Purwokerto, Harianblora.com – Presiden Joko Widodo Jokowi adalah
pemimpin paling inlander di dunia. Hal itu diungkapan pakar politik dan
ekonomi dari UMP, Prof M Yudhie Haryono, Ph.D yang juga Direktur Eksekutif Nusantara
Centre, Senin (6/4/2015). Menurut Yudhie, Jokowi adalah presiden paling
bermental inlander di muka bumi ini.
Menurut Yudhie, Presiden Suharto berhasil babad alas
neoliberal (bangun fondasi). “Habibi membangun alasnya. Gusdur membangun temboknya.
Megawati menata atapnya. SBY menguatkan dengan pagarnya. Jokowi mengecat
rumahnya,” beber dia dengan tegas.
Menurut penulis buku Saatnya Kaum Muda Memimpin tersebut demokrasi
adalah hasil persetubuhan haram. Ia anak jaddah dari liberalisme dan
keserakahan. “Karenanya, ia melahirkan masyarakat mimpi, takut pada bayang
sendiri, ilutif dan inlander. Tak ada demokrasi (liberal) tanpa korupsi,” ujar
dia kepada Harianblora.com.
Tak ada korupsi tanpa liberalisme, lanjut dia, hilirnya bisa
diterka neoliberalisme. “Gerakan yang menyembah pasar bebas (laissez-faire),
menuhankan nafsu, menternakkan ketamakan (greedy) dan mengkloning
sebanyak mungkin predatorik yang bahagia di atas derita lainnya dan menderita
di atas bahagia selainnya,” tegas politisi yang pernah mengajar di Universitas
Paramadina tersebut.
Kini, kata Yudhie, berjuta manusia ketakutan dan rendah diri
lahir. “Tak sudi melawan. Tak berani mengritik. Mereka berkecambah di
kampus-kampus, parpol-parpol, pesantren-pesantren, rumah ibadah dan semua
tempat pelacuran sekalipun,” beber dia.
Mereka melahirkan hubungan tuan-hamba, kata Yudhie, majikan-buruh,
kaya-miskin, serakah-kere. “Kelas ini dinamakan underdog mentality.
Tugasnya memberhalakan neoliberalisme. Sejarah kepahlawanan dan perlawanan sudah
diabsenkan, dihapuskan, ditenggelamkan dalam got dan disiram tinja sehingga
menjijikan. Ya. Jika Anda ingin melanggengkan penjajahan, maka bukan mengirim
rudal nuklir (yang mahal). Cukup ajarkan budaya melupakan pahlawan-pahlawan
mereka,” terang penggagas Psikohermenutika Kitab Suci tersebut.
Dengan murah, kata dia, ajaran itu akan melupakan
generasinya memuja selain perlawanan, selain pemberontakan. “Pada generasi
seperti ini, filsafatnya nyari senang, bukan nyari menang. Generasi yang memuja
para bajak (lokal), bukan para bijak (internasional). Padahal, yang melawan (walau
kalah) jauh lebih panjang namanya daripada yang ikut (walau menang) menjadi
presiden sekalipun. Bukankah kita lebih menghargai Diponegoro dibandingkan
Jokowi?” ujar dia. (Red-HB34/Foto: YH).
0 comments:
Post a Comment