Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Wednesday, 2 March 2016

Cerpen Rantai Anjing

Oleh Nadjib Kartapati Z.

Sebelum taksi yang membawanya itu berhenti, gedung-gedung yang dilewati telah memberinya gambaran tentang rumah majikannya. Paling tidak, pikirnya, sebuah bangunan megah, tinggi, dan perkasa. Sekarang yang dihadapi adalah rumah besar berpagar besi, yang sekejap pun ia tak pernah bermimpi akan tinggal di sana. Ia masih terpana ketika Sunti menggamitnya dan menyodorkan tentengan agar ia bawa.


"Ini rumah Pak Prawiro, rumah Nyonya Sulih. Rumah ndoromu. Kamu tak perlu takut, Yem!" kata Sunti, perempuan setengah baya yang mencarikannya pekerjaan, atau tepatnya mencarikan tempat ia akan berlindung dan mengabdi.


Iyem mengangguk dan mengekor langkah Sunti. Ia mengamati bagaimana perempuan itu membuka pagar besi karena ia merasa pekerjaan itu bakal menjadi salah satu tugasnya. Dalam hatinya terbersit perasaan bangga. Namun ketika di teras rumah itu ia melihat seekor anjing besar, hatinya jadi kecut. Sebagai gadis desa tulen, Iyem merasa tak pernah ramah terhadap binatang bernama anjing itu. Sekalipun anjing itu dirantai, toh ia tetap bergidik.


Di rumah itu Iyem dan Sunti disambut oleh Nyonya Sulih yang cantik dan bertubuh montok. Iyem merasa selama hidup tak pernah menginjak lantai seindah itu. Lantai yang dilapisi karpet tebal, yang empuk bagai busa. Kedua telapak kakinya merasa kikuk, risi dan tenggelam. Tidak cuma itu. Semua perabotan yang dilihatnya merupakan benda-benda asing yang tak pernah dikenalnya, di rumah Pak Lurah yang terkaya di desanya sekalipun.


"Ini gadis yang saya bilang itu, Mbak," ucap Sunti kepada Nyonya Sulih. "Ia anak satu-satunya Pak Kromo yang terkenal dengan sebutan Man Mbil dulu. Barangkali Mbak Sulih masih ingat.”
"Oo ya, Man Mbil. Aku ingat sedikit-sedikit," balas Nyonya Sulih seraya memandangi Iyem. "Mulai sekarang kamu jadi penghuni rumah ini," katanya kepada Iyem yang tertunduk malu-malu. "Siapa namamu?"
"Iyem," sahut Sunti sebelum yang bersangkutan menjawab. "Dia rajin bekerja kok, Mbak. Pokoknya asal dikasih tahu, dia bakal bisa bekerja sendiri. Bukan begitu, Yem?"
Iyem mengangguk. Tampak sekali bahwa kecanggungan belum hilang dari dirinya. Ujung jari-jari kakinya menggaruk-garuk bulu karpet.
"Kamu pernah sekolah, Yem?"
"Pernah. Dia tamat SD," lagi-lagi dijawab oleh Sunti.
"Bagus," puji Nyonya Sulih. "Setidak-tidaknya kamu bisa baca-tulis. Di sini kamu boleh baca majalah, tapi kalau peker¬jaanmu sudah beres. Kamu lancar berbahasa Indonesia, 'kan?"


Iyem cuma tersenyum. Ia berpikir, baik benar orang kaya ini. Yang ditanyakan bukan soal pekerjaan, melainkan soal bahasa dan baca-tulis. Enak benar kalau pembantu diperbolehkan baca-baca majalah. Iyem ingat Ginah yang pernah ikut Pak Lurah itu dibentak majikannya gara-gara mencoba baca koran. Ginah dikatai kemayu, sok terpelajar dan sebagainya.


Di rumah itu Iyem dikenalkan dengan Mbok Paini dan Kasdi. Yang pertama itu seorang pembantu tua, dan yang terakhir adalah seorang sopir.


“Mbok Paini inilah yang akan membimbingmu bekerja, Yem," tutur Nyonya Sulih lembut. "Kalau kamu tak jelas, tanyakan saja kepadanya."
"Ya, Ndoro."
"Panggil saja Bu, atau Tante," tukas Nyonya Sulih yang ramah.
"Ya, Bu Tante."
Nyonya Sulih terkekeh-kekeh. 
"Jangan Bu Tante! Panggil Bu Sulih atau Tante Sulih," ralatnya sambil tertawa.


Oleh Mbok Paini, Iyem diajak ke belakang. Ia diberi kamar khusus yang tempatnya bersebelahan dengan kamar pembantu tua itu. Di bagian belakang lantai tidak dilapisi karpet seperti di ruang tengah. Tetapi kaki Iyem tetap merasa kikuk menginjak lantai marmer yang bersih mengkilat itu. Kasur di tempat tidurnya begitu empuk membuat ia menekan-nekankan pantatnya berulang-ulang. Ia ingat, selama ini ia tidur di atas kasur tua tinggalan mendiang ayahnya yang kerasnya melebihi pantat kera. Aku bisa bangun kesiangan kalau begini, pikirnya.


Hari itu Iyem merasa bahagia. Sedikit juga ia tak pernah membayangkan akan melihat Jakarta, apalagi menjadi penghuninya. Tahu-tahu kini ia harus menjadi orang Jakarta dan berada di tengah-tengah keluarga yang bukan sanak bukan kadang. Kalau melihat catatan dalam rapornya, bulan ini ia berusia enambelas tahun. Ia merasa beruntung, setidak-tidaknya karena ia tahu banyak kawan gadis seusianya di desa pada iri. Meskipun cuma sebagai pembantu, ia bersyukur mendapat majikan yang ramah dan baik hati.


Ah, sayang, gerutunya. Kenapa nasib baik ini kuperoleh setelah Ayah meniggal dunia? Memang itulah jelujur nasibnya. Kalau ayahnya tidak meninggal, Iyem malahah akan tetap menjadi gadis desa. Ayahnya begitu menyayanginya sehingga tak ingin Iyem jauh darinya. Ibunya? Iyem tak pernah ingat. Kata orang, ibunya meninggal semenjak ia masih terlalu kecil. Ayahnya pernah kawin lagi tetapi kemudian bercerai, lantaran perempuan itu tak sayang terhadap Iyem. Selanjutnya ayahnya kapok kawin, takut kalau memperoleh perempuan yang perangainya sama.


Begitu besar kasih sayang ayahnya kepadanya membuat Iyem selalu ingin memberikan bakti yang agung. Sejak kanak-kanak ia sudah belajar membantu ayahnya mencari nafkah. Ada-ada saja yang dikerjakan. Mencari upah mengukur kelapa di rumah tetangganya yang bikin penganan, momong anak Pak Lurah, mengupas singkong di perusahaan tapioka, dan apa sajalah. Setelah menginjak remaja Iyem sudah bisa pergi rencek, yakni mencari ranting-ranting kering kayu di hutan jati tak jauh dari desanya. Itulah sebabnya ia sempat dikenal oleh para pemuda desa sebagai "bunga rencek" lantaran ia terbilang paling cantik.


Sekarang tentulah Iyem bukan si "bunga rencek" lagi. Dan kalau nanti ia dapat upah, itu pun bukan untuk membantu ayahnya yang berprofesi sebagai pemanjat pohon kelapa. Ia tak akan pernah lagi mendengar kata "Mbiiil" yang melengking dari mulut ayahnya saban hari. Mbil itu berasal dari kata kerambil yang artinya kelapa, sebagai seruan untuk mengundang pemilik pohon kepala yang butuh jasanya. Di kemudian hari, Kromo, nama aslinya, tak diingat orang lagi. Ia lebih akrab dengan panggilan Man Mbil. Tetapi, suatu hari musibah itu datang. Man Mbil jatuh dari pohon kelapa milik tetangganya, dan mati.


Semua itu kini sudah menjadi masa lalu bagi Iyem. Sunti, adik Pak Lurah, telah membawanya ke Jakarta dan menyerahkannya kepada Nyonya Sulih yang konon juga berasal dari desa Iyem.
"Jangan kuatir, Yem!" kata Sunti sesaat sebelum meninggalkannya pulang. "Sebulannya kamu dapat upah dua puluh lima ribu rupiah. Tapi kamu jangan sekali-kali bikin malu aku! Kamu harus rajin bekerja. Ndoromu itu priayi, orang kaya...."


Duapuluh lima ribu rupiah sebulan? Iyem termangu-tangu. Betapa besar penghasilanku, pikirnya. Memang ini loncatan. Loncatan ekonomi, juga loncatan budaya, atau mungkin pula loncatan harga diri dan martabat. Maka ia bersyukur mendapat majikan yang berbudi luhur. Ah, itu 'kan Bu Sulih. Bagaimana Pak Prawiro? Iyem membayangkan Pak Prawiro berwajah angker, tinggi besar, hitam kulitnya, berkumis, dan kurang ramah. Orang kaya raya biasanya tidak ramah, pikir Iyem.


Gambaran Iyem keliru. Sore hari Pak Prawiro datang. Orangnya bertubuh gemuk pendek, berwajah bulat, dan banyak senyum. Ia menghampiri Iyem di belakang begitu diberi tahu istrinya.


"Namamu Iyem ya?" katanya. "Anggap saja seperti di rumah orang tuamu. Tak usah canggung. Kamu 'kan masih sangat muda."
Ah, bagaimana mungkin kuanggap seperti rumah orang tuaku, pikir Iyem. Orang tuaku tak pernah memiliki rumah sebagus ini, bahkan sampai mereka dipanggil Gusti Allah. Tetapi Iyem toh cuma tersenyum, mengangguk, dan kembali menunduk¬kan muka malu-malu.
"Besok ajak dia belanja keluar, Ma!" ucap Pak Prawiro kepada istrinya. "Biar dia tahu suasana luar. Jangan suruh di rumah terus."
"Tentu, Pa," jawab Nyonya Sulih. "Dia harus kenal jalan di sekitar sini. Kapan-kapan nanti dia harus berani disuruh belanja sendiri. Dia bisa baca-tulis kok. Mana masih muda lagi."
"Berani 'kan, Yem, kamu belanja sendiri?" tanya Pak Prawiro dengan roman muka ramah.
"Iya, kalau sudah tahu tempatnya, Ndoro."
"Jangan panggil ndoro, Yem! Panggil saja Pak!" sahut Nyonya Sulih. "Di rumah ini tidak ada ndoro, Yem. Ingat ya?"


Iyem mengangguk lagi. Malah kini dengan menyungging senyum.
Mulailah Iyem melakukan tugas-tugasnya. Ia berpikir, kebai¬kan majikannya harus ia balas dengan kerja keras. Ia merasa berhutang budi. Ia merasa telah diangkat dari kubangan kemiski-nan. Hampir tiap hari ia diajak Nyonya Sulih belanja dengan naik mobil. Ke pasar, ke toko-toko, ke super-market yang tak jauh dari rumah itu. Ia merasa berani bila seaktu-waktu disuruh belanja sendiri. Ia mulai lancar berbahasa Jakarta karena diajari oleh Mbok Paini setiap hari.
Iyem tak canggung lagi tinggal di rumah gedongan itu. Kalaupun ada yang mebuatnya risi, tak lain hanyalah anjing besar di teras itu. Matanya yang berkilat-kilat, lidahnya yang lebih sering terjulur dengan dengus napas yang tersengal, membuat Iyem ngeri dan bergidik. Pernah, suatu pagi, jantung Iyem seperti nyaris copot ketika anjing itu menggeram di depannya. Sungguh ia benci terhadap anjing itu, terutama kalau ia ingat tutur guru ngajinya di desa, "Mulut anjing itu najis, juga tubuhnya kalau basah."


Tetapi Iyem tak mampu berbuat apa-apa. Ia tahu Pak Prawiro sangat menyayangi anjing itu. Sering ia melihat majikannya mengelus-elus tengkuk si anjing seperti mengelus-elus kekasihnya. Dan ajing itu melek-merem keenakan, tampak amat mesra dengan majikannya.
"Kamu tak usah takut sama si Boy, Yem!" tutur Pak Prawiro. "Asal kamu baik, anjing itu senang diajak bersahabat."
Huh! Buat apa bersahabat dengan binatang nanjis? Tetapi kata-kata itu tak diucapkan. Pokoknya tidak! Aku benci sekali pada anjing itu, serunya dalam hati!


Sikap itulah yang sampai hampir sebulan tidak berubah. Ia sudah membiasakan diri bekerja keras membanting tulang. Ia sudah bisa menggunakan kompor gas. Ia sudah bisa memakai mesin cuci. Ia sudah lancar berbahasa Jakarta. Ia sudah berani belanja sendiri ke super-market. Akan tetapi, Iyem tetap tak suka kepada anjing itu.
"Kalau kamu suka kepadaku, kamu harus juga suka pada anjing itu, Yem," ucap Pak Prawiro suatu malam.


Iyem tersentak. Rusaklah suasana indah itu. Waktu itu ia sedang mengurut kaki Pak Prawiro di ruang tengah sambil menonton televisi. Pak Prawiro duduk berdampingan dengan istrinya, sementara Iyem menggelesot di lantai berkarpet. Mengurut kaki majikannya sambil menonton televisi merupakan pekerjaan rutin Iyem tiap malam.
"Saya takut," jawab Iyem menggigil. "Di desa anjing diburu-buru orang, tak boleh masuk kampung...."


Pak Prawiro dan Nyonya Sulih terkekeh-kekeh. 
Sore keesokannya Iyem dipanggil Pak Prawiro.
"Belikan rantai anjing di super-market, Yem. Hari ini ulang tahun si Boy," kata Pak Prawiro sambil mengulurkan uang duapuluh lima ribu rupiah kepada Iyem.
"Berapa harganya, Pak?" tanya Iyem terheran-heran.
"Kamu bisa lihat sendiri di etalase. Yang duapuluh lima ribu saja...."
Dua puluh lima ribu rupiah? Iyem terpana. Iyem lantas masuk kamar setelah menerima uang tersebut. Lama sekali ia tak muncul. Pak Prawiro dan Nyonya Sulih tidak tahu apa yang dilakukan Iyem di dalam kamar itu. Kasdi sudah mengeluarkan mobil dari garasi dan menunggu Iyem. Tetapi untuk beberapa lama yang ditunggu tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
"Mungkin sedang berdandan," duga Pak Prawiro.
"Berdandan kok lama sekali," gerutu Nyonya Sulih.
"Ah, kayak nggak tahu adat anak gadis."


Sampai rokok Pak Prawiro menyentuh batas filter, Iyem belum juga ke luar kamar. Nyonya Sulih menatap suaminya dengan pandang bertanya. Pak Prawiro mulai kesal sekaligus curiga.
"Kita tengok saja, Ma!" serunya.


Pak Prawiro dan Nyonya Sulih masuk ke kamar Iyem. Mereka terkesiap. Iyem tidak sedang berdandan. Iyem menelungkup menahan isak tangis. Wajahnya dibenamkan ke balik bantal.
"Kenapa, Yem?" tanya kedua majikannya hampir bersamaan.
Isak tangis Iyem makin keras. Punggungnya bahkan ikut terguncang-guncang.
"Kenapa, Yem? Apa yang terjadi? Kamu nggak mau beli rantai anjing karena benci sama si Boy ya?"
Tetap tak ada jawaban kecuali tangisnya yang kian menggugu. Pak Prawiro dan Nyonya berpandangan, tampak heran dan cemas.


Memang tak seorang pun tahu apa yang membuat Iyem menangis. Hati Iyem memekik sakit. Bukan karena benci terhadap si Boy. Bukan pula karena cemburu pada anjing itu. Ia menangis meratapi dirinya yang sebulan ini memperoleh nasib baik. Dirinya yang dengan kerja keras mendapatkan upah duapuluh lima ribu rupiah sebulan, senilai hadiah ulang tahun anjing majikannya.


Iyem, gadis desa yang lugu itu, tak pernah tahu warna-warni permainan orang kota. Tak pernah tahu jarak kehidupan.

Jakarta, 1986

Cerpen ini kutulis tahun 1986, dimuat di Suara Pembaruan. Itu artinya, umurnya hampir 30 tahun. Dibaca sekarang, nilai rupiah menjadi janggal. Namun aku tidak mengubah atau menyesuaikan nominal rupiah yang ada dalam cerpen ini. Biarlah seperti aslinya.



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Cerpen Rantai Anjing Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora