Oleh : Rifqi Faranida
Petang ini aku berkelana
Dalam sayup-sayup redup matahari kota
Gemericik tetes hujan,
Sadarkan aku yang
sedari tadi hanya merangkak ke depan,
dan tak ingat arah jalan pulang
Aku tertegun di bawah langit
yang semula biru
Lamunkan sejuta bintang berapi tiba-tiba jatuh tepat
di hidung mancungku
Saatku telusuri sudut-sudut kota mati ini
Ku bongkar segala rupa gubuk kecil
di ujung kota
Di sebuah gang buntu,
ku amati gemetar gerik tingkahmu
Tulang kering yang
membopong tubuh ringkuh itu
Seakan telah terbiasa kau paksa berkeringat
Ku cekik ikan tepat
dihadapan wajahmu yang teduh mengaduh
Hingga rasanya air ludahku muncrat membasahi pipimu
Kau diam saja,
dan tak bereaksi apa-apa
Hanya sejenak melirikku dan kembali begitu saja
Tingkah lucumu itu menggelitik seluruh jiwa
yang tahu
Celingukan mencari-cari seperangkat peralatan
ritual harianmu
Di
tumpukan pakaian,
Di
kolong-kolong meja
Di
bawah bantal
Kau tak menyerah
Barang-barang itu,
Kerikil bacaan tasbih,
Sehelai kain sajadah lusuh rajutan nenek moyang,
Tudung kepala hitam butut
itupun masih saja kau cari-cari
Saat matamu mulai memerah dan kantung matamu mulai menghitam
Pikirku takkan kau temukan
yang kau cari itu
Sekali kau cari. Dua kali. Tiga
kali kau tak menyerah
Dan kau temukan yang
kau cari itu di balik peralatan ritual istrimu
Kau hanya tersenyum mendekap hangat barang-barang itu
Saat itu, bergegas kau kumandangkan
Sebait kata-kata
seruan penghantar menghadap Tuhan
Bersama kami yang
kau ajak sehari lima kali
Untuk bersama-sama merintih dan mengadu
Pada secercah cahaya kebenaran
0 comments:
Post a Comment