemarin. Ini paragraf ke duabelas. Kubagi buat kalian. Siapa tahu menginspirasi.
"Berapa orang jahat di dunia ini?" Tanyamu kemudian padaku. Aku gelagapan dengan pertanyaan yg tak tertebak sebelumnya. Ini jenis ujian tak genting di saat tak penting. Makanya kujawab seenaknya saja. "Ada dua, jawabku sambil melihat mukanya yg meneteskan air mata."
"Dua? Tanyamu." Kamu terdiam dan kembali meneruskan. "Kok dua. Siapa sajakah itu?"
"Yang berjanji hidup denganku dan memilih menikah dengan temanku; serta yg kedua, kamu." Mendengar jawabanku, kamu melotot dan mendesir kaku, "kok aku?"
"Sebab, kamu mencintaiku tetapi tak pernah mengucapkannya padaku," jawabku seenaknya saja sambil menyelonjorkan kaki yg kaku; rentangkan tangan yg pilu.
Bergetar mulutmu bergumam, "kamu ngawur dan asal berpuisi. Kamu seenaknya saja memfitnah, padahal fitnah lebih kejam dari pengkhianatan dan ciuman."
Tiba-tiba, setelah bertrilyun detik bercakap, kamu menyanyi. Di depanku, di bawah gemuruhnya hati, di antara jagat galaksi, dan menuju keentahan yg mana yg tak ada dalam kitab suci. Lirik lagu yg sering kudengar di Hummer mobilku berkumandang, "Aku yang lemah tanpamu/Aku yang rentan karena/Cinta yang telah hilang/Darimu yang mampu menyanjungku/
Selama mata terbuka/Sampai jantung tak berdetak/Selama itu pun aku mampu/Untuk mengenangmu/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/
Bila yang tertulis untukku/Adalah yang terbaik untukmu/Kan kujadikan kau/Kenangan yang terindah dalam hidupku/Namun takkan mudah bagiku/Meninggalkan jejak hidupku/Yang telah terukir abadi/Sebagai kenangan yang terindah/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/
Mendengarnya menyanyi, aku terduduk; menangis terguguk; begitu kikuk walau tak ngantuk. Sebab, berjuta tahun lalu, kuberharap dia crank (menyempal). Tak romantis apalagi nostalgis. Tapi, kini hariku terbunuh oleh nyanyiannya yg sendu. Mengingatkanku pada kawan yg kini jadi presiden lugu dan lucu. Ia yg hidup terjajah dlm desain besar ekonomi bersendikan neoliberalisme: menyembah pasar yg mentah bahkan busuk. Mendesain politiknya tidak deliberatif apalagi demokrasi subtantif. Cenderung moneycrazi.
Desain hukumnya semakin membela oligarki, kartel dan begundal. Desain tradisinya metropolis dan irasional kecuali minatnya pada industri lendir. Tidak berangkat dari akar-akar kejeniusan lokal. Desain agamanya psudo-fundamentalis. Bukan agama pembebasan yg membela si miskin dan marjinal.
Aku tidak minat pada cinta semu. Aku anti pada kecantikan palsu. Sebab, yg kuminati adalah pertarungan ide dan gagasan. Sehingga, aku horny dng kecerdasan dan luasnya pengetahuan. Jadi yg kutuju bkn polesan ataupun salon; bkn citra dan tipu-tipu belaka.
***
Hidup pada akhirnya hanya festival perjalanan yg sering tak terpahami kecuali setelah terlewati. Hidup memang berkonsekwensi pilihan dan perlawanan. Pilihan untuk menjalani dengan siapa dan perlawanan demi sekeping kebahagiaan.
The pursuit of happyness, kata paman mamarika. Tapi, ada satu tesis yg sulit dilupa soal bahagia ini. Yaitu kalimat singkat dari Bob Dylan (1998), "kesuksesan bukanlah kunci dari kebahagiaan. Sebaliknya kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Bila kau menyintai apa yang kau lakukan dan merasa bahagia melakukannya, maka kau pasti sukses." Pertanyaannya adalah, "apakah kita mengerjakan yg kita cintai atau menyintai yg kita kerjakan."
Lalu, kupeluk ia sambil berbisik lembut di kuping kanannya yg wangi bak kasturi, "kasih, hidup cuma sekali. Betapa bodohnya orang yg menjalani tanpa orang yg dicintainya. Betapa bodohnya orang yg mati tanpa di sisi orang yg mencintai dan dicintainya. Hidup cuma sekali. Ayok rayakan agar kita bahagia."
Sambil menunggu subuh, kuketik cerpen. Masih kelanjutan yg kemarin. Ini paragraf ke duabelas. Kubagi buat kalian. Siapa tahu menginspirasi.
"Berapa orang jahat di dunia ini?" Tanyamu kemudian padaku. Aku gelagapan dengan pertanyaan yg tak tertebak sebelumnya. Ini jenis ujian tak genting di saat tak penting. Makanya kujawab seenaknya saja. "Ada dua, jawabku sambil melihat mukanya yg meneteskan air mata."
"Dua? Tanyamu." Kamu terdiam dan kembali meneruskan. "Kok dua. Siapa sajakah itu?"
"Yang berjanji hidup denganku dan memilih menikah dengan temanku; serta yg kedua, kamu." Mendengar jawabanku, kamu melotot dan mendesir kaku, "kok aku?"
"Sebab, kamu mencintaiku tetapi tak pernah mengucapkannya padaku," jawabku seenaknya saja sambil menyelonjorkan kaki yg kaku; rentangkan tangan yg pilu.
Bergetar mulutmu bergumam, "kamu ngawur dan asal berpuisi. Kamu seenaknya saja memfitnah, padahal fitnah lebih kejam dari pengkhianatan dan ciuman."
Tiba-tiba, setelah bertrilyun detik bercakap, kamu menyanyi. Di depanku, di bawah gemuruhnya hati, di antara jagat galaksi, dan menuju keentahan yg mana yg tak ada dalam kitab suci. Lirik lagu yg sering kudengar di Hummer mobilku berkumandang, "Aku yang lemah tanpamu/Aku yang rentan karena/Cinta yang telah hilang/Darimu yang mampu menyanjungku/
Selama mata terbuka/Sampai jantung tak berdetak/Selama itu pun aku mampu/Untuk mengenangmu/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/
Bila yang tertulis untukku/Adalah yang terbaik untukmu/Kan kujadikan kau/Kenangan yang terindah dalam hidupku/Namun takkan mudah bagiku/Meninggalkan jejak hidupku/Yang telah terukir abadi/Sebagai kenangan yang terindah/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/
Mendengarnya menyanyi, aku terduduk; menangis terguguk; begitu kikuk walau tak ngantuk. Sebab, berjuta tahun lalu, kuberharap dia crank (menyempal). Tak romantis apalagi nostalgis. Tapi, kini hariku terbunuh oleh nyanyiannya yg sendu. Mengingatkanku pada kawan yg kini jadi presiden lugu dan lucu. Ia yg hidup terjajah dlm desain besar ekonomi bersendikan neoliberalisme: menyembah pasar yg mentah bahkan busuk. Mendesain politiknya tidak deliberatif apalagi demokrasi subtantif. Cenderung moneycrazi.
Desain hukumnya semakin membela oligarki, kartel dan begundal. Desain tradisinya metropolis dan irasional kecuali minatnya pada industri lendir. Tidak berangkat dari akar-akar kejeniusan lokal. Desain agamanya psudo-fundamentalis. Bukan agama pembebasan yg membela si miskin dan marjinal.
Aku tidak minat pada cinta semu. Aku anti pada kecantikan palsu. Sebab, yg kuminati adalah pertarungan ide dan gagasan. Sehingga, aku horny dng kecerdasan dan luasnya pengetahuan. Jadi yg kutuju bkn polesan ataupun salon; bkn citra dan tipu-tipu belaka.
***
Hidup pada akhirnya hanya festival perjalanan yg sering tak terpahami kecuali setelah terlewati. Hidup memang berkonsekwensi pilihan dan perlawanan. Pilihan untuk menjalani dengan siapa dan perlawanan demi sekeping kebahagiaan.
The pursuit of happyness, kata paman mamarika. Tapi, ada satu tesis yg sulit dilupa soal bahagia ini. Yaitu kalimat singkat dari Bob Dylan (1998), "kesuksesan bukanlah kunci dari kebahagiaan. Sebaliknya kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Bila kau menyintai apa yang kau lakukan dan merasa bahagia melakukannya, maka kau pasti sukses." Pertanyaannya adalah, "apakah kita mengerjakan yg kita cintai atau menyintai yg kita kerjakan."
Lalu, kupeluk ia sambil berbisik lembut di kuping kanannya yg wangi bak kasturi, "kasih, hidup cuma sekali. Betapa bodohnya orang yg menjalani tanpa orang yg dicintainya. Betapa bodohnya orang yg mati tanpa di sisi orang yg mencintai dan dicintainya. Hidup cuma sekali. Ayok rayakan agar kita bahagia."
0 comments:
Post a Comment