Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti pendidikan pada Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Wacana Ujian Nasional (UN) online 2015 berbasis Computer
Based Test (CBT) atau Evaluasi Nasional (Enas) perlu dikaji ulang. Sebab,
kebijakan ini dinilai terburu-buru dan sejumlah daerah belum siap 100 persen
menjalankannya, terutama di pelosok. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) berdalih UN online untuk menghemat biaya, menjamin
pelaksanaan UN yang jujur, bersih dan fleksibel. Namun bagaimana jika UN online
masih tidak siap dan persiapannya kebut tayang? Tentu hasilnya tidak maksimal.
Menurut Kemendikbud, tahun 2015 ini tidak semua siswa
mengikuti ujian online, tetapi hanya 500 ribu
siswa. Sedangkan yang lain tetap mengerjakan UN dengan menggunakan lembar jawaban
kertas. Sedangkan kepastian pelaksanaan UN online di semua sekolah
adalah tahun 2016 nanti.
Model UN yang masih percobaan ini terkesan hanya
formalistik-simbolis saja. Sebab, tiap tahun pemerintah selalu mengeluarkan
kebijakan dan gagasan baru, namun selalu menimbulkan masalah baru pula karena
dilakukan dengan persiapan yang pincang dan setengah hati. Di tiap provinsi,
hanya sedikit sekolah yang siap menggelar UN online karena mereka belum
siap 100 persen.
Gagasan UN online sangat brilian dan bernas. Selain
pertimbangan penghematan dan kejujuran, UN online juga menjadi sarana
untuk menguji tingkat orisionalitas pekerjaan pelajar. Apalagi jika UN tersebut
ada ribuan bahkan jutaan variabel soal, maka akan meminimalkan potensi
kecurangan.
Mengkaji Ulang
Alasan kecurangan menjadi salah satu dasar pemerintah
mengeluarkan wacana UN online. Namun sangat paradoks jika UN ini belum
siap namun dipaksakan tahun ini, seperti kurikulum 2013 yang justru menjadi
bumerang bagi pemerintah sendiri.
Kebijakan pendidikan harus benar-benar mengarah kepada
perubahan, baik secara mental maupun ilmu pengetahuan. UN online harus
mempertimbangkan berbagai aspek, semua harus memakai dasar, filosofi dan bebas
kepentingan proyek. Sebab, jika UN ini hanya menjadi “kelinci percobaan”, maka
yang rugi siswa dan tentu pendidikan secara nasional.
Menteri
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan menyatakan UN akan
dilaksanakan sekitar pertengahan bulan April hingga Mei 2015. UN SMA akan
dilakukan lebih awal, menyusul kemudian UN SMP. UN SMA akan dilaksanakan pada 13-15 April
2015. Sedangkan UN SMP akan dilaksanakan pada 4-6 Mei 2015 (Sinar Harapan, 23/1/2015).
Sementara
untuk SD, pelaksanaan UN akan diserahkan ke Dinas Pendidikan tingkat kota
masing-masing.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Kemendikbud
Nizam menjelaskan belum semua siswa SMA dan SMK mengikuti UN online. Nizam merinci, 500 ribu
siswa yang mengikuti UN online
tersebut terdiri atas 50 ribu hingga 100 ribu siswa SMA serta 400 ribu siswa
SMK. Sedangkan jenjang SMP dan SD belum ada pembahasan.
UN sistem ini secara teknis berbasis online. Namun,
sistem evaluasi yang baru ini harus memperhatikan dari berbagai sudut pandang,
baik secara epistemologi, pedagogi, evaluasi sampai teknis. Nizam menjelaskan UN online merupakan salah satu pemanfaatan teknologi
informasi. Tujuannya mencegah beberapa masalah yang kerap terjadi saat UN,
yaitu pemborosan penggunaan kertas, keamanan dan bocornnya soal.
Prinsip evaluasi bukan sekadar mengukur kemampuan
intelektual, namun juga moral, karakter dan kejujuran. Jika UN online dilaksanakan,
maka sudah mewakili substansi prinsip evaluasi tersebut. Dalam pendidikan,
sangat haram jika ada kecurangan, salah satunya kecurangan di UN.
Di Indonesia, sistem UN sering berganti. Awalnya, tahun 1965-1971
disebut Ujian Negara, tahun 1972-1979 Ujian Sekolah, tahun 1980-2002 Evaluasi
Belajar Tahap Nasional, kemudian Ujian Akhir Nasional pada 2003-2004 dan Ujian
Nasional 2005 sampai sekarang. Pada tahun 2015 ini, muncul wacana UN online atau
Enas.
Suksesnya UN online yang sudah diterapkan di beberapa
SMK di Indonesia juga menjadi motivasi Kemendikbud menerapkan ujian ini di
seluruh sekolah. Namun pola pendidikan di SMK tentu berbeda dengan SMA yang
bukan mengarah ke skill saja. Maka, UN online sebenarnya tidak
cocok diterapkan di semua sekolah. Sebab, tiap sekolah memiliki karakter dan
gaya belajar sendiri dan tidak bisa dipukul rata. Sekolah di kota jelas berbeda
dengan di desa apalagi di pelosok.
Meskipun UN online memiliki sisi positif, namun
selayaknya konsep ujian tersebut harus matang. UN online mengandungun
unsur perkembangan dan teknologi pendidikan, namun harus dibarengi dengan
berbagai persiapan. Semua sekolah mendukung, asalkan persiapan matang dan tidak
sekadar formalistik saja.
Di negara maju saja, seperti Amerika, Australia, Finlandia,
Kanada, Jerman tidak mengadakan UN. Linda Hammond (1994) menyatakan mengapa
negara-negara maju tidak mau menggelar UN, sebab sekolah tidak bisa memberi
kreativitas guru. Menurutnya, sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar
sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan
teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab
masalah yang ada di daerah-daerah berbeda. Namun tidak bagi Indonesia, karena
masih “mengagungkan UN” sebagai salah satu bentuk evaluasi terjitu untuk
mengukur kesuksesan pembelajaran siswa.
Matangkan Persiapan
Salah satu kelebihan tes model ini yaitu bermanfaat
meningkatkan mutu, fleksibilitas, dan keandalan UN. Hasilnya juga bisa lebih
rinci dan lebih cepat diperoleh siswa, orangtua, dan sekolah. Mulai tahun ini
akan dilakukan perintisan atau uji coba UN dengan target beberapa sekolah pada
setiap jenjang di setiap provinsi. Untuk tahun-tahun berikutnya, UN dengan
sistem komputer akan dilakukan dengan cakupan lebih luas di 34 provinsi pada
jenjang SMP/MTs, SMA/MA, SMK, serta Paket B dan C. Soal-soalnya sama atau
setara dengan tes berbasis kertas.
Sebelum dilaksanakan, persiapan matang UN perlu dilakukan
agar tidak terjadi “kegagalan nasional”. Pertama, Kemendikbud perlu menyosialisasikan UN ini
kepada semua sekolah, baik yang percobaan maupun tidak. Perlu juga dirembuk,
pola dan karakter soal, apalagi di Indonesia saat ini menjalankan dua
kurikulum, yaitu K13 dan KTSP.
Kedua, perlu persiapan, pembenahan, perluasan akses internet
di daerah-daerah yang sulit dijangkau sinyal. Ketiga, persiapan teknis harus
matang, meliputi persiapan komputer, jaringan internet, kesiapan daya listrik
dan sebagainya. Jika saat UN listrik padam, maka kacaulah UN tersebut.
Keempat, perlu adanya ribuan bahkan jutaan variabel soal
seperti seleksi CPNS berbasis CAT. Tujuannya, agar potensi kecurangan semakin
minim. Kelima, pemerintah melalui dinas pendidikan juga perlu menggelar try
out atau latihan UN online. Tujuannya agar siswa tahu teknis
pelaksanaan UN tersebut.
Keenam, perlu adanya soal yang menekankan pada 3 ranah,
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Sebab, tahun lalu ada beberapa soal
yang menggunakan standar Programme for International Student Assessment (PISA).
Soal-soal high order thinking ini dibuat tim guru yang telah mendapat
pelatihan dari tim PISA yang masih menekankan ranah kognitif saja. Pelajar saat
ini membutuhkan soal-soal yang mengonstruk pola pikir mereka agar menjadi insan
kamil, berkarakter dan religius tidak hanya terpaku pada angka dan teori saja.
Prinsip ujian, baik memakai kertas maupun online adalah
kejujuran. Sebab, tanpa kejujuran dan UN yang autentik, maka UN online
sama saja mengaburkan substansi evaluasi pendidikan. Pemerintah, LPTK, dinas
pendidikan, peneliti, akademisi, LSM dan masyarakat harus turut serta mengawal
UN online. Sebab, masih banyak potensi kecurangan UN yang harus dikawal.
Substansi UN bukan sekadar pengukuran, namun juga mendidik
anak berbuat jujur. Maka dari itu, jika UN online nanti masih ada
kecurangan, apakah pantas disebut UN?
0 comments:
Post a Comment