Oleh Dian Marta Wijayanti
Stop bullying di sekolah dan pendidikan harus
dikampanyekan sejak ini. Semua sekolah di negeri ini harus bebas dari
penindasan atau bullying yang meresahkan dunia pendidikan. Pasalnya,
sekolah adalah surga, taman yang menyenangkan bagi anak-anak. Sekolah bukan
“hutan rimba” yang penuh kekerasan, begal dan kejahatan.
Jika sekolah masih meresahkan hati pelajar, maka tidak ada
bedanya sekolah dan jalanan. Sekolah yang baik adalah menyenangkan,
menggembirakan, dan melahirkan ketenangan hati, jiwa dan pikiran kepada semua
pelajar dan masyarakat. Hal itu tidak terwujud jika masih ada bullying,
maka tugas memberantas kejahatan ini adalah tugas bersama.
Sekolah menjadi tempat yang paling aman, nyaman dalam
mendidik pelajar. Jika anak-anak tidak mendapatkan kebahagiaan di rumah, maka
sekolah bertugas memberikan kasih-sayang kepada mereka yang broken home.
Namun apakah hal itu masih berjalan seiring banyaknya kasus bullying?
Penindasan atau bullying menurut Student Reports of
Bullying (2001) adalah tindakan kekerasan berupa pelecehan secara lisan
maupun ancaman. Dari beberapa studi psikologi, bullying terbagi atas
empat hal, yaitu secara emosional, fisik, verbal dan cyber.
Bullying fisik menurut Andrew Mellor (2014) meliputi
kontak fisik memukul, menendang, meludahi, mendorong, mencekik, menjambak,
melukai dengan benda dan sebagainya. Sedangkan bullying verbal meliputi
mengejek, menfitnah, memberi nama julukan yang tak pantas, meneror bahkan
pernyataan seksual yang melecehkan. Bullying relasi sosial seperti
merendahkan, menertawakan, menjauhi dan sebagainya. Sedangkan bullying cyber
meliputi perbuatan meneror atau melukai lewat internet, ponsel, SMS, facebook
dan sebagainya.
Dalam psikolinguistik, perkembangan bahasa anak menjadi
penting untuk merangsang otak anak. Jika usia pelajar, baik SD, SMP dan SMA,
mereka sudah mendapat “kekerasan bahasa” berupa kata-kata kotor, buruk,
melecahkan, maka hal itu sama merusak masa depan anak.
Thomas Lickona (Sutawi, 2010) menjelaskan salah satu tanda
kehancuran suatu bangsa adalah penggunaan kata-kata buruk. Munculnya bullying
dalam pendidikan, apakah menjadi salah satu tanda kehancuran Indonesia? Sebab, bullying
adalah perbuatan dengan menggunakan kata-kata buruk untuk melecehkan lawan. Hal
itu tentu saja menjadi musuh pendidikan yang harus dihilangkan.
Bullying Musuh Pendidikan
Dalam kacamata linguistik, bullying adalah musuh
pendidikan karena melecehkan orang lain dengan bahasa verbal. Tak hanya secara
kata-kata, aksi bully juga memuncak pada aksi kekerasan. Ida Zulaeha
(2014) menjelaskan bahasa itu mempunyai kekuatan magis. Jika digunakan untuk
memuji orang, maka orang tersebut termotivasi. Namun jika untuk melecehkan,
justru mampu membuat orang sakit hati lewat bahasa tersebut. Kekuatan kata-kata
buruk mampu melemahkan orang. Sebenarnya musuh pendidikan yang harus dilawan
adalah penggunaan kata-kata buruk, terutama bully.
Diena Haryana (2012) menyatakan korban bully dapat
terganggu aktivitas otaknya karena stres. Saat seorang mengalami pelecehan
ataupun kekerasan, maka bagian otak manusia yang disebut limbik sistem akan
bereaksi. Limbik sistem ini adalah bagian otak yang terus melakukan scanning
terhadap segala hal yang terjadi pada seorang.
Saat mengalami pelecehan atau kekerasan, limbik sistem akan
meminta otak memproduksi kortisol atau hormon stres. Jika stres terjadi
kontinu, maka ia akan mengalami destruksi luar biasa pada otak dan psikisnya.
Dari catatan KPAI, sejak 2011 sampai Agustus 2014, terjadi
369 kasus bullying. Jumlah tersebut sekitar 25 persen dari total
pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Menurut KPAI, kasus bullying
dalam pendidikan tersebut mengalahkan tawuran pelajar dan diskriminasi
pendidikan.
Baru-baru ini, di Jakarta Timur terjadi bullying
terhadap Nadhira Fajriani Ramadhan siswi kelas VIII SMP Al Jannah. Nadhira
merupakan korban bullying oleh teman-temannya. Akibat di-bully
temannya, ia hilang pada Sabtu, 7 Maret 2015 setelah pulang les pendalaman
materi UN di sekolahnya (Kompas, 12/3/2015).
Ironisnya, siswi ini sempat diinjak, diludahi dan dijambak
oleh teman-temannya. Parahnya, yang melakukan aksi kekerasan tersebut adalah
teman perempuannya yang tidak suka dengannya, kemudian merekam video adegan bullying
tersebut yang menggegerkan dunia pendidikan.
Sebelumnya, terjadi kasus sama di SDN Mentikan I Mojokerto.
Sekolah ini dinilai lalai hingga muncul kasus yang menyebabkan Muhammad Fatir
Zidan, siswa kelas II SD nyaris kehilangan penglihatan dan pendengaran akibat
di-bully (Republika, 22/1/2015).
Kasus bullying di luar negeri juga mengerikan.
Seperti contoh di Jepang, menurut data dari Kementerian Pendidikan Jepang pada
2013, tercatat 118.805 kasus ijime/bully di Jepang dari jumlah murid SD
yang disurvei yaitu 6.676.920 orang. Jumlah pelajar SD di Jepang tahun 2013
sekitar 67 juta orang. Dari jumlah itu, 170 kasus lebih terjadi di Kyoto.
Sedangkan kasus yang paling sedikit terjadi di Shiga hanya 1 kasus. Sedangkan
total ijime dari SD, SMP dan SMA hanya 200.000-an kasus (Tribun, 20/10/2014).
Bullying adalah musuh pendidikan. Sekolah harus
dibebaskan dari kejahatan tersebut. Sebab, sekolah yang seharusnya menyenangkan
siswa, namun akan kacau jika yang dialami siswa justru kecemasan, rasa takut,
terintimidasi bahkan kerusakan mental.
Stop Bullying di Sekolah
Resep membebaskan siswa dari bullying jauh-jauh hari
sudah dikonsep pemerintah, Kemendikbud, KPAI bahkan Kepolisian. Namun buktinya,
masih banyak kekerasan bermunculan bahkan semakin memprihatinkan. Perlu
dilakukan beberapa langkah untuk membebaskan sekolah dari bullying. Pertama;
sekolah adalah surga bagi anak. Semua warga sekolah harus mengutamakan
“kegembiraan” daripada “kekerasan”.
Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) menyebut sekolah adalah
taman indah. Ketika anak datang ke sekolah dengan senang hati, maka ia pulang
dengan berat hati. Guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan harus menjadikan
sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa. Iklim dan atmosfer yang
mengandung nilai cinta, kasih sayang, toleran, harus diutamakan dalam sekolah
jika ingin menghilangkan kekerasan.
Kedua; sebagai orang pertama yang digugu dan ditiru di
sekolah, guru harus menjadi teladan utama dalam mengajarkan pendidikan
karakter. Dengan karakter cinta dan kasih sayang, maka pelajar memiliki rasa
cinta Tuhan, alam, keluarga, cinta teman, guru dan kepada semua orang.
Ketiga; kunci utama majunya pendidikan menurut Anies
Baswedan (2014) adalah pada gurunya. Selain guru SD, sebenarnya semua guru
adalah “sosok” dan “profil penuh cinta”. Jika guru menyenangkan, anak akan
nyaman belajar. Dengan kenyamanan tersebut, mereka tidak mungkin berbuat usil
di sekolah.
Keempat; secara teknis, saat penerimaan siswa baru
seharusnya sekolah menjalankan prosedur pokok aturan. Sebab, banyak anak TK
yang belum cukup umur diterima begitu saja saat mendaftar SD.
Padahal, usia
mereka masih waktunya bermain dan akan sangat fatal jika dipaksa masuk SD.
Mengapa? Dengan merampas hak anak untuk bermain, hal itu memicu munculnya jiwa
memberontak pada mereka.
Kelima; orang tua juga harus mendidik dan memberi contoh
baik pada anaknya. Di dalam keluarga lah anak-anak mendapat pendidikan
karakter, moral dan cinta kasih pertama kali sebelum masuk ke sekolah formal.
Pasalnya, selama ini banyak orang tua tak mau tahu perkembangan anaknya. Mereka
pasrah dengan sekolah tanpa bertanggung jawab atas kondisi anaknya.
Sinergi antara pemerintah, Kemendikbud, KPAI, dinas
pendidikan, sekolah, guru, wali murid juga harus dilakukan. Melalui komite
sekolah, perlu dilakukan edukasi ramah anak agar memutus mata rantai bullying.
Anak adalah aset negara. Jika anak menjadi korban kekerasan, maka sama saja
memiskinkan Indonesia dari generasi masa depan. Maka sekolah harus bebas dari bullying.
Penulis adalah Direktur Utama Smarta School Semarang Jateng
0 comments:
Post a Comment