Ilustrasi |
Blora, Harian Blora – Mengapa Blora disebut Kota Mati?
Pertanyaan tersebut sangat menggelitik dan harus dibongkar serta dijawab
bersama.
Bagi warga Blora, mengembangkan
potensi lokal memang berat. Tidak hanya di dunia bisnis, namun juga di dunia
seni dan budaya. Susahnya mencari pekerjaan dan sulitnya akses di pemerintahan,
menjadi stigma bahwa Blora Kota Mati bagi sebagian orang.
Padahal, Blora merupakan salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi besar, baik pertaniannya apalagi
minyak dan budayanya. Selain itu, tokoh-tokoh besar juga lahir di Blora seperti
Pramoedya Ananta Toer, Samin Surorentiko dan juga Mukti Ali, dan lain
sebagainya.
Secara ekonomis, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
Jateng, per September 2015 jumlah penduduk miskin di Jateng mencapai 4,5 juta
jiwa atau setara dengan 13,32% total penduduk. Jumlah tersebut turun 1,2%
dibandingkan periode yang sama pada 2014. Pada saat itu, persentase penduduk
miskin sebesar 13,58% dengan jumlah 4,56 juta jiwa.
Secara lebih terperinci, jumlah penduduk miskin di perkotaan
secara tahunan naik dari 1,77 juta menjadi 1,79 juta. Adapun jumlah penduduk
miskin di perdesaan turun dari 2,79 juta menjadi 2,71 juta.
Kemiskinan
di 15 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah masih tergolong tinggi. Di 15
kabupaten tersebut, jumlah warga miskin masih di atas 14 persen dari seluruh
jumlah penduduk.
Dari 15 kabupaten yang tingkat kemiskinannya masih di atas 15 persen antara lain di Kabupaten Blora yag tercatat sekitar 14,64 persen; Grobogan sebanyak 14,87 persen; Cilacap 15,24 persen; Purworejo 15,44 persen; Klaten 15,60 persen; Demak 15,72 persen; Sragen 15,93 persen; Banyumas 18,44 persen; Banjarnegara 18,71 persen; dan Pemalang sebanyak 19,27 persen.
Sedangkan lima daerah kabupaten lainnya, angka kemiskinan masih di atas 20 persen. Lima kabupaten itu adalah Purbalingga sebanyak 20,53 persen; Brebes 20,82 persen; Rembang 20,97 persen; Kebumen 21,32 persen; dan Kabupaten Wonosobo sebanyak 22,08 persen.
Berdasarkan data tersebut, maka seluruh wilayah kabupaten di wilayah eks Karesidenan Banyumas masih memiliki angka kemiskinan yang tergolong tinggi. Yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, perlu ada sinergi antara program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan pemerintah di masing-masing kabupaten/kota. (Red-HB99).
Dari 15 kabupaten yang tingkat kemiskinannya masih di atas 15 persen antara lain di Kabupaten Blora yag tercatat sekitar 14,64 persen; Grobogan sebanyak 14,87 persen; Cilacap 15,24 persen; Purworejo 15,44 persen; Klaten 15,60 persen; Demak 15,72 persen; Sragen 15,93 persen; Banyumas 18,44 persen; Banjarnegara 18,71 persen; dan Pemalang sebanyak 19,27 persen.
Sedangkan lima daerah kabupaten lainnya, angka kemiskinan masih di atas 20 persen. Lima kabupaten itu adalah Purbalingga sebanyak 20,53 persen; Brebes 20,82 persen; Rembang 20,97 persen; Kebumen 21,32 persen; dan Kabupaten Wonosobo sebanyak 22,08 persen.
Berdasarkan data tersebut, maka seluruh wilayah kabupaten di wilayah eks Karesidenan Banyumas masih memiliki angka kemiskinan yang tergolong tinggi. Yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, perlu ada sinergi antara program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan pemerintah di masing-masing kabupaten/kota. (Red-HB99).
0 comments:
Post a Comment