Blora, Harianblora.com - Kata gombal dan janji manis dalam cinta
ternyata 90 persen fiktif. Hal itu diungkapkan Hamidulloh Ibda, penulis
buku Stop Pacaran Ayo Nikah, Jumat (13/3/2015). Menurut pria tersebut,
janji manis tidak hanya diucapkan dan keluar dari para kaum muda yang
sedang mengembara di dunia asmara, namun janji manis juga diucapkan
semua kalangan. "Ada janji manis Jokowi, janji manis DPRD, janji manis
camat, luruh hingga janji manis masyarakat," ujar Pengurus Besar Gerakan
Pemuda Nusantara tersebut.
Janji manis, kata dia, adalah ungkapan kasih sayang terhadap orang yang diberi janji. "Berjanji, berarti memberi harapan, kalau tidak mampu merealisasikan, ya malah dosa besar, karena prinsip dalam agama, berjanji sama saja berhutang," papar penulis buku Demokrasi Setengah Hati tersebut. Agama Islam khususnya, menurut Ibda tidak menganjurkan umatnya untuk mengumbar janji.
"Masalah janji memang sensitif. Maka alternatif dalam Islam kalau takut tak bisa melaksanakan ya bilang insyaallah. Tapi saya sendiri kurang suka, sebab insyaallah itu dalam dunia ilmiah, kebenarannya hanya 75 persen. Tapi kalau dalam dunia medis, kebenarannya bisa sampai 90 persen. Kalau dalam dunia agama, hanya 50 persen," tukas dia. 90 Persen Fiktif Dalam cinta, kata dia, itu ya seperti hidup di roman. Maka ada istilah romantis, katanya, lembut, kasih sayang, dan semua bahasa dihaluskan.
Saya menganggap 90 persen bohong, kata Ibda, karena kebenaran ungkapan atau bahasa romantis itu fiktif. "Ia hampir seperti kebenaran sastra, hanya imajinatif meskipun sebagian ada janji manis dan kata-kata cinta yang direalisasikan," tukas pria yang bekerja sebagai tenaga ahli KPU Jawa Tengah tersebut. Kata gombal, kata Ibda, kata romantis atau pun bahasa alay itu adalah bagian dari bahasa sastra.
"Kan memang indah, lembut, romantis, jadi kebenarannya ya kebenaran imajinatif. Bahkan tidak hanya 90 persen, namun bisa 100 persen bohong. Jadi para perempuan harus bisa dan paham dalam menangkap kalimat gombal dari pacarnya. Mana yang fakta dan mana yang romantis berbau imajinatif," beber dia.
Setiap kata, ujar Ibda, itu kan ada nuansanya dan dimensinya. "Maka perempuan harus bisa membedakan, mana yang dibombong, dipuji, dihina, dibohongi. Kalau tak paham ini, tiap pacar atau pasangannya ngrayu dan menebar janji mudah dipercaya kan repot," tegasnya. Sebab, lanjut Ibda, kata-kata itu ada konteksnya. Ada ruang dan waktunya.
"Kalau dalam sastra ada bahasa ironis, sinisme dan sarkasme. Jadi kalau pacarmu nggombal, menebar janji manis, deteksi kebenarannya dengan kewaspadaan bahasa dan budaya," jelas pria yang pernah meraih penghargaan penulis terproduktif tahun 2013 tersebut. Yang penting, lanjut Ibda, mau pakai bahasa apa saja, setiap pemuda harus berhati-hati. "Sebab, kata-kata itu menentukan tindakan dan budaya serta karakter bahkan peradaban suatu bangsa," pungkasnya. (Red-HB41/Foto: Vivanews).
Janji manis, kata dia, adalah ungkapan kasih sayang terhadap orang yang diberi janji. "Berjanji, berarti memberi harapan, kalau tidak mampu merealisasikan, ya malah dosa besar, karena prinsip dalam agama, berjanji sama saja berhutang," papar penulis buku Demokrasi Setengah Hati tersebut. Agama Islam khususnya, menurut Ibda tidak menganjurkan umatnya untuk mengumbar janji.
"Masalah janji memang sensitif. Maka alternatif dalam Islam kalau takut tak bisa melaksanakan ya bilang insyaallah. Tapi saya sendiri kurang suka, sebab insyaallah itu dalam dunia ilmiah, kebenarannya hanya 75 persen. Tapi kalau dalam dunia medis, kebenarannya bisa sampai 90 persen. Kalau dalam dunia agama, hanya 50 persen," tukas dia. 90 Persen Fiktif Dalam cinta, kata dia, itu ya seperti hidup di roman. Maka ada istilah romantis, katanya, lembut, kasih sayang, dan semua bahasa dihaluskan.
Saya menganggap 90 persen bohong, kata Ibda, karena kebenaran ungkapan atau bahasa romantis itu fiktif. "Ia hampir seperti kebenaran sastra, hanya imajinatif meskipun sebagian ada janji manis dan kata-kata cinta yang direalisasikan," tukas pria yang bekerja sebagai tenaga ahli KPU Jawa Tengah tersebut. Kata gombal, kata Ibda, kata romantis atau pun bahasa alay itu adalah bagian dari bahasa sastra.
"Kan memang indah, lembut, romantis, jadi kebenarannya ya kebenaran imajinatif. Bahkan tidak hanya 90 persen, namun bisa 100 persen bohong. Jadi para perempuan harus bisa dan paham dalam menangkap kalimat gombal dari pacarnya. Mana yang fakta dan mana yang romantis berbau imajinatif," beber dia.
Setiap kata, ujar Ibda, itu kan ada nuansanya dan dimensinya. "Maka perempuan harus bisa membedakan, mana yang dibombong, dipuji, dihina, dibohongi. Kalau tak paham ini, tiap pacar atau pasangannya ngrayu dan menebar janji mudah dipercaya kan repot," tegasnya. Sebab, lanjut Ibda, kata-kata itu ada konteksnya. Ada ruang dan waktunya.
"Kalau dalam sastra ada bahasa ironis, sinisme dan sarkasme. Jadi kalau pacarmu nggombal, menebar janji manis, deteksi kebenarannya dengan kewaspadaan bahasa dan budaya," jelas pria yang pernah meraih penghargaan penulis terproduktif tahun 2013 tersebut. Yang penting, lanjut Ibda, mau pakai bahasa apa saja, setiap pemuda harus berhati-hati. "Sebab, kata-kata itu menentukan tindakan dan budaya serta karakter bahkan peradaban suatu bangsa," pungkasnya. (Red-HB41/Foto: Vivanews).
0 comments:
Post a Comment