Oleh
Bahtiar Rizal Ainunnidhom
Penulis adalah Ketua Keluarga Mahasiswa Blora (KAMABA)
Yogyakarta
Ia memang telah berpulang sejak 30 April
2006. Namun, Ia yakin akan abadi, keyakinan itu digoreskan dalam sebuah artefak
“Menulislah, karena tanpa menulis Engkau
akan hilang dari pusaran sejarah”.
Ya, Pramoedya Ananta Toer sastrawan kondang
asal Blora. Meski namanya begitu besar hingga dikenal dunia, namun hal tersebut
tak semanis ketika di tanah kelahirannya. Pram masih terkubur dalam-dalam di
tingkat regional bahkan nasional.
Seperti sebuah legenda yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Banyak pandangan, mulai dari media, karyanya, hingga cerita dari seseorang.
Tulisan ini bernada gugatan atas tenggelamnya Pram
di kampung halaman, semoga bisa
menjadi sajian bagi pembaca, agar kita mampu bersikap bijak dalam memandang
kenyataan yang ada.
Sebagai prolog mari
mengenal Blora dulu, sebuah kota kecil di Jawa Tengah ujung timur berbatasan
dengan kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Blora terletak di perbukitan kapur
bagian dari dari pegunungan Kendeng Utara dan Selatan. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora
merupakan kawasan hutan jati terutama wilayah utara, timur dan selatan. Selain kayu jati, banyak sumber daya
alam seperti minyak dan gas bumi. Dataran rendah di bagian tengah umumnya
merupakan areal persawahan. Sebagian besar wilayah Blora merupakan daerah
krisis air, sehingga kebanyakan sawah adalah tadah hujan.
Masyarakatnya cenderung konsumtif dibuktikan
dengan hadirnya sesuatu hal baru mudah sekali memasuki sendi-sendi
kesehariannya. Mereka lebih bangga dengan hal-hal yang bersifat euforia,
sehingga tidak menyadari kalau mereka pernah memiliki orang besar yang lahir di
kota mati tersebut. Pram nama yang begitu asing di Blora, mulai dari masyarakat
umum, pelajar, sampai pejabat pun nama itu tidak familier di telinga mereka.
Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain Pram dipandang negatif oleh
beberapa pihak, juga dianggap sebagai sosok yang berbahaya, keras kepala,
komunis, menakutkan seperti hantu, hantu yang ditakuti kompeni pada waktu itu.
Sejenak
menengok beberapa tahun yang lalu sebelum nama Samin Soerosentiko melambung
tinggi. Samin sebelumnya juga mengalami nasib yang sama seperti Pram saat ini
namanya begitu asing ditelinga masyarakat lokal.
Kemudian seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit
banyak yang mengkaji tentang ajaran Samin dan dibangunnya Pendopo Padepokan
Sedulur Sikep di Klopo Duwur, akhirnya nama Samin Soerosentiko cukup mendapat
banyak perhatian dari berbagai kalangan. Ini
membuktikan bahwa masyarakat kita cenderung menunggu daripada menjemput bola.
Bisa dipastikan jika tanpa adanya pengagas awal dari suatu kelompok, lembaga,
instansi bahkan personal untuk mengangkat seorang tokoh besar yang terlupakan
maka sebuah kata “Bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai pahlawannya” sudah selayaknya kita hapus dari
kehidupan.
Terhapusnya jejak Pram dari masyarakat
disebabkan masih adanya fobia bangsa ini terhadap komunis yang dipahami
menganut paham atheis. Sulit untuk diterima, berdasarkan informasi yang saya
dapat dari Soesilo Toer adik kandung Pram “Saat bapaknya meninggal saya melihat
sendiri Pram lah yang meneriakan takbir “Allahu Akbar” pertama kali”. Selain
itu, Soesilo Toer juga mengakui bahwa Pram itu beragama. “Siapa bilang Pram
atheis, Pram itu agamanya Islam,” ucap adik kesayangan Pram dengan lantang.
Mungkin sampai kapan pun Pram tak akan mendapatkan tempat, rasanya intimidasi
itu sampai sekarang masih ada.
Pram
menyadari Ia adalah korban dari sistem korup, manipulatif, dan deskriptif di
negerinya sendiri. Bahkan Pram tak pernah dihargai, yang ada ketika Pram
menjadi penerima Ramon Magsaysay Award
1995 banyak penulis menolak atas penghargaan yang diterima Pram. Keadilan tak
kunjung menghampirinya sampai akhir hayat, sampai karya-karyanya dibakar oleh
Angkatan Darat. Masih banyak hal yang harus diperjuangkan agar Pram mendapatkan
haknya sebagai manusia yang dimanusiakan. Bukan lagi hantu, yang ditakuti.
Sementara
itu, Pram mengingatkan kita semua akan ketajaman penanya. Sikap berani, pikiran
kritis, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari
seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Pram yang harus kita teladani untuk
menuju masyarakat madani. Pram masa lalu, kini dan esok Indonesia. Ia adalah
sastrawan dengan selera dan kemampuan kelas atas yang melambung tinggi di zamnnya.
Satu-satunya
peninggalan Pram di Blora adalah Perpustakaan Pramoedya Ananta Anak Semua
Bangsa (PATABA) yang dikelola Soesilo Toer sebagai aset berharga. PATABA
berpotensi menjadi museum kelas dunia yang bisa menarik wisatawan, sekaligus
sebagai media belajar sastra dan sejarah. Ini menjadi momentum refleksi, salah
satunya untuk memajukan Blora. Pram melalui PATABA telah dikenal dunia, terlihat
dari pengunjung mancanegara seperti Swedia, Amerika, Belgia, Jepang, Korea,
Jerman. Tokoh yang pernah berkunjung dari dalam negeri ada Ajip Rosidi,
Koesalah Soebagya, FX Hoerry, Poppy Dharsono dan sebagainya.
Tak
terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita, karena pemburaman
sejarah atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam menilai
kembali sejarah kita sendiri. Karenanya,
kita telah melupakan nama besar “Pramoedya Ananta Toer”.
Sungguh ironis, mengingat Ia adalah sosok berpengaruh bagi bangkitnya bangsa
Indonesia melalui ketajaman pena, Ia menjelma menjadi sebuah buku tentang Indonesia
seutuh-utuhnya. Lambat laun mengalun Ia telah terbaring tenang dan kini
benar-benar tenggelam.
0 comments:
Post a Comment