Kapten Czi Martono |
Penulis adalah Danramil Kandat-Kodim 0809/Kediri
Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagai-mana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa.
Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina.
Sementara itu, Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sotasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta.
Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjelma menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”.
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosên, Mangkā Jinatwa lawan Śiwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa
Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang, Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenarnya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebenaran yang mendua.
Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.
Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sotasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya ada-lah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila.
Tetapi inti masalahnya yang hendak dipecahkan sang pujangga pasti semua tidak keberatan. Yaitu bagaimana menjinakkan kutub-kutub ekstrim yang ada pada setiap agama, agar tersedia “ruang bersama” untuk saling berbagi, saling melengkapi dalam membangun NKRI sebagai rumah bersama. Karena itu, kini ungkapan bhinneka tunggal ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks.
0 comments:
Post a Comment