Oleh Muhammad Haizun Niam
Hari Valentine atau Valentine’s Day merupakan Hari Kasih
Sayang seperti yang dikenal masyarakat umum. Bagi
kaum remaja, hari yang jatuh pada 14 Februari ini merupakan momen spesial untuk
meluapkan emosi cinta kepada sang kekasih. Biasanya, mereka akan mengirimkan
pelbagai kejutan untuk sang kekasih, mulai dari kartu ucapan selamat, cokelat,
kado, bahkan aksesori bergambar hati yang bercorak pink (merah muda). Semua
tipikal kejutan tersebut merupakan simbol ungkapan kasih sayang untuk pasangan
masing-masing.
Tapi sungguh “miris”,
ternyata perayaan valentine tidaklah cukup dengan pemberian hadiah maupun
ucapan selamat. Dewasa ini, perayaan Valentine selalu diwarnai dengan pelbagai
tindakan amoral dari sebagian remaja. Di antara tindakan-tindakan tersebut
adalah pesta miras, hura-hura
dan yang paling parah adalah free sex (seks
bebas). Di Indonesia, tindakan-tindakan tersebut selalu menjadi iming-iming
menarik bagi kaum
remaja. Padahal, di Eropa tradisi yang
seperti ini mulai memudar karena dapat
memberikan ancaman serius bagi generasi muda. Salah satunya
adalah ancaman virus HIV dan AIDS.
Di sinilah letak
ketidaksesuaian antara makna dan ritual dalam Hari Valentine. Jika memang hari
tersebut dianggap sebagai Hari Kasih Sayang, apakah harus selalu bersamaan
dengan tindakan amoral? Bukankah kasih sayang itu identik dengan tindakan
kebaikan dan saling berbagi? Sungguh logika yang sesat.
Free
Sex Day
Sejarah mengatakan
bahwa perayaan Hari Valentine bukanlah merupakan ajaran Kristen, melainkan
hasil dari sinkretisme antara kebudayaan pagan dan tradisi Kristen. Upaya ini
merupakan taktik Gelasius agar dapat membumikan agama kristen yang tergolong
sebagai agama baru di Eropa. Sebab, masyarakat Eropa pada saat itu terlampau teguh
memegang paganisme. Paganisme merupakan faham yang identik dengan kepercayaan
terhadap banyak Tuhan (Polytheisme). Biasanya, ditandai oleh keberadaan para
dewa.
Di zaman Romawi Kuno,
kepercayaan yang seperti itu telah mendarah-daging di benak masyarakat. Bahkan,
telah membentuk sebuah ritual penyembahan terhadap para dewa. Di antara ritual
yang paling kental adalah peringatan terhadap dewa Lupercus—dewa kesuburan yang digambarkan setengah telanjang dengan
pakaian dari kulit domba yang disebut dengan hari raya Lupercalia. Perayaan ini
berlangsung dari tanggal 13 hingga 18 Februari.
Dua hari pertama,
mereka akan mengadakan sesembahan untuk Queen
of Feverish Love (Dewi Cinta), Juno Februata. Dalam proses penyembahan itu,
mereka mengadakan Lotre pasangan. Para wanita muda akan diundi melalui yang di
dalamnya terdapat nama-nama mereka. Kemudian, para pria akan mengambil satu
nama dalam bejana tersebut untuk diajak berhubungan seks. Tradisi ini lalu
menyebar dengan cepat ke hampir seluruh Eropa.
Penyebaran tradisi ini
menyebabkan sulitnya penyebaran agama Kristen. Untuk menarik jemaat agar mau
berpindah haluan ke Gereja, maka Paus Gelasius mengadopsi perayaan kafir pagan
ini dengan memberi kemasan kekristenan. Kemudian Gelasius I pada tahun 469 M
mengubah upacara Roma Kuno Lupercalia ini menjadi Saint Valentine’s Day, dan
diresmikan sebagai Hari Valentine oleh Paus Gelasius pada 14 Februari di tahun
498.
Berdasarkan literatur
tersebut, maka yang nampak dari peringatan Hari Valentine tidak lebih dari sekadar
jembatan menuju free sex (sex bebas).
Bahkan, ada yang memaknai Valentine sebagai free
sex day, bukan lagi hari kasih sayang. Kini, tradisi tersebut telah
menghinggapi para remaja Indonesia setidaknya sejak tahun 1980-an. Fenomena
seks bebas inilah yang menyulut keresahan masyarakat setiap momen Valentine’s
Day bergulir. Terlebih bagi mereka yang memiliki remaja gadis.
Ekstra
Waspada
Rabu kemarin seluruh
masyarakat Indonesia dikagetkan dengan praktik “sedekah kondom”. Praktik itu
beredar di media sosial foto (gambar) yang memperlihatkan paket dua batang
cokelat dengan bonus sebuah kotak kondom. Paket cokelat dan kondom gratis itu
disinyalir berasal dari sebuah supermarket di Malang, Jawa Timur.
Peredaran coklat
berhadiah kondom jelang peringatan Valentine Day tersebut seketika menyedot
perhatian para pengguna internet. Banyak reaksi negatif yang mengiringi praktik
“sedekah kondom” itu. Banyak masyarakat yang menilai bahwa tindakan tersebut
telah melampaui batas norma.
Menurut Ketua Umum
Gerakan Perempuan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Welya Safitri
Welya Safitri, mengatakan bahwa Coklat berhadiah kondom itu di luar norma.
Welya juga menanyakan kenapa harus ada tindakan memalukan seperti itu, dan
untuk apa dibuat seperti itu? (ROL, 5/2/2015).
Tegasnya, Ia menilai bahwa,
ada norma-norma yang dilanggar ketika remaja terjerumus dengan ritual buruk
yang berbau Valentine. Mulai dari norma agama dan norma Indonesia yang menganut
budaya ketimuran. Tentu saja tindakan tersebut sangatlah miris. Menyikapi
kemirisan ini, Welya mengajak remaja Indonesia agar lebih memaksimalkan usia
remaja untuk melakukan tindakan yang bermanfaat. Sebab, usia remaja merupakan
usia emas yang tidak dapat terulang. Masa-masa itu sangat disayangkan apabila
digunakan untuk tindakan yang menjerumus pada “jurang hitam”.
Boleh-boleh saja jika
ingin merayakan Valentine, namun harus memiliki argumen yang kuat dan tidak
bertolak belakang dengan nilai dan norma yang berlaku. Atau jika dengan
melakukan perayaan itu dapat menciptakan suatu kebaikan maka tidak akan menjadi
sebuah polemik. Tapi, jika hanya sekedar ikut-ikutan maka lebih baik jangan
merayakannya. Sebab, hanya akan menimbulkan pelbagai mudarat.
Berdasarkan kacamata
Islam, hal tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam kitab Bughyatul
Musytarsyidin. Pertama, Apabila
seorang muslim yang mempergunakan perhiasan/aksesoris seperti yang digunakan
kaum kafir dan terbersit di hatinya kekaguman pada agama mereka dan timbul rasa
ingin meniru (gaya) mereka, maka muslim tersebut bisa dianggap kufur. Apalagi
jika dengan sengaja menemani mereka ke tempat peribadatannya.
Kedua, apabila dalam hati muslim itu ada keinginan untuk
meniru model perayaan mereka, tanpa disertai kekaguman atas agama mereka, hal
itu terbilang sebagai dosa. Ketiga,
apabila muslim itu meniru gaya mereka tanpa ada maksud apa-apa maka hukumnya
makruh.
Meskipun diperbolehkan
untuk merayakan Valentine dengan pelbagai pertimbangan, namun seluruh komponen
masyarakat harus tetap waspada. Sebab, ancaman seks bebas bisa melejit setiap
saat. Dalam masalah ini, orangtua harus mampu mengawal remaja-remajanya agar
tidak terseret dalam arus kegelapan.
Bagi pemerintah, harus
segera meningkatkan setabilitas dalam negeri dan membuat peraturan yang mampu
memangkas pergerakan seks bebas di Indonesia hingga ke akar-akarnya. Walhasil,
hari kasih sayang akan benar-benar tampak. Wallahu
a’lamu bi al-Showab.
- Penulis adalah Peneliti Muda di Lembaga Studi Agama
dan Nasionalisme (LeSAN),
Ketua Ikatan Penulis
Muda Bertalenta (PIMB)
Walisongo Semarang, Mentri Hukum di Monash Institute Semarang.
0 comments:
Post a Comment