Oleh : Rr.Megandini Listy Indira
Penulis merupakan juara 2 lomba BCB tingkat nasional tahun 2014
Penulis merupakan juara 2 lomba BCB tingkat nasional tahun 2014
NAFAS HUTAN JATI
Semilir angin hilir mudik menerpa rambut panjangku,
dedaunan nan rimbun mulai menyapaku, pepohonan nan gagah meneduhi perjalananku,
juga aroma tanah yang begitu khas karena baru beberapa hari memasuki musim
penghujan. This is part of my life,bagian
yang paling aku sukai disetiap perjalananku. Tak ada tempat yang bisa
memberikan ketentraman hati selain hutan jati nan hijau ini. Tempat ini selalu
menjadi penghibur dan penyegar mata, setelah hampir satu minggu aku penat
dengan suasana kota yang penuh dengan rutinitas yang tak pernah berhenti. Bukan
hanya rutinitas namun juga berbagai polusinya yang setiap waktu dapat menjadi
senjata tajam pengancam kesehatan.
Aku berhenti
sejenak untuk mengobati rasa rindu ku pada hutan jati ini. Sejak kecil aku dibesarkan
di desa dan hutan ini mempunyai peran penting selama aku di sini. Aku menghirup
udara segarnya, menikmati air hujan dalam setiap resapan tanahnya, tempat bermain yang teduh dan hal
menarik lain. Namun sejak aku SMP, aku jarang sekali mengunjungi tempat ini
karena sekolahku di kota. Mulai saat itu juga, kerinduan akan tempat ini sering
muncul dan memotivasi diriku untuk semangat belajar agar kelak aku bisa
menggerakkan berjuta-juta manusia supaya cinta dengan pohon dan hutan.
Aku duduk di bawah pohon yang teduh, berangan jauh
dengan memejamkan mata. Membayangkan beberapa tahun yang akan datang , ketika
bumi dihuni oleh bangunan pencengkram langit dan berjajar puing-puing yang
megah. Apakah masih ada sepetak tanah untuk satu pohon tumbuh. Aku mulai
berfikir dalam-dalam namun tiba-tiba tetes air dari dedaunan membangunkanku.
Aku baru sadar aku sudah lama berada di sini. Ku lihat ponsel hitam dalam tasku
waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, juga terdapat 2 pesan dari ibu. Aku harus
segera pulang ibu pasti menantiku di rumah.
Perlahan
motor bebek ini menuntunku menuju rumah berdindingkan kayu jati yang telah
menanti kepulanganku. Ku parkir motor di teras rumah yang lumayan luas. Ku buka
pintu rumah dan aroma masakan ibu pun mulai tercium. Aroma gula jawa serta
santan yang begitu khas akan memberi rasa yang legit dan gurih pada setiap
potong kelezatan ketela masakan ibu. Aku sudah tidak sabar untuk mencicipinya.
“Kok lama nduk pulangnya?”tanya ibu.
“Maaf bu,tadi
mampir sebentar waktu lewat hutan ingin liat-liat” jawabku.
“Ya sudah,
setelah kamu makan langsung mandi!”kata ibu.
“Bapak di
mana bu?”tanya ku.
“Biasa,bapak
mu di samping rumah nandur suket”jawab
ibu.
Ayah
memang senang sekali berkebun, sering diwaktu senggangnya ayah mencari pohon bonsai untuk menambah koleksinya. Bahkan
ayah memiliki bonsai khusus yang
umurnya sama sepertiku. Foto bonsai itu juga ia pajang tepat disamping fotoku
ketika aku berumur dua tahun. Entah mengapa semenjak aku anak-anak aku pun
menyukai hal-hal yang ayah sukai termasuk menyayangi tumbuhan. Tak heran jika
lahan di samping rumah yang baru saja di bersihkan ayah tanami dengan rumput
jepang. Bukan itu saja, ayah juga senang menanam pohon dengan cara yang berbeda
sehingga pohon buah yang ayah tanam lebih cepat tumbuh.
Selesai
makan masakan ibu yang super enak, aku mandi dengan air yang dinginnya seperti
es. Tak heran, desa ini termasuk ke dalam dalam dataran tinggi lengkap dengan
hutan sehingga suhu maupun airnya dijamin seperti ada di puncak. Tempat ini
begitu menyenangkan untukku, beruntung sekali bisa terlahir di tempat ini. Aku
memandang keluar jendela, tetes air hujan membasahi kaca hingga berembun.
Sungguh indah. Tetes hujan ini begitu indah karena ekosistem masih dalam
keadaan stabil, namun jika suatu hari nanti ekosistem sudah tidak seimbang maka
hujan ini seperti racun yang siap merusak, membuat besi berkarat, kulit menjadi
iritasi, mematikan tanaman dan membuat tanah tandus. Lamunanku sepertinya
terlalu jauh, sampai-sampai aku tidak mendengar suara ayah yang memanggilku.
“Dalem pak, wonten napa nggih?” kata ku.
“Besok
sabtu pulang sekolah ada acara?”tanya ayah.
“Mboten wonten pak”jawabku.
“Ikut
bapak pertemuan ya, lumayan nanti dapat uang sangu kan bisa buat nambah
tabunganmu” kata ayah.
“Nggih pak” jawabku.
Senang
sekali bisa bisa diajak ke pertemuan yang membahas tentang perberdayaan pohon
jati dengan melibatkan masyarakat yang tujuannya meningkatkan perekonomi
masyarakat itu sendiri. Kayu dari pohon jati memang memiliki kualitas yang
lebih dari pada kayu yang lain terlebih kayu jati yang berasal dari kota blora,
tidak dapat dipungkiri bahwa kayu jati blora adalah kayu jati yang terbaik di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena pohon jati di kota Blora tumbuh di tanah
berkapur yang mengandung minyak. Ayahku sendiri pernah bilang bahwa tanaman
yang tumbuh di tempat yang berbeda dari tempat seharusnya akan memiliki kualitas
yang lebih unggul seperti halnya pohon jati. Jika pohon jati biasa hidup di
derah yang subur, pohon jati di blora tumbuh di daerah berbatu, mengandung
kapur dan mengandung minyak, sehingga kayu jati dari kota blora memiliki kualitas unggul. Sayangnya, meski
kayu jati yang unggul dengan harga jual yang tinggi ini, tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat Blora. Bahkan kota yang terkenal
dengan meubelnya bukanlah kota Blora akan tetapi disandang oleh kota Jepara.
Ini menjadi bukti bahwa kota Blora dengan pohon Jati endemiknya belum dapat
mensejahterakan masyarakatnya.
Dari cerita itu pula aku semakin tertarik
untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana cara menanam, mengelola dan
memberdayakan pohon jati. Bukan hanya pohon jati namun juga hutan. Aku sering
sekali mendengar cerita menarik dari ayah seputar hutan, beliau senang sekali
bercerita kepadaku bahwa hutan memiliki peran penting di dunia ini. Salah satu
alasannya adalah manusia memerlukan oksigen untuk bernafas sedangkan manusia
itu sendiri tidak dapat memproduksi oksigen. Hanya tanaman yang dapat
melakukannya. Manusia dapat menghirup oksigen dengan gratis tanpa harus
dibayar, lalu mengapa mereka tidak mau menanam pohon, toh itu juga untuk diri mereka sendiri. Oleh karena itu aku dan ayah
sering menyebut orang yang gemar menanam dan merawat pohon sebagai pekerjaan
yang mulia karena mereka telah menyediakan keperluan orang banyak berupa
oksigen dari pohon yang telah ditanam dan dirawat.
Matahari
mulai lelah dan senja akan menutup hari, suara riuh gemuruh katak mulai
terdengar seperti paduan suara besar-besaran. Aku melepas penat di kursi tua
memandang tepat ke tembok kamarku dan melihat huruf besar bertuliskan KEHUTANAN UGM. Aku
harus berusaha keras agar bisa masuk
fakultas itu . Aku harus sukses diujian besok. Ku alihkan pikiran tentang
kuliah, segera ku buka buku dan samangat belajarku. Hingga malam semakain
larut, suasana semakin sepi bahkan suara-suara katak yang tadinya ramai kini
mulai memudar. Hanya bulan dan bintang yang masih bersinar terang. Begitu juga
harapanku, masih seperti mereka.Sepertinya lelah mulai menggerutu, ku rebahkan
tubuhku di kasur yang tidak terlalu luas dan empuk, yang terpenting aku dapat beristirahat
dengan nyenyak malam ini. Dingin ini begitu menusuk tulang, ku tarik selimut
tebalku, memejamkan mata dan terlelap dalam tidur.
Suara
kokok ayam riuh membangunkanku, terlebih di belakangku ada kandang ayam milik ayah.
Bergegas aku bangun, berjalan di antara puing-puing dari kayu jati yang
sudah tua, memandang langit-langit yang
menghitam karena asap. Ku buka pintu tua yang engselnya mulai lapuk, setelah mengambil air ku usap-usap mataku dengan air yang dinginnya seperti es. Mataku yang semula
buram kini terbuka seketika. Aku segera melaksanakan sholat subuh dengan
keluarga. Setelah itu aku akan berjalan-jalan melihat sunrise.
Ku
buka pintu rumah, ku lihat keluar. Hembusan angin mulai surut seiring
berjalannya waktu dan bunyi kokok ayam yang bersahut-sahutan. Namun mentari belum
tampak dan masih bermalas-malasan. Dedaunan yang hampar tanpa air kini pun
menjadi basah. Aku mulai berjalan tanpa menggunakan alas kaki, begitu dingin. Sebagian
kabut yang belum menjadi embun membuat sawah, gunung, pohon dan rumah-rumah
seperti hamparan dunia yang melayang di atas awan. Sungguh indah.
Kerikil
yang basah memberi relaksasi yang menyegarkan. Aku mulai berjalan ke bukit
untuk melihat matahari terbit. Langit masih berkabut, namun aku melihat cahaya
kecil yang menyala, perlahan-lahan memerah semakin besar dan semakin besar
kemudian menguning semakin terang lalu menjadi putih karena tertutup oleh
kabut. Luar biasa indah walau hanya beberapa detik saja. Bahkan aku dapat
melihat hutan jati yang diselimuti kebut dari sini. Semakin menambah kepuasaanku.
Hari mulai terang aku akan segera pulang
membantu ibu kemudian berkebun.
Sesampainya
di rumah ternyata ibu sudah memasak sehingga aku tak perlu lagi membantu. Aku
langsung pergi ke samping halaman. Ku lihat bunga gelombang cinta sudah mulai
berbunga dan menjatuhkan biji. Segera ku ambil biji-biji itu kemudian
menanamnya pada gelas air mineral dan meletakkannya rapi di samping biji-biji
yang mulai tumbuh karena sudah 1 minggu yang lalu aku menanamnya. Aku senang
sekali mengoleksi tanaman yang bijinya aku dapat dari bunga-bunga yang ditanam
ayah. Bahkan sudah lebih dari dua ratus jumlahnya. Kali ini aku mendapat tiga
puluh biji bunga gelombang cinta yang sudah aku tanam. Hari ini cukup banyak
biji yang aku tanam dan aku mulai lapar. Saatnya sarapan.
Ehm…nasi
goring ibu selalu menjadi juara. Enak sekali rasanya, komposisi bumbu yang pas
dipadu dengan telur setengah matang dan taburan bawang goreng yang gurih
membuat aku menghabisnya hingga tak tersisa. Kenyang setelah sarapan, aku ke
kamar untuk merapikan buku dan menyiapkan apa-apa saja yang harus aku bawa
karena nanti sore aku harus kembali ke Blora. Namun saat aku sedang merapikan
buku, tiba-tiba ponsel hitamku berdering. Ternyata dari Ara ketua osisku.
“Halo,assalamualaikum…!”salam
Ara.
“Wa’alaikumsalam,
ada apa Ra?”tanyaku.
“Aduh
Megan, maaf banget ya…!”kata Ara.
“Loh…memangnya
ada apa kok minta maaf?”tanyaku.
“Gini
Gan, rencana program kerja kamu buat Go
Green itu ditolak sama Pembina dan dana untuk program itu katanya lebih
baik untuk program yang lain kecuali osis bisa cari dana sendiri baru boleh
ngadain acara itu”jelasnnya.
“Tapi
Ra, acara itu penting buat aku bukan cuma aku tapi orang lain juga bisa dapat
manfaat kalau kita ngadain acara itu, bagaimana kalau kita cari dana
sendiri?”tanyaku.
“Oke,
enggak masalah tapi kamu pikirin gimana caranya ya, aku banyak kerjaan soalnya”jawabnya.
“Baik
Ra”jawabku.
Aku
sudah lama memimpikan dan merencanakan acara ini dan aku tidak akan menyerah
hanya karena Pembina menolak program kerjaku. Aku akan berjuang untuk mencari
dana, tapi bagaimana caranya. Ya…Tuhan tolong aku, aku berniat baik dengan
adanya acara ini. Aku benar-benar pusing, aku menatap keluar jendela dan
berkata dalam hati “Apa yang harus aku lakukan untuk mencari dana?”. Aku mulai
kesal dengan kabar ini dan melempar gumpalan kertas keluar dan mengenai gelas air
mineral berisi tanaman gelombang cinta yang tingginya baru 5cm. Dari kejadian
itu, tiba-tiba otakku terisi oleh ide gila. Aku akan menjual bibit bunga
gelombang cinta untuk kegiatan Go Green.
Aku yakin banyak orang yang masih peduli dengan lingkungan. Aku yakin bahwa aku
bisa melakukan ini.
Segera
aku kemas semua bibit bunga gelombang cinta yang ada di rumah. Ayah dan ibu
yang melihatku hanya dapat menggelengkan kepala bingung dengan apa yang anaknya
lakukan. Tapi ketika rencanaku berhasil, aku jamin mereka akan bangga kepadaku.
Setelah semuanya siap aku meminta ayah untuk membantu membawa bawaanku sampai
aku mendapatkan angkutan umum. Selang beberapa menit bus menuju Blora sudah
tiba, aku mencium tangan ayah dan berpamitan tak lupa meminta doa restu. Aku
masuk ke dalam bus lalu melambaikan tangan ke ayah. Nuraniku tiba-tiba berkata
“Kau akan berhasil”.
Tepat
pukul 16.00 WIB, aku sampai di Blora. Aku langsung memberi tahu ketua osis dan
meminta mengadakan rapat besok. Ara pun bersedia, ia juga sangat mendukungku.
Aku senang mendengarnya, bahkan aku sudah tidak sabar untuk memulai kegiatan
ini. Malam ini aku akan membuat tulisan untuk menarik orang agar mau menyumbang
dengan membeli bibit bunga gelombang cinta ini. Tak perlu berfikir lama aku pun
tahu kata apa yang pantas digunakan. Inilah kata yang aku buat “Satu Gelombang
Cinta Sejuta Cinta pada Pohon”. Semoga ini akan berhasil.
Sepulang
sekolah aku dan teman-teman osis berkumpul membahas rencana pencarian dana
untuk acara Go Green. Tidak ku sangka
ternyata teman-teman juga begitu bersemangat dalam pencarian dana. Kami
berencana melaksanakan kegiatan ini besok sore. Aku dan teman-teman mulai
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Nadya dan Bella juga sibuk membuat
kata-kata untuk menarik orang agar mau menyumbang. Sedangkan Nafa dan Osa
sedang sibuk membuat kotak untuk membawa bibit dan tempat sumbangan. Ayo
berjuang.
Keesokkan
harinya, aku dibantu teman-teman bergotong royong membawa bibit bunga gelombang
cinta ke tempat pencarian dana di sekitar Alun-Alun kota Blora dan di jalan
Pemuda. Kami mulai berbagai tempat dan memulai ajang pencarian dana. Kami pun
beramai-ramai untuk menarik orang-orang untuk membeli bibit bunga ini. Beberapa
menit kemudian, bibit yang kami jual mulai ramai. Hanya beberapa saja yang
masih tersisa. Aku beristirahat di bawah pohon beringin yang rindang. Sambil bendahara
osis Fia menghitung uang yang didapat hari ini. Aku bersantai sejenak di
bangku, namun tiba-tiba seorang laki-laki berbadan besar menghampiriku.
“Apa
yang kalian lakukan di sini?”tanyanya tegas.
“Maaf Pak, kami hanya menjual bibit bunga gelombang
cinta agar mendapatkan dana untuk kegiatan Go
Green kami”jawabku.
“Siapa
yang mengetuai acara ini?!”tanyanya lebih tegas.
“Sa…sa…sa…saya
Pak”.jawabku terpatah-patah.
“Siapa
nama kamu?!”bentaknya.
“Meganandira
Dinara Pak”jawabku menunduk.
Setelah
aku menjawab semua pertanyaannya tiba-tiba Bapak tadi pergi begitu saja. Aku
tidak tahu apa maksud Bapak tadi. Teman-teman yang melihat hanya bengong
melihatku. Entahlah, tak ku perdulikan lagi apa yang telah terjadi tadi. Aku
mengajak teman-teman untuk bersiap-siap pulang dan melanjutkannya besok sore.
Peralatan-peralatan yang digunakan dititipkan ke kos ku karena dekat dengan
tempat berjualan sehingga mudah mengambil nantinya.
Malam
ini tak sedingin kemarin, namun langit sangat gelap mungkin akan segara turun
hujan. Semoga besok saat aku dan teman-teman berjualan tidak turun hujan. Aku
menutup jendela kembali fokus belajar pelajaran besok. Bagaimanapun juga
nilaiku tidak boleh jatuh karena sibuk mengurusi acara ini. Namun entah mengapa
aku memikirkan kejadian tadi sore. Siapa Bapak yang bertanya kepadaku tadi,
sepertinya dia peduli dengan kegiatanku dan teman-teman atau mungkin hanya
perasaanku saja. Lebih baik aku tidur, mungkin aku terlalu lelah setelah
kegiatan tadi.
Sinar
matahari tajam membangunkan dari tidur lelapku. Hari ini ada upacara, aku tidak
boleh terlambat berangkat sekolah. Setelah mandi, aku sarapan dan berangkat
sekolah. Mengajuh sepedaku yang mulai timbul karat dan membawa tas yang isinya
penuh dengan buku paket yang tebal. Sesampainya di gerbang sekolah aku melihat
anak-anak sudah mulai berkumpul di depan sekolah. Padahal ini baru pukul 06.40
WIB, tidak seperti biasanya. Bahkan teman-teman osis sudah menempati posisi
masing-masing. Aku segera memarkir sepeda ku. Aku bertanya pada teman-teman, namun
tidak ada yang tahu ada acara apa hari ini.
Setelah
aku ikuti, ternyata sekolah kedatangan tamu dan sepertinya aku kenal. Itukan
Bapak yang kemarin, apa yang ia lakukan disini. Hatiku pun terkejut saat ia
tiba-tiba memanggil namaku dan memberiku penghargaan sebagai pemuda peduli lingkungan.
Tidak hanya itu, beliau juga membantu program kami untuk Go Green dan yang paling menyenangkan aku dan teman-teman diajak
untuk menanam pohon jati di hutan dekat desaku. Aku sangat bahagia, tidak ku
sangka kalau begini jadinya. Aku dan teman-teman bersorak riang mengdengar
kabar ini. Minggu depan kami sudah diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial
yang berhubungan dengan lingkungan.
***10 Tahun Kemudian***
Aku
rasa tempat ini masih sama seperti yang dulu, mungkin lebih hijau. Nafas hutan
jati masih sangat aku rasakan begitu segar begitu sejuk dan begitu damai. Aku
masih ingat saat aku berangan tentang masa depan di bawah pohon ini. Ternyata
masih ada sepetak tanah untukmu tumbuh bahkan lebih. Kami akan selalu menjagamu
seperti halnya kau menjaga kami hutan, kau beri kami udara yang sejuk dan
sehat, air yang berkecukupan dan makanan yang kau sediakan.
“Ya
Allah…terima kasih atas bantuan yang Engkau berikan kepada kami 10 tahun yang
lalu untuk menjaga hutan ini. Semoga kami tidak hanya dapat menjaga hutan ini
dalam waktu 10 tahun namun semoga anak cucu kami dapat menjaganya untuk
selama-lamanya.Amin”
0 comments:
Post a Comment