Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Saturday, 11 April 2015

Stop Bullying di Sekolah dan Pendidkian



Oleh Dian Marta Wijayanti

Stop bullying di sekolah dan pendidikan harus dikampanyekan sejak ini. Semua sekolah di negeri ini harus bebas dari penindasan atau bullying yang meresahkan dunia pendidikan. Pasalnya, sekolah adalah surga, taman yang menyenangkan bagi anak-anak. Sekolah bukan “hutan rimba” yang penuh kekerasan, begal dan kejahatan.

Jika sekolah masih meresahkan hati pelajar, maka tidak ada bedanya sekolah dan jalanan. Sekolah yang baik adalah menyenangkan, menggembirakan, dan melahirkan ketenangan hati, jiwa dan pikiran kepada semua pelajar dan masyarakat. Hal itu tidak terwujud jika masih ada bullying, maka tugas memberantas kejahatan ini adalah tugas bersama.

Sekolah menjadi tempat yang paling aman, nyaman dalam mendidik pelajar. Jika anak-anak tidak mendapatkan kebahagiaan di rumah, maka sekolah bertugas memberikan kasih-sayang kepada mereka yang broken home. Namun apakah hal itu masih berjalan seiring banyaknya kasus bullying?

Penindasan atau bullying menurut Student Reports of Bullying (2001) adalah tindakan kekerasan berupa pelecehan secara lisan maupun ancaman. Dari beberapa studi psikologi, bullying terbagi atas empat hal, yaitu secara emosional, fisik, verbal dan cyber.
 
Bullying fisik menurut Andrew Mellor (2014) meliputi kontak fisik memukul, menendang, meludahi, mendorong, mencekik, menjambak, melukai dengan benda dan sebagainya. Sedangkan bullying verbal meliputi mengejek, menfitnah, memberi nama julukan yang tak pantas, meneror bahkan pernyataan seksual yang melecehkan. Bullying relasi sosial seperti merendahkan, menertawakan, menjauhi dan sebagainya. Sedangkan bullying cyber meliputi perbuatan meneror atau melukai lewat internet, ponsel, SMS, facebook dan sebagainya.

Dalam psikolinguistik, perkembangan bahasa anak menjadi penting untuk merangsang otak anak. Jika usia pelajar, baik SD, SMP dan SMA, mereka sudah mendapat “kekerasan bahasa” berupa kata-kata kotor, buruk, melecahkan, maka hal itu sama merusak masa depan anak.

Thomas Lickona (Sutawi, 2010) menjelaskan salah satu tanda kehancuran suatu bangsa adalah penggunaan kata-kata buruk. Munculnya bullying dalam pendidikan, apakah menjadi salah satu tanda kehancuran Indonesia? Sebab, bullying adalah perbuatan dengan menggunakan kata-kata buruk untuk melecehkan lawan. Hal itu tentu saja menjadi musuh pendidikan yang harus dihilangkan.

Bullying Musuh Pendidikan
Dalam kacamata linguistik, bullying adalah musuh pendidikan karena melecehkan orang lain dengan bahasa verbal. Tak hanya secara kata-kata, aksi bully juga memuncak pada aksi kekerasan. Ida Zulaeha (2014) menjelaskan bahasa itu mempunyai kekuatan magis. Jika digunakan untuk memuji orang, maka orang tersebut termotivasi. Namun jika untuk melecehkan, justru mampu membuat orang sakit hati lewat bahasa tersebut. Kekuatan kata-kata buruk mampu melemahkan orang. Sebenarnya musuh pendidikan yang harus dilawan adalah penggunaan kata-kata buruk, terutama bully.

Diena Haryana (2012) menyatakan korban bully dapat terganggu aktivitas otaknya karena stres. Saat seorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan, maka bagian otak manusia yang disebut limbik sistem akan bereaksi. Limbik sistem ini adalah bagian otak yang terus melakukan scanning terhadap segala hal yang terjadi pada seorang.

Saat mengalami pelecehan atau kekerasan, limbik sistem akan meminta otak memproduksi kortisol atau hormon stres. Jika stres terjadi kontinu, maka ia akan mengalami destruksi luar biasa pada otak dan psikisnya.

Dari catatan KPAI, sejak 2011 sampai Agustus 2014, terjadi 369 kasus bullying. Jumlah tersebut sekitar 25 persen dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Menurut KPAI, kasus bullying dalam pendidikan tersebut mengalahkan tawuran pelajar dan diskriminasi pendidikan.
Baru-baru ini, di Jakarta Timur terjadi bullying terhadap Nadhira Fajriani Ramadhan siswi kelas VIII SMP Al Jannah. Nadhira merupakan korban bullying oleh teman-temannya. Akibat di-bully temannya, ia hilang pada Sabtu, 7 Maret 2015 setelah pulang les pendalaman materi UN di sekolahnya (Kompas, 12/3/2015).

Ironisnya, siswi ini sempat diinjak, diludahi dan dijambak oleh teman-temannya. Parahnya, yang melakukan aksi kekerasan tersebut adalah teman perempuannya yang tidak suka dengannya, kemudian merekam video adegan bullying tersebut yang menggegerkan dunia pendidikan.

Sebelumnya, terjadi kasus sama di SDN Mentikan I Mojokerto. Sekolah ini dinilai lalai hingga muncul kasus yang menyebabkan Muhammad Fatir Zidan, siswa kelas II SD nyaris kehilangan penglihatan dan pendengaran akibat di-bully (Republika, 22/1/2015).

Kasus bullying di luar negeri juga mengerikan. Seperti contoh di Jepang, menurut data dari Kementerian Pendidikan Jepang pada 2013, tercatat 118.805 kasus ijime/bully di Jepang dari jumlah murid SD yang disurvei yaitu 6.676.920 orang. Jumlah pelajar SD di Jepang tahun 2013 sekitar 67 juta orang. Dari jumlah itu, 170 kasus lebih terjadi di Kyoto. Sedangkan kasus yang paling sedikit terjadi di Shiga hanya 1 kasus. Sedangkan total ijime dari SD, SMP dan SMA hanya 200.000-an kasus (Tribun, 20/10/2014).

Bullying adalah musuh pendidikan. Sekolah harus dibebaskan dari kejahatan tersebut. Sebab, sekolah yang seharusnya menyenangkan siswa, namun akan kacau jika yang dialami siswa justru kecemasan, rasa takut, terintimidasi bahkan kerusakan mental.

Stop Bullying di Sekolah
Resep membebaskan siswa dari bullying jauh-jauh hari sudah dikonsep pemerintah, Kemendikbud, KPAI bahkan Kepolisian. Namun buktinya, masih banyak kekerasan bermunculan bahkan semakin memprihatinkan. Perlu dilakukan beberapa langkah untuk membebaskan sekolah dari bullying. Pertama; sekolah adalah surga bagi anak. Semua warga sekolah harus mengutamakan “kegembiraan” daripada “kekerasan”.

Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) menyebut sekolah adalah taman indah. Ketika anak datang ke sekolah dengan senang hati, maka ia pulang dengan berat hati. Guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan harus menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa. Iklim dan atmosfer yang mengandung nilai cinta, kasih sayang, toleran, harus diutamakan dalam sekolah jika ingin menghilangkan kekerasan.

Kedua; sebagai orang pertama yang digugu dan ditiru di sekolah, guru harus menjadi teladan utama dalam mengajarkan pendidikan karakter. Dengan karakter cinta dan kasih sayang, maka pelajar memiliki rasa cinta Tuhan, alam, keluarga, cinta teman, guru dan kepada semua orang.

Ketiga; kunci utama majunya pendidikan menurut Anies Baswedan (2014) adalah pada gurunya. Selain guru SD, sebenarnya semua guru adalah “sosok” dan “profil penuh cinta”. Jika guru menyenangkan, anak akan nyaman belajar. Dengan kenyamanan tersebut, mereka tidak mungkin berbuat usil di sekolah.
Keempat; secara teknis, saat penerimaan siswa baru seharusnya sekolah menjalankan prosedur pokok aturan. Sebab, banyak anak TK yang belum cukup umur diterima begitu saja saat mendaftar SD. 

Padahal, usia mereka masih waktunya bermain dan akan sangat fatal jika dipaksa masuk SD. Mengapa? Dengan merampas hak anak untuk bermain, hal itu memicu munculnya jiwa memberontak pada mereka.

Kelima; orang tua juga harus mendidik dan memberi contoh baik pada anaknya. Di dalam keluarga lah anak-anak mendapat pendidikan karakter, moral dan cinta kasih pertama kali sebelum masuk ke sekolah formal. Pasalnya, selama ini banyak orang tua tak mau tahu perkembangan anaknya. Mereka pasrah dengan sekolah tanpa bertanggung jawab atas kondisi anaknya.

Sinergi antara pemerintah, Kemendikbud, KPAI, dinas pendidikan, sekolah, guru, wali murid juga harus dilakukan. Melalui komite sekolah, perlu dilakukan edukasi ramah anak agar memutus mata rantai bullying. Anak adalah aset negara. Jika anak menjadi korban kekerasan, maka sama saja memiskinkan Indonesia dari generasi masa depan. Maka sekolah harus bebas dari bullying.

Penulis adalah Direktur Utama Smarta School Semarang Jateng
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Stop Bullying di Sekolah dan Pendidkian Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora