Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Wednesday, 15 April 2015

Tujuan Ujian Nasional adalah Revolusi Karakter



Oleh Ahmad Muslih
Ketua Lembaga Pusat Penelitian Pendidika (LP3) Semarang

Ujian Nasional berbasis online. Foto: Bisnis.com.
Pernyataan Mendikbud Anies Baswedan bahwa Ujian Nasional (UN) yang jujur bagian dari pembangunan karakter sangat menantang (Kompas, 9/3/2015). Sebab, hakikat UN bukan sekadar masalah evaluasi, namun juga menjadi elemen pembentuk karakter pelajar dan juga guru. Tujuan ujian nasional adalah revolusi karakter. Dalam hal ini, sebenarnya Indonesia tidak hanya butuh “pembangunan karakter”, namun juga “revolusi karakter”. Mengapa? Karena hanya dengan revolusi karakter, manusia Indonesia akan tahu bahwa dirinya adalah bangsa besar dan menjunjungi tinggi kejujuran.

Selama ini cara pembentukan karakter hanya dinilai pada proses pembelajaran di kelas, sedangkan UN hanya dinilai sebagai instrumen evaluasi dari hasil belajar tersebut yang sifatnya formalitas tahunan. Padahal prinsip long life education adalah belajar seumur hidup, termasuk dalam proses UN.

Indonesia menurut Umar Kayam (1932-2002) adalah bangsa yang memiliki karakter jujur, cerdas, disiplin, tanggung jawab dan tidak mudah putus asa. Namun mengapa selama ini ketika UN masih ada kecurangan? Berarti ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Jika perlu “pembangunan karakter”, sebenarnya ada “karakter besar yang roboh” terhadap hati, jiwa dan pikiran manusia Indonesia.

Ironisnya, tindakan curang tidak hanya dilakukan pelajar, namun juga oknum guru ketika proses UN selama ini. Padahal tugas guru menurut Luthfi (2012) adalah setiap pikiran, ucapan dan tindakan menjamin kejujuran kepada semua orang. Maka sangat logis jika UN menjadi salah satu alat untuk membangun karakter pelajar dan guru di Indonesia.

Pergeseran
Indonesia sangat dikenal sebagai bangsa kuat dan besar. Namun kini rapuh karena gempuran globalisasi. Mental pembohong dan licik sudah menjangkiti struktur rohani manusia Indonesia. UN yang seharusnya bersih dan jujur, hampir tiap tahun dinodai oleh oknum yang berbuat curang.

Jika dulu UN hanya berbasis lembar jawab komputer (LJK), mulai tahun ini pemerintah membuat terobosan baru dengan sistem online. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia semakin lama justru semakin “tidak jujur”. Mengapa? Semakin ketatnya aturan UN, berarti pemerintah semakin tidak percaya terhadap kejujuran pelajar. Artinya, kejujuran dalam UN diragukan.

Untuk mencapai predikat lulus 100 persen, sekolah berlomba-lomba agar semua siswanya lulus semua. Dengan dorongan itu, banyak sekolah tak takut berbuat kecurangan, mulai dari pembocoran soal bahkan sampai memberi kunci jawaban. Padahal di dalam pendidikan sangat haram ada kecurangan. Jika ingin lulus 100 persen, seharusnya kejujurannya harus 100 persen pula, bukan kebohongannya yang 100 persen.

Apalagi UN adalah ritual sangat suci yang harus dijalankan dengan prinsip jujur dan bersih. Jika pendidikan menjadi lahan ketidakjujuran, maka kebohongan akan menjadi kebiasaan dan membudaya. Jika sudah membudaya, maka lambat laun akan menjadi “peradaban”. Maka tidak heran jika saat ini kita menganggap korupsi sebagai hal wajar. Sebab, korupsi sudah menjadi kebiasaan, budaya dan akhirnya menjadi peradaban yang sulit dihilangkan. Ironis.

Dalam konteks ini, guru sebagai sosok utama yang digugu dan ditiru harus berbenah dan introspeksi. Munculnya gagasan UN online adalah wujud “kegagalan” UN biasa yang menjadi digital yang tersistem dan tak bisa dibohongi. Artinya, semakin canggihnya sistem UN, hal itu justru membuktikan bahwa UN tak lagi menjadi lahan menyemai karakter jujur pada pelajar.

Kita juga perlu mengapresiasi pemerintah karena melahirkan kebijakan baru dalam UN tahun 2015. Pasalnya sistem tahun ini menyatakan bahwa hasil UN tidak menjadi syarat kelulusan. Hal itu dilakukan agar bukan hanya nilai tinggi yang dicapai tapi juga kejujuran.

Tujuan Ujian dan Revolusi Karakter
Berbicara karakter tentu berbicara kebiasaan dan teladan. Dalam pendidikan, guru lah sosok teladan yang bisa mentransfer karakter jujur kepada pelajar. Selain membangun, tugas guru adalah merevolusi karakter pelajar.

Anies Baswedan (2015) menyatakan ada dua jenis karakter yang harus dibangun ke dalam jiwa pelajar. Pertama, karakter moral, yakni kejujuran, keikhlasan. Kedua, karakter kinerja, seperti sikap tangguh dan ulet. Seorang guru harus bisa menanamkan kejujuran dalam diri siswa sebagai bagian dari pembangunan karakter.

Said Hamid Hasan (2012) pernah mengritik kejujuran semu UN. Jika ingin membangun mutu pendidikan, maka ditentukan lingkungan belajar yang bermutu pula. Namun di Indonesia kini belum bisa mengharapkan terbentuknya akhlak mulia lewat UN jika lingkungannya masih mencontohkan para siswa untuk tidak jujur. Pembangunan karakter tersebut bisa dilakukan dalam beberapa faktor, meliputi fasilitas mengajar, interaksi belajar, bahan ajar dan suasana belajar. Jika ingin merevolusi karakter, maka faktor-faktor tersebut harus sinergi dan terwujud dalam UN.

Revolusi karakter melalui UN harus didesain secara sistematis dan terkonsep. Apalagi, revolusi adalah pekerjaan kolektif, kontinu dan harus dilakukan sepanjangan zaman. Pertama; pemerintah perlu mereformasi sistem UN, dan hal itu tidak sekadar lewat perubahan sistem UN online. Pasalnya, UN bukan sekadar masalah lulus atau tidak lulus, namun yang paling inti adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik harus tercapai seimbang.

Kedua; stigma UN adalah penentu kelulusan harus dibuang. Sebab, jika hal itu masih membenak di hati siswa, maka yang ada hanyalah bagaimana cara lulus, bukan bagaimana siswa bisa lulus dengan cara yang jujur dan bermartabat. Dalam rumus pendidikan, kejujuran sangat mahal daripada kepandaian.

Ketiga; seharusnya UN menjadi lahan penyemaian karakter pelajar. Selama ini UN hanya berjalan sebagai ritual tahunan. Jika perlu, sekolah harus membuat program UN sebagai wahana menyenangkan bagi siswa, untuk berlomba-lomba menunjukkan sportivitas belajar dan mengukir prestasi. Apa guna lulus 100 persen jika hanya hasil contek, maka hal itu sangat sia-sia.

Keempat; UN seharusnya dilakukan bukan hanya berorientasi pada hasil, namun juga proses. Dhitta Puti Sarasvati (2012) memberi solusi bahwa UN perlu dilakukan dengan sistem berbasis proyek seperti yang dilakukan di Finlandia. Menurutnya, assessment atau penilaian tidak hanya didasarkan kepada UN, karena UN hanya salah satu alat mengukur kecerdasan siswa.

Jika ingin merevolusi karakter, maka salah satunya adalah memperbaiki karakter jujur pelajar lewat UN. Meskipun UN hanya dinilai ritus tahunan, namun saat UN siswa berada dalam posisi yang menentukan dan akhir perjuangan selama bertahun-tahun belajar.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Tujuan Ujian Nasional adalah Revolusi Karakter Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora