Pembelajaran di SD. Foto: Harianblora.com. |
Blora, Harianblora.com - Sekolah lima hari dinilai
rugikan guru dan memangkas hak belajar siswa. Wacana sekolah lima hari yang
digulirkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sangat menimbulkan kontroversi.
Kepala Lembaga Pusat Penelitian Pendidikan (LP3) Jawa Tengah, Ahmad Muslih
menuturkan kebijakan gubernur Jateng tersebut perlu dikaji ulang. "Saya
tidak terlalu setuju, karena hal itu mengurangi hak belajar siswa di
sekolah," tukas dia kepada wartawan Harianblora.com, Jumat (20/3/2015)
sore.
Menurut pria tersebut, setiap anak berhak mendapatkan
pendidikan sesuai undang-undang. "Di dalam Permendiknas tahun 2006 kan
sudah diatur beban belajar anak, jika dikurangi, hal itu tentu memangkas
intensitas materi pelajaran yang disampaikan guru," terangnya.
Wacana kebijakan sekolah lima hari mulai Senin-Jumat ini,
dinilai Muslih sebagai program yang rancu. Sebab, kata dia, pendidikan itu
terstruktur, kontinu, terarah dan terkonsep. "Kalau ini kebijakannya
politis, ya merusak masa depan anak. Meskipun belajar tidak harus di sekolah,
namun pendidikan dalam sekolah justru bias," jelasnya.
Kan sudah diatur dalam kurikulum dan standar isi, kata dia,
baik di kurikulum 2013 maupun KTSP. "Meskipun ada sisi positifnya, saya
kira kebijakan ini kurang berdampak signifikan bagi kemajuan pendidikan di Jawa
Tengah," tukas dia.
Mungkin yang enak gurunya, lanjut Muslih, tapi anak-anak kan
kasihan. "Kebijakan ini juga akan mengganggu guru-guru yang PNS atau
sertifikasi. Sebab, seminggu saja, itu harus tatap muka minimal 24 jam. Beban
mengajarnya 24 jam itu tidak sedikit lo. Kalau diterapkan sekolah lima hari,
pasti kacau lah," beber dia.
Jadi, kata dia, yang dirugikan atas kebijakan ini adalah
siswa dan juga gurunya sendiri. "Kan ini masih wacana, semoga ada titik
terang kebijakan yang dampaknya baik bagi siswa dan juga guru. Sebab, dalam
pendidikan tak boleh main-main," pungkas dia.
Terpisah, Nailul Mukorobin, staf pengajar Psikologi Agama di
FIP Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyatakan kebijakan itu sangat
kontradiksi dengan prinsip belajar. "Setiap anak itu memiliki gaya
belajarnya masing-masing. Jadi guru tidak boleh memaksakan anak untuk belajar
berlebihan, juga tidak cocok jika anak dikurangi hak belajarnya. Semua harus
pas dan sesuai kebutuhan. Hal itu sudah dikonsep Kemendikbud dalam standar isi
pendidikan lewat beban belajar yang harus dilaksanakan mulai jenjang SD sampai
SMA," jelas dia.
Dalam pendidikan, kata dia, ada pendidikan dalam keluarga,
sekolah dan masyarakat. "Posisi sekolah adalah pendidikan formal, jadi
harus dikonsep dengan ilmiah dan tidak boleh ditambahi apalagi dikurangi jam
belajarnya. Ya meskipun belajar tidak harus di sekolah, namun hal ini sudah
diatur undang-undang dan sudah sesuai psikologi belajar anak," beber dia
kepada wartawan Harianblora.com.
Mau diterapkan lima hari, lanjut dia, empat hari atau enam
hari sekalipun, saya menilai yang penting tidak melanggar undang-undang
termasuk Sisdiknas.
"Belajar itu memang bukan masalah hari, tapi berapa jam
anak mendapat materi pelajaran di sekolah. Kalau dipadatkan jadi lima hari,
yang penting jam belajar anak dan beban belajar sesuai Permendiknas
terpenuhi," pungkas dia. (Red-HB42/Foto: Harianblora.com).
0 comments:
Post a Comment