Oleh Ahmad Muslih
Ketua Lembaga Pusat Penelitian
Pendidika (LP3) Semarang
Ujian Nasional berbasis online. Foto: Bisnis.com. |
Pernyataan
Mendikbud Anies Baswedan bahwa Ujian Nasional (UN) yang jujur bagian dari
pembangunan karakter sangat menantang (Kompas, 9/3/2015). Sebab, hakikat UN bukan
sekadar masalah evaluasi, namun juga menjadi elemen pembentuk karakter pelajar
dan juga guru. Tujuan ujian nasional adalah revolusi karakter. Dalam hal ini, sebenarnya Indonesia tidak hanya butuh “pembangunan
karakter”, namun juga “revolusi karakter”. Mengapa? Karena hanya dengan
revolusi karakter, manusia Indonesia akan tahu bahwa dirinya adalah bangsa
besar dan menjunjungi tinggi kejujuran.
Selama ini cara
pembentukan karakter hanya dinilai pada proses pembelajaran di kelas, sedangkan
UN hanya dinilai sebagai instrumen evaluasi dari hasil belajar tersebut yang
sifatnya formalitas tahunan. Padahal prinsip long life education adalah
belajar seumur hidup, termasuk dalam proses UN.
Indonesia
menurut Umar Kayam (1932-2002) adalah bangsa yang memiliki karakter jujur,
cerdas, disiplin, tanggung jawab dan tidak mudah putus asa. Namun mengapa
selama ini ketika UN masih ada kecurangan? Berarti ada yang salah dalam sistem
pendidikan kita. Jika perlu “pembangunan karakter”, sebenarnya ada “karakter
besar yang roboh” terhadap hati, jiwa dan pikiran manusia Indonesia.
Ironisnya,
tindakan curang tidak hanya dilakukan pelajar, namun juga oknum guru ketika
proses UN selama ini. Padahal tugas guru menurut Luthfi (2012) adalah setiap
pikiran, ucapan dan tindakan menjamin kejujuran kepada semua orang. Maka sangat
logis jika UN menjadi salah satu alat untuk membangun karakter pelajar dan guru
di Indonesia.
Pergeseran
Indonesia sangat
dikenal sebagai bangsa kuat dan besar. Namun kini rapuh karena gempuran
globalisasi. Mental pembohong dan licik sudah menjangkiti struktur rohani
manusia Indonesia. UN yang seharusnya bersih dan jujur, hampir tiap tahun
dinodai oleh oknum yang berbuat curang.
Jika dulu UN
hanya berbasis lembar jawab komputer (LJK), mulai tahun ini pemerintah membuat
terobosan baru dengan sistem online. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia
semakin lama justru semakin “tidak jujur”. Mengapa? Semakin ketatnya aturan UN,
berarti pemerintah semakin tidak percaya terhadap kejujuran pelajar. Artinya,
kejujuran dalam UN diragukan.
Untuk mencapai
predikat lulus 100 persen, sekolah berlomba-lomba agar semua siswanya lulus
semua. Dengan dorongan itu, banyak sekolah tak takut berbuat kecurangan, mulai
dari pembocoran soal bahkan sampai memberi kunci jawaban. Padahal di dalam
pendidikan sangat haram ada kecurangan. Jika ingin lulus 100 persen, seharusnya
kejujurannya harus 100 persen pula, bukan kebohongannya yang 100 persen.
Apalagi UN
adalah ritual sangat suci yang harus dijalankan dengan prinsip jujur dan
bersih. Jika pendidikan menjadi lahan ketidakjujuran, maka kebohongan akan
menjadi kebiasaan dan membudaya. Jika sudah membudaya, maka lambat laun akan
menjadi “peradaban”. Maka tidak heran jika saat ini kita menganggap korupsi
sebagai hal wajar. Sebab, korupsi sudah menjadi kebiasaan, budaya dan akhirnya
menjadi peradaban yang sulit dihilangkan. Ironis.
Dalam konteks
ini, guru sebagai sosok utama yang digugu dan ditiru harus berbenah dan
introspeksi. Munculnya gagasan UN online adalah wujud “kegagalan” UN
biasa yang menjadi digital yang tersistem dan tak bisa dibohongi. Artinya,
semakin canggihnya sistem UN, hal itu justru membuktikan bahwa UN tak lagi
menjadi lahan menyemai karakter jujur pada pelajar.
Kita juga perlu
mengapresiasi pemerintah karena melahirkan kebijakan baru dalam UN tahun 2015.
Pasalnya sistem tahun ini menyatakan bahwa hasil UN tidak menjadi syarat
kelulusan. Hal itu dilakukan agar bukan hanya nilai tinggi yang dicapai tapi
juga kejujuran.
Tujuan Ujian
dan Revolusi Karakter
Berbicara
karakter tentu berbicara kebiasaan dan teladan. Dalam pendidikan, guru lah
sosok teladan yang bisa mentransfer karakter jujur kepada pelajar. Selain
membangun, tugas guru adalah merevolusi karakter pelajar.
Anies Baswedan
(2015) menyatakan ada dua jenis karakter yang harus dibangun ke dalam jiwa
pelajar. Pertama, karakter moral, yakni kejujuran, keikhlasan. Kedua, karakter
kinerja, seperti sikap tangguh dan ulet. Seorang guru harus bisa menanamkan
kejujuran dalam diri siswa sebagai bagian dari pembangunan karakter.
Said Hamid Hasan
(2012) pernah mengritik kejujuran semu UN. Jika ingin membangun mutu
pendidikan, maka ditentukan lingkungan belajar yang bermutu pula. Namun di
Indonesia kini belum bisa mengharapkan terbentuknya akhlak mulia lewat UN jika
lingkungannya masih mencontohkan para siswa untuk tidak jujur. Pembangunan
karakter tersebut bisa dilakukan dalam beberapa faktor, meliputi fasilitas
mengajar, interaksi belajar, bahan ajar dan suasana belajar. Jika ingin merevolusi
karakter, maka faktor-faktor tersebut harus sinergi dan terwujud dalam UN.
Revolusi
karakter melalui UN harus didesain secara sistematis dan terkonsep. Apalagi,
revolusi adalah pekerjaan kolektif, kontinu dan harus dilakukan sepanjangan
zaman. Pertama; pemerintah perlu mereformasi sistem UN, dan hal itu tidak
sekadar lewat perubahan sistem UN online. Pasalnya, UN bukan sekadar
masalah lulus atau tidak lulus, namun yang paling inti adalah aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik harus tercapai seimbang.
Kedua; stigma UN
adalah penentu kelulusan harus dibuang. Sebab, jika hal itu masih membenak di
hati siswa, maka yang ada hanyalah bagaimana cara lulus, bukan bagaimana siswa
bisa lulus dengan cara yang jujur dan bermartabat. Dalam rumus pendidikan,
kejujuran sangat mahal daripada kepandaian.
Ketiga;
seharusnya UN menjadi lahan penyemaian karakter pelajar. Selama ini UN hanya berjalan
sebagai ritual tahunan. Jika perlu, sekolah harus membuat program UN sebagai
wahana menyenangkan bagi siswa, untuk berlomba-lomba menunjukkan sportivitas
belajar dan mengukir prestasi. Apa guna lulus 100 persen jika hanya hasil
contek, maka hal itu sangat sia-sia.
Keempat; UN
seharusnya dilakukan bukan hanya berorientasi pada hasil, namun juga proses. Dhitta
Puti Sarasvati (2012) memberi solusi bahwa UN perlu dilakukan dengan sistem
berbasis proyek seperti yang dilakukan di Finlandia. Menurutnya, assessment
atau penilaian tidak hanya didasarkan kepada UN, karena UN hanya salah satu
alat mengukur kecerdasan siswa.
Jika ingin
merevolusi karakter, maka salah satunya adalah memperbaiki karakter jujur
pelajar lewat UN. Meskipun UN hanya dinilai ritus tahunan, namun saat UN siswa
berada dalam posisi yang menentukan dan akhir perjuangan selama bertahun-tahun
belajar.
0 comments:
Post a Comment