Oleh Kapten Chb Mulyono
Penulis adalah Danramil Pagu-Kodim 0809/Kediri
Ketika pertama kali dibangun pada abad ke-8, Candi Borobudur jelas-jelas ditujukan sebagai tempat pemujaan agama Buddha. Namun, sepuluh abad kemudian setelah muncul dari semak belukar yang menutupinya, candi itu telah menjelma menjadi peninggalan masa lampau yang bersifat lintas agama. Karena merupakan monumen mati (dead monument), artinya tidak digunakan secara terus-menerus oleh pendukung agama Buddha, maka banyak pakar tertarik mengkaji bangunan ini.
Lebih dari itu, Candi Borobudur telah dianggap sebagai monumen milik dunia. Karena itu, ketika candi ini mengalami kerusakan parah dan perlu dipugar secara besar-besaran, banyak negara ikut berpartisipasi tanpa memandang keagamaan yang diwakilinya. Mereka menganggap Candi Borobudur adalah milik semua agama. Terbukti, banyak pemeluk non-Buddha amat mengagumi candi ini dan terus berdatangan ke sini hingga sekarang. Candi Borobudur merupakan contoh nyata dari adanya kerukunan dan toleransi beragama di tanah air kita. Sebenarnya, bukan hanya Candi Borobudur yang menyontohkan adanya kepedulian seperti itu. Banyak peninggalan masa lampau menjadi bukti betapa kerukunan beragama sudah terjalin sejak lama.
Hingga saat ini adanya toleransi beragama yang paling tua ditemukan pada situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat). Pertanggalannya ditaksir dari masa abad ke-5 Masehi. Sebagaimana laporan Tim Arkeologi UI, di situs ini pernah ditemukan candi Buddha dan candi Hindu yang berdekatan letaknya. Situs Batujaya juga tergolong istimewa karena pernah memiliki tradisi berciri megalitik sebagai agama asli waktu itu. Tradisi tersebut berkembang sebelum zaman Hindu Buddha. Tiga agama hidup berdampingan secara damai, tanpa ada rasa saling bermusuhan tentu menunjukkan betapa toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi masyarakat kala itu.
Sikap tersebut ditengarai lahir dari latar belakang Raja Hayam Wuruk, yakni memiliki kerabat yang bergama Islam, Hindu, bahkan ibundanya sendiri, Ratu Tribuwana Tunggadewi (Tribhuwana Wijayatunggadewi/Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani), adalah seorang beragama Buddha (kepercayaan inilah yang mungkin menjadi salah satu pendorong bagi Ratu Tribuwana Tunggadewi untuk mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan kemudian memilih jalan hidup sebagai seorang biksuni).
Toleransi Raja Hayam Wuruk kepada agama-agama yang berkembang pada masa tersebut sepertinya dimulai dari dirinya sendiri. Raja Hayam Wuruk tidak melepaskan silsilah dan sejarah bahwa ia berasal dari pohon keluarga yang heterogen, keluarga yang pluralis. Pengakuan pluralisme pada zaman Majapahit dapat kita simak dari sebuah slogan yang menggambarkan kedudukan Raja Hayam Wuruk yang di dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh pemuka-pemuka agama yang berbeda.
Toleransi beragama juga terdapat pada Candi Jawi di Jawa Timur. Atap candi yang berbentuk stupa atau genta, menandakan bangunan suci agama Buddha. Sementara di halaman candi pernah ditemukan sejumlah arca seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara yang mewakili agama Hindu. Kitab kuno Nagarakretagama pernah menyebutkan suatu bangunan Jajawa (identik dengan Candi Jawi) sebagai tempat pendharmaan Raja Singasari Kertanegara (1268-1292) dalam perwujudannya sebagai Siwa-Buddha. Siwa adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Ditinjau dari kacamata arkeologi, candi Jawi termasuk unik dan langka karena mewakili dua agama sekaligus.
Penulis adalah Danramil Pagu-Kodim 0809/Kediri
Ketika pertama kali dibangun pada abad ke-8, Candi Borobudur jelas-jelas ditujukan sebagai tempat pemujaan agama Buddha. Namun, sepuluh abad kemudian setelah muncul dari semak belukar yang menutupinya, candi itu telah menjelma menjadi peninggalan masa lampau yang bersifat lintas agama. Karena merupakan monumen mati (dead monument), artinya tidak digunakan secara terus-menerus oleh pendukung agama Buddha, maka banyak pakar tertarik mengkaji bangunan ini.
Lebih dari itu, Candi Borobudur telah dianggap sebagai monumen milik dunia. Karena itu, ketika candi ini mengalami kerusakan parah dan perlu dipugar secara besar-besaran, banyak negara ikut berpartisipasi tanpa memandang keagamaan yang diwakilinya. Mereka menganggap Candi Borobudur adalah milik semua agama. Terbukti, banyak pemeluk non-Buddha amat mengagumi candi ini dan terus berdatangan ke sini hingga sekarang. Candi Borobudur merupakan contoh nyata dari adanya kerukunan dan toleransi beragama di tanah air kita. Sebenarnya, bukan hanya Candi Borobudur yang menyontohkan adanya kepedulian seperti itu. Banyak peninggalan masa lampau menjadi bukti betapa kerukunan beragama sudah terjalin sejak lama.
Hingga saat ini adanya toleransi beragama yang paling tua ditemukan pada situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat). Pertanggalannya ditaksir dari masa abad ke-5 Masehi. Sebagaimana laporan Tim Arkeologi UI, di situs ini pernah ditemukan candi Buddha dan candi Hindu yang berdekatan letaknya. Situs Batujaya juga tergolong istimewa karena pernah memiliki tradisi berciri megalitik sebagai agama asli waktu itu. Tradisi tersebut berkembang sebelum zaman Hindu Buddha. Tiga agama hidup berdampingan secara damai, tanpa ada rasa saling bermusuhan tentu menunjukkan betapa toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi masyarakat kala itu.
Sikap tersebut ditengarai lahir dari latar belakang Raja Hayam Wuruk, yakni memiliki kerabat yang bergama Islam, Hindu, bahkan ibundanya sendiri, Ratu Tribuwana Tunggadewi (Tribhuwana Wijayatunggadewi/Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani), adalah seorang beragama Buddha (kepercayaan inilah yang mungkin menjadi salah satu pendorong bagi Ratu Tribuwana Tunggadewi untuk mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan kemudian memilih jalan hidup sebagai seorang biksuni).
Toleransi Raja Hayam Wuruk kepada agama-agama yang berkembang pada masa tersebut sepertinya dimulai dari dirinya sendiri. Raja Hayam Wuruk tidak melepaskan silsilah dan sejarah bahwa ia berasal dari pohon keluarga yang heterogen, keluarga yang pluralis. Pengakuan pluralisme pada zaman Majapahit dapat kita simak dari sebuah slogan yang menggambarkan kedudukan Raja Hayam Wuruk yang di dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh pemuka-pemuka agama yang berbeda.
Toleransi beragama juga terdapat pada Candi Jawi di Jawa Timur. Atap candi yang berbentuk stupa atau genta, menandakan bangunan suci agama Buddha. Sementara di halaman candi pernah ditemukan sejumlah arca seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara yang mewakili agama Hindu. Kitab kuno Nagarakretagama pernah menyebutkan suatu bangunan Jajawa (identik dengan Candi Jawi) sebagai tempat pendharmaan Raja Singasari Kertanegara (1268-1292) dalam perwujudannya sebagai Siwa-Buddha. Siwa adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Ditinjau dari kacamata arkeologi, candi Jawi termasuk unik dan langka karena mewakili dua agama sekaligus.
0 comments:
Post a Comment