Oleh Fariz Al Nizar
Peneliti di STAINU Jakarta
Minggu depan, atau bahkan mulai dari sekarang “arus gerah” ritual mudik sudah mulai menggejala. Ritual ini, konon, menurut Rheinald Kasali yang ahli menejemen itu, merupakan fenomena mobilisasi terbesar dan tercepat di dunia.
Bayangkan, 27,5 juta jiwa berduyun-duyun pindah dari kota ke desa hanya dalam waktu paling lama satu minggu. Angka yang subhanawwoh!
Demi kepentingan, keselamatan, dan terutama kenyamanan kita bersama baik sebagai pribadi, keluarga maupun negara, saya mengusulkan satu hal saja kaitannya dengan mudik.
Ya, usul saya adalah untuk mudik kali ini Pak Jokowi harus menjadi orang terdepan dalam arak-arakan rombongan. Kenapa? Nah kalau ini alasannya banyak.
Pertama, sebagai presiden yang baik, Ia harus membuktikan bahwa ia adalah presiden yang baik. Nah, sebagai orang yang memiliki kampung halaman di Solo sana maka alangkah kstarianya jika Pak Jokowi memimpin langsung gerakan mudik nasional.
Kita paham, bahwa untuk menjadi rakyat yang baik kita pasti juga membutuhkan teladan dan sikap yang baik pula. Rasanya tidak arif jika rakyatnya berdesak-desakan di jalan raya bertarug nyawa dengan yang lainnya, sementara di saat yang bersamaan—Presiden, yang notabene juga orang kampung yang memiliki kampung halaman dan akan mudik—hanya bisa mengambil peran dalam seremonial pelepasan simbolik para pemudik lalu kemudian memonitoring sambil ongkang-ongkang kaki via layar teve. Sungguh perbuatan yang tidak bijak bertari.
Kedua, dengan medium mudik berssma dipimpin langsung oleh presiden ini, sesungguhnya ini juga bisa dijadikan peluang oleh Pak Jokowi untuk membuktikan bahwa mobil Esemka-nya bisa dinaikin dan laik pakai. Hal ini maha penting, sebab di tengah isu Protonisasi mobil nasional, Pak Jokowi harus membuktikan bahwa ia tidak pernah menghianati Esemka.
Ketiga, ini alasan yang dibuat khusus untuk para haters Pak Jokowi yang barusan dinasehati Mas Arlian Buana itu. Ya, agar Pak Jokowi beristirat di kampung halamannya saja.
Sebagi presiden, Pak Jokowi nampaknya sudah terlalu letih untuk memanggul cobaan-demi cobaan di negeri ini. Hestek #SudahiJokowi dan #SudahlahJokowi mejadi bukti otentik bahwa rakyat masih sangat perhatian dengan ketenteramaan hidup pak presiden.
Lho bukannya tugas pemerintah yang baik adalah pemerintah yang selalu memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk tumbuh kembang menjadi pribadi-pribadi kuat bermental super yang mandiri dan berjibaku serta bertungkus lumus mengongkosi hidupnya sendiri-sendiri? Pemerintah hadir sebagai semacam tutor untuk melatih mental anak-anak bangsa agar kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan ini. Itu sejatinya maksud revolusi mental. Oleh karena itu ndak apa-apa kalau dolar naik sampai 15.000; atau bahkan 25.000; sekalipun tak apa-apa. Yang kolaps kan negaranya, rakyatnya masih tetap sumringah.
Tapi Pak, tunggu dulu, sebagai rakyat kebanyakan dari kami juga menaruh rasa simpatik kepada Bapak. Persoalannya adalah kami terharu akan kemalangan nasib pemerintahan Bapak. Kabinet yang kerja, kerja, kerja itu nyatanya sampai hari ini baru bisa dimaknai hanya sebatas menenggelamkan kapal asing di laut. Selebihnya ndak ada.
Menteri koordinator pembangunan seumberdaya manusia anaknya Ibu Suri itu apalagi, kehadirannya sungguh membuat rakyat tersinggung. Jika Bapak fasih, tolong tunjukkan kepada kami di bagian mana manusia-manusia Indonesia hari ini dibangun?
Ah, saya kok menjadi berapi-api begini. Mohon maaf. Tapi ya itu tadi, sebagai rakyat yang baik, maka saya pribadi juga tidak tega untuk tidak memberikan kesempatan kepada Bapak untuk beristirahat di kampung halaman. Alangkah baiknya bila Bapak mudik sejenak untuk beristirahat dan bercengkerama dengan sanak famili, keluarga, dan juga handai tolan.
Jika Bapak merasa lebih rileks di kampung halaman, terus terang saja, saya atau mungkin kami dan kita semua tidak keberatan menerima bila Bapak ingin selamanya beristirahan di sana, di kampung halaman tercinta.
Selamat mudik, Pak!
Peneliti di STAINU Jakarta
Minggu depan, atau bahkan mulai dari sekarang “arus gerah” ritual mudik sudah mulai menggejala. Ritual ini, konon, menurut Rheinald Kasali yang ahli menejemen itu, merupakan fenomena mobilisasi terbesar dan tercepat di dunia.
Bayangkan, 27,5 juta jiwa berduyun-duyun pindah dari kota ke desa hanya dalam waktu paling lama satu minggu. Angka yang subhanawwoh!
Demi kepentingan, keselamatan, dan terutama kenyamanan kita bersama baik sebagai pribadi, keluarga maupun negara, saya mengusulkan satu hal saja kaitannya dengan mudik.
Ya, usul saya adalah untuk mudik kali ini Pak Jokowi harus menjadi orang terdepan dalam arak-arakan rombongan. Kenapa? Nah kalau ini alasannya banyak.
Pertama, sebagai presiden yang baik, Ia harus membuktikan bahwa ia adalah presiden yang baik. Nah, sebagai orang yang memiliki kampung halaman di Solo sana maka alangkah kstarianya jika Pak Jokowi memimpin langsung gerakan mudik nasional.
Kita paham, bahwa untuk menjadi rakyat yang baik kita pasti juga membutuhkan teladan dan sikap yang baik pula. Rasanya tidak arif jika rakyatnya berdesak-desakan di jalan raya bertarug nyawa dengan yang lainnya, sementara di saat yang bersamaan—Presiden, yang notabene juga orang kampung yang memiliki kampung halaman dan akan mudik—hanya bisa mengambil peran dalam seremonial pelepasan simbolik para pemudik lalu kemudian memonitoring sambil ongkang-ongkang kaki via layar teve. Sungguh perbuatan yang tidak bijak bertari.
Kedua, dengan medium mudik berssma dipimpin langsung oleh presiden ini, sesungguhnya ini juga bisa dijadikan peluang oleh Pak Jokowi untuk membuktikan bahwa mobil Esemka-nya bisa dinaikin dan laik pakai. Hal ini maha penting, sebab di tengah isu Protonisasi mobil nasional, Pak Jokowi harus membuktikan bahwa ia tidak pernah menghianati Esemka.
Ketiga, ini alasan yang dibuat khusus untuk para haters Pak Jokowi yang barusan dinasehati Mas Arlian Buana itu. Ya, agar Pak Jokowi beristirat di kampung halamannya saja.
Sebagi presiden, Pak Jokowi nampaknya sudah terlalu letih untuk memanggul cobaan-demi cobaan di negeri ini. Hestek #SudahiJokowi dan #SudahlahJokowi mejadi bukti otentik bahwa rakyat masih sangat perhatian dengan ketenteramaan hidup pak presiden.
Lho bukannya tugas pemerintah yang baik adalah pemerintah yang selalu memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk tumbuh kembang menjadi pribadi-pribadi kuat bermental super yang mandiri dan berjibaku serta bertungkus lumus mengongkosi hidupnya sendiri-sendiri? Pemerintah hadir sebagai semacam tutor untuk melatih mental anak-anak bangsa agar kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan ini. Itu sejatinya maksud revolusi mental. Oleh karena itu ndak apa-apa kalau dolar naik sampai 15.000; atau bahkan 25.000; sekalipun tak apa-apa. Yang kolaps kan negaranya, rakyatnya masih tetap sumringah.
Tapi Pak, tunggu dulu, sebagai rakyat kebanyakan dari kami juga menaruh rasa simpatik kepada Bapak. Persoalannya adalah kami terharu akan kemalangan nasib pemerintahan Bapak. Kabinet yang kerja, kerja, kerja itu nyatanya sampai hari ini baru bisa dimaknai hanya sebatas menenggelamkan kapal asing di laut. Selebihnya ndak ada.
Menteri koordinator pembangunan seumberdaya manusia anaknya Ibu Suri itu apalagi, kehadirannya sungguh membuat rakyat tersinggung. Jika Bapak fasih, tolong tunjukkan kepada kami di bagian mana manusia-manusia Indonesia hari ini dibangun?
Ah, saya kok menjadi berapi-api begini. Mohon maaf. Tapi ya itu tadi, sebagai rakyat yang baik, maka saya pribadi juga tidak tega untuk tidak memberikan kesempatan kepada Bapak untuk beristirahat di kampung halaman. Alangkah baiknya bila Bapak mudik sejenak untuk beristirahat dan bercengkerama dengan sanak famili, keluarga, dan juga handai tolan.
Jika Bapak merasa lebih rileks di kampung halaman, terus terang saja, saya atau mungkin kami dan kita semua tidak keberatan menerima bila Bapak ingin selamanya beristirahan di sana, di kampung halaman tercinta.
Selamat mudik, Pak!
0 comments:
Post a Comment