Oleh Endang Sriani
Penulis adalah mahasiswi Pascasarjana Hukum Bisnis Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Benarkah kebijakan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan ini sebenarnya menjadi refleksi kita bersama atas kondisi pembangunan ekonomi saat ini. Apalagi, kesejahteraan masyarakat Indonesia juga masih jauh dari harapan dan indeks kemajuan masih belum menunjukkan data kualitatif maupun kuantitatif yang memuaskan.
Dalam sejarahnya, pasca perang dunia ke dua, dunia telah terbagi dalam masing-masing blok, dalam proses pembangunan ekonomi model yang bernama baru kapitalisme (neoliberalisme). Ditandai dengan perusahaan publik beralih pada swasta, jutaan buruh kehilangan pekerjaan, dari pegawai tetap menjadi outsourcing (kontrak).
Kebijakan ekonomi seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah baru Jokowi-JK saat ini dalam melihat krisis? Mungkinkah dapat menyelesaikan akar masalah? Tentu tidak mudah dalam memutus mata rantai pola orientasi pembangunan ekonomi warisan Orde Baru. Melihat dari pola kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkan, maka akan muncul satu simpulan ”tak ada yang baru”, justru dibuat lebih tak terkontrol lagi dengan meliberalisasi seluruh sektor baik perdagangan, jasa, serta keuangan.
Pada kenyataannya, meskipun negeri ini sudah menjalankan ekonomi pasar sejak masa Orde baru, dan ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) selama 15 tahun. Hingga saat ini impian pemerataan kesejahteraan tak pernah berwujud. Kita dapat melihat di mana-mana orang kaya semakin kaya, sedangkan orang miskin semakin miskin. Ketimpangan terjadi di mana-mana. Bagaimana kekayaan dari 40 orang di Indonesia kurang lebih sebanding dengan 50% APBN negara atau setara dengan 77 Juta kekayaan penduduk Indonesia.
Kesenjangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa sebesar 57,6% – 42,4%. Upah minimum Kota Semarang Rp 1.685.000, tentunya bervariasi tiap-tiap kota di Jateng. Tentunya sangat jauh bila dibandingkan dengan pejabat BUMN ada yang sampai Rp 100.000.000. Ketimpangan lainnya terjadi pada harapan hidup dan pendidikan, ketimpangan pada angka harapan hidup sebesar 16,8% dan ketimpangan pendidikan sebesar 20,4% (masa sekolah). Inilah sedikit gambaran dari ketimpangan (imballances) hasil dari dijalankannya kebijakan pembanguan ekonomi dengan muara kapitalisme.
Ketimpangan ini tentu akan akan terus berlanjut dengan pencabutan subsidi rakyat. Terlihat jelas ketimpangan yang dialami rakyat mencapai 0,41 % artinya jumlah orang miskin dan hampir miskin melonjak. Angka 0,41 ini di tahun-tahun yang akan datang akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM, kenaikan harga kebutuhan pokok. Karena yang diberikan pemerintah bukan pendidikan, kesehatan, energi murah, transportasi murah, air minum, melainkan jalan, pelabuhan, bandara, kawasan pabrik bagi lancarnya modal Asing agar dapat leluasa mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dan manusia yang ada.
Dinamika kapital sekarang ini bahwa sasaran kapital sudah berbeda, dahulu perkebunan menjadi sasaran utama kapital di indonesia. Perkembangan kapital dunia merubah sasaran utama dari perkebunan menjadi pertambangan dan industri manufaktur. Tambang dan sumber-sumber mineral kita banyak, murah dan berkualitas. Maka menjadi hal pokok bagi investasi utama kapital pada sektor manufaktur, karena hasil produksinya lebih besar diperuntukan untuk pasar dalam negeri dibanding ekspor. Komoditi yang diekspor adalah barang setengah jadi dengan kualitas lebih baik dari komoditi yang dijual dalam negeri.
Inilah cara kasar logika globalisasi dalam makna memperluas investasi untuk kesejahteraan. Pada kenyataannya, akumulasi kapital tetap pada induk negara–negara kapital untuk mengembangkan teknologi atau mekanisasi teknologi di titik–titik investasi. Pemotongan subsidi yang terjadi di negara–negara maju bukan karena masalah krisis ekonomi tetapi peningkatan penghisapan atas kerja riil buruh dan ketiadaan daya beli.
Di samping memaksimalkan investasi di negeri-negeri berkembang juga melakukan social net. Negara maju menyadari dampak dari pola ekonominya. Sehingga dibangun sistem asuransi seperti BPJS menarik uang dari masyarakat kecil serta kelas menengah. Bayangkan saja, penduduk yang banyak seperti Cina kalau tidak ada teknologi dan investasi, tidak bisa kebayang kehancurannya. Kemungkinan subsidi masih ada tetapi subsidi diarahkan dalam bentuk penciptaan investasi yang menguntungkan kapital, tapi juga menghasilkan barang-barang kolektif, misalnya yang paling tepat dengan investasi adalah infrastruktur. Sehingga keperluan investasi adalah pembangunan infrastruktur dari mulai jalan raya, telekomunikasi dan sebagainya.
Alternatif Solusi Krisis
Berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis dan sosialis yang memusatkan penguasaan harta atas dasar kepentingan individu dan kelompok, ekonomi Islam memandang harta menjadi tiga kelompok, yakni harta milik pribadi, negara dan umum. Dari sinilah kemudian akan memunculkan keseimbangan pengelolaan harta secara merata karena harta negara dikelola oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyatnya, begitu pula dengan harta umum yang tidak menafikan usaha individu untuk memperolehnya dan menjadi harta pribadi yang juga akhirnya bermuara untuk kemaslahatn bersama melalui zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswa).
Sebelum jauh membahas tentang pemanfaatan dana Ziswa berikut penulis berikan gambaran umum dari masing-masing unsur ziswa itu sendiri. Pertama, zakat, menurut mazhab Maliki yang dimaksud zakat yakni mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada yang berhak menerimanya. Mazhab Hanafi mengartikan zakat adalah menjadikan harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik yang khusus dan ditentukan oleh Syariat. Mazhab Syafii berpendapat zakat ialah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusu. Terakhir, mazhab Hambali mendefinisikan zakat sebagai hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk yang khusus pula.
Dari berbagai pengertian para ulama dapat ditarik benang merah bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemiliknya yang sudah mencapai nisab serta haulnya dan diberikan kepada mereka yang berhak menerima sesuai dengan petunjuk syariat Islam.
Menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika peruntukkan zakat sudah diatur dalam syariat Islam maka dalam infak boleh diberikan kepada siapapun kapan pun dan di mana pun.
Sedekah mempunyai arti memberikan sesuatu kepada orang/pihak lain. Sesuatu di sini mempunyai arti lebih luas jika dibandingkan infak yang harus berupa materi atau benda, yakni bisa berupa harta maupun jasa tenaga dan pikiran serta amalan-amalan saleh lainnya.
Terakhir adalah Wakaf, dalam Kamus istilah Fikih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb: 2002). Sedangkan pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Memaksimalkan Peran dan Fungsi Ziswa
Dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, potensi dana Ziswa sangat melimpah, namun jumlah yang fantastis tersebut belum terkelola dengan efektif dan efisien, sehingga angka kasus kemiskinan di negeri ini masih tinggi dan tingkat kriminal juga mengikuti.
Dari banyaknya dana yang terkumpul dari Ziswa kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang paling efektif mengelola dana tersebut? Lembaga negara atau lembaga sosial, atau bahkan keduanya?
Melihat sejarah peradaban Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab, pemerintah mendirikan baitul mal yang berwenang mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikan dana zakat sehingga disini pemerintah bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat. Begitupun pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemerintahannya mengoptimalkan potensi dana Ziswa untuk mengentaskan kemiskinan dengan program mengubah muatahiq menjadi muzakki danterbukti ampuh kurang lebih selama 2,5 tahun membuat Negaranya makmur dan tidak ada rakyat miskin. Namun pada era saat ini baitul mall lebih difungsikan sebagai lembaga yang tidak ada bedanya dengan perbankan, alih fungsi yang memprihatinkan.
Sedangkan di Indonesia sendiri saat ini pengelolaan Ziswa sesuai amanat UU Nomor 38 tahun 1999 mempertegas dan mengatur fungsi pengelolaan zakat (dan dana kedermawanan yang lain) yang terdiri LAZ yang didirikan organisasi keagamaan sosial dan BAZ yang didirikan oleh pemerintah, dan ini sekaligus menjadi kritik bahwa dengan adanya dua lembaga yang berbeda induk tersebut membuat keduanya lebih banyak berkompetisi dalam menghimpun dana umat ketimbang bekerjasama.
Di sini, poinya bukan soal siapa yang mengelola, namun bagaimana cara pengelolaan dan pendistribusian potensi dana yang luar biasa tersebut sehingga bisa menyejahterakan masyarakat Indonesia yang tingkat kesejahteraannya di bawah rata-rata. Pengelolaan dengan sistem yang profesional, komprehensif dan universal mutlak diperlukan karena mengingat saat ini pengelolaan dana Ziswa masih belum maksimal, terutama yang berada di pedesaan, pentasharufan zakat masih menggunakan cara tradisional yakni dibagi-bagikan hanya sebatas untuk konsumsi sehingga tidak ada perubahan yang berarti dari para muzakki ini.
Penulis adalah mahasiswi Pascasarjana Hukum Bisnis Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Benarkah kebijakan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan ini sebenarnya menjadi refleksi kita bersama atas kondisi pembangunan ekonomi saat ini. Apalagi, kesejahteraan masyarakat Indonesia juga masih jauh dari harapan dan indeks kemajuan masih belum menunjukkan data kualitatif maupun kuantitatif yang memuaskan.
Dalam sejarahnya, pasca perang dunia ke dua, dunia telah terbagi dalam masing-masing blok, dalam proses pembangunan ekonomi model yang bernama baru kapitalisme (neoliberalisme). Ditandai dengan perusahaan publik beralih pada swasta, jutaan buruh kehilangan pekerjaan, dari pegawai tetap menjadi outsourcing (kontrak).
Kebijakan ekonomi seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah baru Jokowi-JK saat ini dalam melihat krisis? Mungkinkah dapat menyelesaikan akar masalah? Tentu tidak mudah dalam memutus mata rantai pola orientasi pembangunan ekonomi warisan Orde Baru. Melihat dari pola kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkan, maka akan muncul satu simpulan ”tak ada yang baru”, justru dibuat lebih tak terkontrol lagi dengan meliberalisasi seluruh sektor baik perdagangan, jasa, serta keuangan.
Pada kenyataannya, meskipun negeri ini sudah menjalankan ekonomi pasar sejak masa Orde baru, dan ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) selama 15 tahun. Hingga saat ini impian pemerataan kesejahteraan tak pernah berwujud. Kita dapat melihat di mana-mana orang kaya semakin kaya, sedangkan orang miskin semakin miskin. Ketimpangan terjadi di mana-mana. Bagaimana kekayaan dari 40 orang di Indonesia kurang lebih sebanding dengan 50% APBN negara atau setara dengan 77 Juta kekayaan penduduk Indonesia.
Kesenjangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa sebesar 57,6% – 42,4%. Upah minimum Kota Semarang Rp 1.685.000, tentunya bervariasi tiap-tiap kota di Jateng. Tentunya sangat jauh bila dibandingkan dengan pejabat BUMN ada yang sampai Rp 100.000.000. Ketimpangan lainnya terjadi pada harapan hidup dan pendidikan, ketimpangan pada angka harapan hidup sebesar 16,8% dan ketimpangan pendidikan sebesar 20,4% (masa sekolah). Inilah sedikit gambaran dari ketimpangan (imballances) hasil dari dijalankannya kebijakan pembanguan ekonomi dengan muara kapitalisme.
Ketimpangan ini tentu akan akan terus berlanjut dengan pencabutan subsidi rakyat. Terlihat jelas ketimpangan yang dialami rakyat mencapai 0,41 % artinya jumlah orang miskin dan hampir miskin melonjak. Angka 0,41 ini di tahun-tahun yang akan datang akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM, kenaikan harga kebutuhan pokok. Karena yang diberikan pemerintah bukan pendidikan, kesehatan, energi murah, transportasi murah, air minum, melainkan jalan, pelabuhan, bandara, kawasan pabrik bagi lancarnya modal Asing agar dapat leluasa mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dan manusia yang ada.
Dinamika kapital sekarang ini bahwa sasaran kapital sudah berbeda, dahulu perkebunan menjadi sasaran utama kapital di indonesia. Perkembangan kapital dunia merubah sasaran utama dari perkebunan menjadi pertambangan dan industri manufaktur. Tambang dan sumber-sumber mineral kita banyak, murah dan berkualitas. Maka menjadi hal pokok bagi investasi utama kapital pada sektor manufaktur, karena hasil produksinya lebih besar diperuntukan untuk pasar dalam negeri dibanding ekspor. Komoditi yang diekspor adalah barang setengah jadi dengan kualitas lebih baik dari komoditi yang dijual dalam negeri.
Inilah cara kasar logika globalisasi dalam makna memperluas investasi untuk kesejahteraan. Pada kenyataannya, akumulasi kapital tetap pada induk negara–negara kapital untuk mengembangkan teknologi atau mekanisasi teknologi di titik–titik investasi. Pemotongan subsidi yang terjadi di negara–negara maju bukan karena masalah krisis ekonomi tetapi peningkatan penghisapan atas kerja riil buruh dan ketiadaan daya beli.
Di samping memaksimalkan investasi di negeri-negeri berkembang juga melakukan social net. Negara maju menyadari dampak dari pola ekonominya. Sehingga dibangun sistem asuransi seperti BPJS menarik uang dari masyarakat kecil serta kelas menengah. Bayangkan saja, penduduk yang banyak seperti Cina kalau tidak ada teknologi dan investasi, tidak bisa kebayang kehancurannya. Kemungkinan subsidi masih ada tetapi subsidi diarahkan dalam bentuk penciptaan investasi yang menguntungkan kapital, tapi juga menghasilkan barang-barang kolektif, misalnya yang paling tepat dengan investasi adalah infrastruktur. Sehingga keperluan investasi adalah pembangunan infrastruktur dari mulai jalan raya, telekomunikasi dan sebagainya.
Alternatif Solusi Krisis
Berbeda dengan konsep ekonomi kapitalis dan sosialis yang memusatkan penguasaan harta atas dasar kepentingan individu dan kelompok, ekonomi Islam memandang harta menjadi tiga kelompok, yakni harta milik pribadi, negara dan umum. Dari sinilah kemudian akan memunculkan keseimbangan pengelolaan harta secara merata karena harta negara dikelola oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyatnya, begitu pula dengan harta umum yang tidak menafikan usaha individu untuk memperolehnya dan menjadi harta pribadi yang juga akhirnya bermuara untuk kemaslahatn bersama melalui zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswa).
Sebelum jauh membahas tentang pemanfaatan dana Ziswa berikut penulis berikan gambaran umum dari masing-masing unsur ziswa itu sendiri. Pertama, zakat, menurut mazhab Maliki yang dimaksud zakat yakni mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada yang berhak menerimanya. Mazhab Hanafi mengartikan zakat adalah menjadikan harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik yang khusus dan ditentukan oleh Syariat. Mazhab Syafii berpendapat zakat ialah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusu. Terakhir, mazhab Hambali mendefinisikan zakat sebagai hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk yang khusus pula.
Dari berbagai pengertian para ulama dapat ditarik benang merah bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemiliknya yang sudah mencapai nisab serta haulnya dan diberikan kepada mereka yang berhak menerima sesuai dengan petunjuk syariat Islam.
Menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika peruntukkan zakat sudah diatur dalam syariat Islam maka dalam infak boleh diberikan kepada siapapun kapan pun dan di mana pun.
Sedekah mempunyai arti memberikan sesuatu kepada orang/pihak lain. Sesuatu di sini mempunyai arti lebih luas jika dibandingkan infak yang harus berupa materi atau benda, yakni bisa berupa harta maupun jasa tenaga dan pikiran serta amalan-amalan saleh lainnya.
Terakhir adalah Wakaf, dalam Kamus istilah Fikih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb: 2002). Sedangkan pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Memaksimalkan Peran dan Fungsi Ziswa
Dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, potensi dana Ziswa sangat melimpah, namun jumlah yang fantastis tersebut belum terkelola dengan efektif dan efisien, sehingga angka kasus kemiskinan di negeri ini masih tinggi dan tingkat kriminal juga mengikuti.
Dari banyaknya dana yang terkumpul dari Ziswa kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang paling efektif mengelola dana tersebut? Lembaga negara atau lembaga sosial, atau bahkan keduanya?
Melihat sejarah peradaban Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab, pemerintah mendirikan baitul mal yang berwenang mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikan dana zakat sehingga disini pemerintah bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat. Begitupun pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemerintahannya mengoptimalkan potensi dana Ziswa untuk mengentaskan kemiskinan dengan program mengubah muatahiq menjadi muzakki danterbukti ampuh kurang lebih selama 2,5 tahun membuat Negaranya makmur dan tidak ada rakyat miskin. Namun pada era saat ini baitul mall lebih difungsikan sebagai lembaga yang tidak ada bedanya dengan perbankan, alih fungsi yang memprihatinkan.
Sedangkan di Indonesia sendiri saat ini pengelolaan Ziswa sesuai amanat UU Nomor 38 tahun 1999 mempertegas dan mengatur fungsi pengelolaan zakat (dan dana kedermawanan yang lain) yang terdiri LAZ yang didirikan organisasi keagamaan sosial dan BAZ yang didirikan oleh pemerintah, dan ini sekaligus menjadi kritik bahwa dengan adanya dua lembaga yang berbeda induk tersebut membuat keduanya lebih banyak berkompetisi dalam menghimpun dana umat ketimbang bekerjasama.
Di sini, poinya bukan soal siapa yang mengelola, namun bagaimana cara pengelolaan dan pendistribusian potensi dana yang luar biasa tersebut sehingga bisa menyejahterakan masyarakat Indonesia yang tingkat kesejahteraannya di bawah rata-rata. Pengelolaan dengan sistem yang profesional, komprehensif dan universal mutlak diperlukan karena mengingat saat ini pengelolaan dana Ziswa masih belum maksimal, terutama yang berada di pedesaan, pentasharufan zakat masih menggunakan cara tradisional yakni dibagi-bagikan hanya sebatas untuk konsumsi sehingga tidak ada perubahan yang berarti dari para muzakki ini.
0 comments:
Post a Comment