Oleh Hamidulloh Ibda
Pegiat Kajian Filologi di Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini diambil dari Opini Koran Pagi Wawasan Selasa 17 Maret 2015
Demam tinggi batu akik. Demikian kondisi masyarakat Jawa Tengah
yang kini membicarakan, memburu, mencari, memamerkan, melombakan, bahkan
membeli dan mengoleksi batu akik meskipun dengan harga miliaran rupiah. Demam
batu akik seharusnya menjadi momentum untuk mengampanyekan potensi lokal dan
menduniakan khazanah budaya Jateng.
Kondisi tersebut tidak sekadar fenomena ekonomi dan kapital, namun juga
pergeseran zaman, benturan antara zaman rasional dan “zaman batu” serta
mistisme. Di Jateng, demam batu akik tak hanya di desa-desa, namun kini
merambah di kota besar seperti Kota Semarang.
Dulu, batu akik identik dengan dunia mistis, klenik, perdukunan dan
hanya dipakai orang-orang tertentu yang dinilai kuno, jadul dan kampungan.
Namun saat ini justru berbalik arah. Sebab, batu akik kini dinilai sebagai
“ukuran kekayaan” bahkan sudah menjadi “gaya hidup”.
Orientasi memakai batu akik juga karena motif “tuah”. Khoirul Waro
(2015) menjelaskan tuah pada batu akik adalah pada unsur kesaktian, keramat,
atau pengaruh yang mendatangkan keuntungan, kebahagiaan dan keselamatan. Ketika
orang memakai batu akik, maka ada kepercayaan yang memakai akan selamat dan
lebih berwibawa. Bahkan, derajat estetik pemakai akan semakin tinggi.
Demam batu akik tentu tidak hanya membawa dampak positif, namun juga
dampak negatif. Mengapa? Dengan adanya penggiringan isu batu akik, banyak
sekali “penjual dadakan” memasak batu dari kaca dan mengaburkan yang palsu
dengan batu asli.
Fenomena ini jangan sampai “numpang lewat” seperti beberapa waktu lalu,
yaitu saat demam bunga Gelombang Cinta dan ikan Louhan yang hilan ditelan zaman.
Pasalnya, pemeritnah tidak memanfaatkan demam itu untuk mengangkat potensi
lokal sebagai wahana mendongkrak ekonomi dan penghasilan daerah.
Pergeseran
Batu akik yang dulu dikenal orang sebagai benda sakral seperti keris,
jimat, namun kini ukurannya adalah kapital atau kekayaan. Sakralitas batu akik
kini “terbeli” dengan rupiah asal berani membayar tinggi sesuai dengan jenis
batu. Bahkan, sebagian masyarakat menilai demam batu akik kini menunjukkan kita
sedang kembali kepada “zaman batu”, padahal saat ini kita hidup di era modern,
berbasis rasio dan sesuai cara berpikir ilmiah serta logika.
M Junaidi Al Anshori (2010) menjelaskan zaman batu terbagi atas empat
periode, yaitu zaman batu tua (palaeolithikum), zaman batu muda (mesolithikum),
zaman batu muda (neolithikum) dan zaman batu besar (megalithikum). Seharusnya
demam tersebut membuka pori-pori ekonomi dan menduniakan potensi lokal di Jateng.
Apalagi saat ini kita hidup di dunia teknologi yang serba canggih yang berbeda
dengan zaman batu saat itu.
Zaman dulu, orang yang memakai batu akik harus memakai ritual tertentu,
seperti membakar kemenyan, membaca doa-doa dan memberi makanan batu akik
tersebut dengan bunga tujuh rupa. Hal itu diyakini memiliki kekuatan gaib pada
batu tersebut. Kasidi Hadiprayitno (2013) menyatakan semua benda-benda seperti wayang,
keris, tombak, batu akik, dalam kepercayaan Jawa diyakini memiliki kekuatan
tersendiri. Maka tidak heran orang kuno dulu yang memakai batu akik harus
memenuhi syarat ritual tertentu.
Ahmad Fauzi (2014) menjelaskan setiap benda dalam perspektif
antropologi tidak memiliki kekuatan gaib, seperti jin, roh-roh halus dan
sebagainya. Namun inti dari setiap benda yang terkecil setelah partikel adalah
pikiran. Jika saat ini pikiran manusia sudah terpengaruhi oleh gemerlap batu
akik, banyak orang-orang memburu benda tersebut tanpa mempelajari sejarah,
substansi, filosofi dan maknanya.
Mistisme dan aura klenik pada batu akik kini tidak lagi terlalu
dipercaya. Batu akik kini sebagian besar hanya dimaknai dari jenis, unik,
langka dan energinya. Adagium “bertuah” memang sudah ada sejak dulu, akan
tetapi sekarang bergeser dan dimainkan para “mafia harga” batu akik. Mengapa?
Banyak orang yang tidak kenal dan cinta pada batu akik, namun sekarang justru
memburu dan membelinya.
Demam batu akik membawa berkah pada kolektor dan pengrajin batu akik.
Selain itu, dunia penelitian juga semakin berkembang, sebab dengan adanya demam
batu akik, akan semakin banyak penelitian cagar budaya dan arkeologi. Hal itu
juga harus diperhatikan pemegang kebijakan, jangan sampai ada penambang liar
mencari batu akik yang justru merusak alam.
Potensi Ekonomi
Di Jateng sendiri, beberapa bulan terakhir sampai saat ini masih ramai
membicarakan batu akik. Tidak hanya kalangan bawah, namun batu akik juga
menarik perhatian bupati, walikota, pejabat tinggi bahkan presiden. Banyak
lomba, festival dan pameran batu akik mulai digelar di berbagai daerah, salah
satunya di Kota Semarang.
Pada 25 Februari 2015 sampai 1 Maret 2015 digelar Pameran dan Lomba
Batu Mulia Indonesia di Pasaraya Sri Ratu di jalan Pemuda Semarang yang
memperebutkan Piala Walikota Semarang (SM, 26/2/2015). Pada 26-27 Februari 2015
juga digelar Pameran dan Talkshow Bedah Bisnis Batu Akik yang diselenggarakan
Sentra UMKM di gedung Bank BPD Jateng.
Sebelumnya, di Kabupaten Pati juga digelar Pati Visit Expo 2015 yang
memamerkan batu-batuan unik dan memiliki nilai seni tinggi. Salah satu jenis
batu akik yang menjadi andalan adalah Jalasutra yang hanya terdapat di
Pegunungan Kendeng.
Demam batu akik seharusnya dimanfaatkan Pemerintah Provinsi Jateng dan
seluruh kabupaten/kota di Jateng untuk mengangkat potensi lokal. Ada beberapa
hal yang perlu dilakukan. Pertama; pemerintah perlu menggelar banyak lomba dan
pameran batu akik dengan tujuan mengangkat local wisdom, potensi daerah
dan mengampanyekan produk lokal. Mengapa? Jangan sampai masyarakat Indonesia
sendiri memakai dan mencintai batu akik produk luar negeri daripada produk
lokal.
Kedua; jika produksi batu akik dikembangkan, diinovasi serta
distandardisasi berkualitas internasional, maka potensi ekonomi batu akik mampu
menjadi elemen penguat Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015. Sebab, saat ini batu akik menjadi fenomena unik dan jangan sampai
hanya “numpang lewat”.
Ketiga; pemerintah perlu mendukung perajin dan kolektor batu akik untuk
meningkatkan produksi batu akik. Jika serius dikembangkan, batu akik berpotensi
menjadi “bahan ekspor” tingkat dunia. Secara otomatis, potensi ekonomi dan
budaya lokal Jateng dan Indonesia juga akan dikenal di dunia.
Keempat; selain batu akik jenis bacan doko, badar besi, pemerintah juga
perlu mengangkat batu akik lokal. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Jateng harus mengembangkan potensi batu akik dari Jateng sendiri, seperti di
Kabupaten Purbalingga, Kebumen dan juga daerah lain. Selain batu akik khas
Purbalingga yakni batu Darah Kristus atau Nogo Sui dari Sungai Klawing juga
banyak batu akik di daerah lain. Misalnya di daerah Pati yang ada batu akik
Jalasutra yang hanya ada di daerah pegunungan Kendeng.
Batu akik lokal, sebenarnya bisa menyaingi batu akik yang termahal di
dunia seperti Jeremejevite, Black Opal,
Red Beryl Emerald, Musgravite, Grandidierite dan Blue Garnet. Hal itu bisa
dilakukan jika keunikan, nilai estetik dan aura energi batu lokal dipamerkan,
dipasarkan dan didukung media massa. Pasalnya, batu akik lokal di Jateng
sebenarnya jauh lebih tinggi derajat estetiknya daripada batu lain.
Masyarakat juga harus cerdas saat membeli batu akik. Pasalnya, kolektor
sejati tidak mudah terpengaruh dengan kondisi pasar, sebab semua batu akik
memiliki harga dan karakter masing-masing.
Demam batu akik harus membawa berkah bagi semua kalangan. Tak hanya perajin,
kolektor, dan pemerintah, namun masyarakat Jateng harus mendapat berkah.
Caranya adalah memaksimalkan peran pemerintah untuk “menduniakan” batu akik
Jateng.
Jika sudah memiliki semangat batu akik, yaitu spirit keindahan di dalam
jiwa masyarakat, maka meskipun tidak memakai batu akik, secara rohani mereka
akan memiliki jiwa keindahan. Secara produk lokal, Jateng juga akan dikenal
sebagai gudang akik. Tak heran jika nanti warga Jateng bertemu dengan warga
lain dengan percaya diri berkata “ini batu akikku, maka batu akikmu?”
0 comments:
Post a Comment