Oleh Aryo Permana Kusuman, S.Pi
Penulis adalah Pengurus HMI Badko Jateng-DIY, Ketua Umum Gerakan
Pemuda Nusantara (GPN) Kota Semarang
Solusi pengangguran terdidik terbaru sangat dibutuhkan. Apalagi, data pengangguran terdidik baru-baru ini membuat kita galau. Banyak
sarjana di negeri menganggur tanpa bekerja, entah dari kampus swasta maupun
kampus negeri. Hal ini jelas-jelas merupakan masalah bangsa yang harus segera
dituntaskan.
Data terbaru, Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen
(688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi.
Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu alias bergelar
sarjana (Jawa Pos, 4/2/2015).
Dari jumlah itu, jumlah penganggur paling
tinggi, 495.143 orang, merupakan lulusan universitas yang bergelar sarjana.
Pengangguran terdidik itu (baik berijazah
diploma maupun strata 1) meningkat dibandingkan tahun 2013 dengan persentase
penganggur lulusan perguruan tinggi sebesar 8,36 persen (619.288 orang) dan
pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang). Sebagai persoalan
yang berada di hulu, efektivitas para sarjana kita sebagai ujung tombak
perubahan memang patut untuk selalu dikritisi. Karena dunia pendidikan adalah
landasan utama kita dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Persoalan klasik dunia pendidikan di negeri Pancasila ini adalah
persoalan ekonomi yang menjadi PR utama siapa pun presidennya. Telah banyak
cerita tragis anak bangsa yang urung melanjutkan ke perguruan tinggi lantaran
terbentur masalah biaya. Hal ini merupakan pekerjaan besar bagi bangsa
Indonesia yang jauh-jauh hari telah merumuskan tujuan kemerdekaan untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Berpijak pada problematika dunia pendidikan kita, amanat luhur pada
teks Pembukaan UUD 1945 itu sudah seharusnya menjadi catatan penting untuk
selalu digunakan sebagai panduan hidup berbangsa dan bernegara. Dan harapannya,
mimpi para siswa yang telah lulus jenjang SMA untuk melanjutkan studi ke
pendidikan tinggi menjadi mahasiswa kenyataan, misalnya. Jenjang pendidikan
tinggi yang terwakili oleh bentuk institusi/kampus seperti universitas maupun
sekolah tinggi adalah jenjang tertinggi pada sistim pendidikan di Indonesia.
Pada jenjang ini, peserta pendidikan tidak disebut lagi sebagai pelajar
atau siswa yang menjadi identitas umum pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Akan
tetapi sudah diberikan kepadanya predikat sebagai mahasiswa. Dalam pandangan
filsafat, predikat “maha” pada sebutan mahasiswa tentu tidaklah berlebihan
dengan tidak dimaksudkan sebagai arogansi “persaingan” pada kemahakuasaan
Tuhan. Namun makna kata “maha” pada mahasiswa menjadi perlambang dan apresiasi
atas proses keilmuan manusia pada tingkatan yang tinggi. Ketinggian yang
dimaksud dapat dilihat pada pencapaian intelektualitas berupa pengembangan
potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia.
Sebagai insan akademis, mahasiswa menjadi rumusan atau model manusia
yang dipersiapkan untuk membangun peradaban keilmuan yang berlandaskan prinsip
ilmiah. Menjadi umum di seluruh dunia bahwa perguruan tinggi dijadikan rujukan
utama sebagai tempat yang melahirkan manusia intelektual. Dan praktiknya, model
perguruan tinggi itu juga memiliki ragamnya baik bentuk institusinya maupun
konsepsi visi-misinya.
Sebagaimana lingkungan perguruan tinggi yang mengedepankan prinsip
ilmiah, dewasa ini banyak universitas di Indonesia telah memiliki bermacam
tawaran pendidikan dalam berbagai jurusan maupun program studi. Tawaran
tersebut jelas sebagai konsep jawaban dari sistem pendidikan untuk membekali
para mahasiswa dengan keilmuan yang sesuai dengan minat serta bakatnya.
Tuntutan dunia modern terhadap profesionalisme pekerjaan yang dinamis juga
menjadi pertimbangan perguruan tinggi membentuk jurusan/program studi (prodi)
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Solusi Pengangguran Terdidik
Dalam hal ini, maka menjadi penting bagi para siswa yang baru lulus SMA
sebagai calon mahasiswa untuk memilih jurusan yang sesuai dengan potensi
dirinya. Setelah penempaan akademis mahasiswa di kampus, harapannya adalah outcome
yang mampu mengembangkan ilmu mereka di masyarakat. Pada gelar kesarjanaan
sebagai predikat mahasiswa (S1) yang telah diwisuda, padanya memanggul beban
untuk membangun masyarakat dan bangsanya.
Sarjana memang tak sekedar memiliki ijazah S1 ketika lulus. Pasalnya ia
adalah kaum intelektual dan juga menjadi penerus bangsa. Sayangnya, seringkali
para sarjana sebagai identitas kesarjanaan dengan nilai-nilai ilmiah-akademik
yang melekat padanya malahan menjadi kabur, bahkan hilang ditelan rutinitas
kerja. Misalnya karakter kritis, analitis, dan logis harus dikesampingkan atau
bahkan dimatikan saat melawan mainstream dunia kerja dewasa ini yang makin absurd.
Mungkin perlu dicermati pula satu logika formal yang kadang-kadang menjebak,
bahwa sebagai produk dari proses pendidikan formal, status para sarjana harus
mendapat legalitas berupa lembaran ijazah.
Tak hanya itu saja, tidak jarang para mahasiswa yang hanya mengejar
formalitas ini, mencari selembar ijazah. Kualitas kesarjanaannya malahan justru
sering diabaikan. Akibatnya tidak sedikit para sarjana yang gagap pada realitas
manakala mereka harus terjun langsung ke masyarakat. Amat banyak sarjana yang
bingung mau berbuat apa selepas diwisuda. Dan cukup banyak sarjana dengan gelar
akademik-ijazah harus menganggur.
Kenyataan ini disebabkan karena para lulusan akademik atau perguruan
tinggi masih memahami kesarjanaan sebatas gelar. Padahal, gelar-gelar akademik
belum tentu menjawab tantangan dunia kerja di negeri Pancasila ini. Hal itulah kondisi
dunia akademik kita, bahwa mahasiswa yang bergelut dengan dunia ilmiah-akademis
selama bertahun-tahun di kampus, setelah mereka terjun dalam dunia kerja
kebanyakan lupa akan esensi dari predikat sarjana. Belum lagi repotnya
menghadapi sarjana karbitan ala ijazah abal-abal.
Kita perlu memberi apresiasi kepada kampus yang mencarikan mahasiswanya
pekerjaan dan koneksi. Problem ekonomi sebagai momok dunia pendidikan kita
masih harus diikuti oleh persoalan kebingungan para sarjana bingung. Sampai
hari ini, semakin bertambah di sekitar kita keluhan para sarjana yang bingung
mau kerja apa. Celakanya, bahkan ada yang masih bingung saat diminta
menjelaskan apa arti sarjana. Hal itu menjadi refleksi berjamaah, apalagi tiap
semester, rata-rata kampus mewisuda ribuaan sarjana.
0 comments:
Post a Comment