Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Unnes
Syarat dosen harus S2 magister. Ya, demikian benak mahasiswa
program magister ketika ingin menjadi dosen. Sebelumnya, saya tertarik dengan
berita berjudul “Dosen Belum S-2 Akan Pensiun” (SM, 7/2/2015) yang menjelaskan
bahwa dosen yang belum memenuhi standar dan kualifikasi akademik minimal S-2
(magister) akan dipensiunkan. Hal itu seharusnya menjadi motivasi bagi semua
dosen untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan meningkatkan kualitas.
Sebab, saat ini banyak guru SD yang berpendidikan S-2, maka dosen “dilarang”
berpendidikan S-1.
Dosen mengajar mahasiswa, jadi sangat kurang tepat jika masih S-1. Guru
SD saja sudah banyak berpendidikan magister, jadi secara kualifikasi akademik,
kualitas dosen sarjana sangat berbeda. Jika hal itu terlaksana, maka tahun ini
menjadi era berakhirnya dosen sarjana.
Apalagi, hal itu sudah diatur Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 Pasal 46,
kualifikasi minimal dosen adalah lulusan S-2. Aturan lain yang turut memagari
adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 18
dan 21. Guru SD/MI saja, sesuai UUGD 2005 minimal S-1, jadi sangat paradoks
jika masih ada dosen berpendidikan S-1.
Mengapa
demikian? Sebab, dosen adalah “gurunya guru”. Meskipun hakikat belajar tidak
ada hubungannya dengan gelar dan kualifikasi akademik, namun profesi dosen
sudah diatur konstitusi yang minimal bergelar S-2 untuk mengajar S-1 dan
lulusan S-3 untuk pascasarjana.
Terancam Pensiun
Posisi
dosen bergelar S-1 memang terancam pensiun. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 2009 tentang Dosen yang menyebut batas waktu kualifikasi minimal dosen
jatuh pada Desember 2015. Yakni 10 tahun setelah Undang-Undang Guru dan Dosen
No 14 Tahun 2005 diundangkan tanggal 30 Desember 2005.
Mau
tidak mau, semua dosen sarjana pada
tahun 2015 ini harus segera selesai kuliah magisternya. Sebab kalau tidak,
dosen-dosen tersebut akan dimoratorium bahkan pensiun, atau dipindah tugas di
bagian tenaga kependidikan.
Langkah tegas Rektor Unnes Prof Dr Fathur Rokhman, MHum untuk
menghentikan dosen sarjana perlu diapresiasi. Selain mengurangi bargaining kampus
dan kualitas pembelajaran, dosen sarjana juga menjegal kampus melakukan akreditasi.
Dosen sarjana juga menghambat kampus membuka prodi atau jurusan baru.
Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti) tak
lama ini menyatakan Indonesia sedang krisis tenaga pengajar, khususnya dosen. Berdasarkan
data Kemenristek Dikti, jumlah dosen di Indonesia kurang dari 160.000 orang.
Angka ini tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mencapai 5,4 juta orang.
Dari 160.000 dosen itu, 30 persen di antaranya masih lulusan S-1, S-2 setengahnya,
dan S-3 hanya 11 persen (Koran Jakarta, 3/2/2015).
Dari pemetaan Ditjen Dikti terkait demografi dosen di Indonesia, terungkap
data bahwa dalam kurun 2005-2015, perguruan tinggi di Tanah Air tidak banyak
melakukan perekrutan dosen baru. Sepanjang 2005-2014, jumlah perekrutan dosen
sangat minim. Akibat minimnya perekrutan, maka kampus-kampus mengalami “krisis
dosen” khususnya yang lulusan magister.
Di Jawa Tengah sendiri, kebanyakan dosen yang belum bergelar S-2 adalah
dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada 249 PTS di bawah Koordinasi Perguruan
Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VI Jawa Tengah, terdapat 8.799 dosen. Mereka
terdiri atas 769 dosen PNS yang diperbantukan (dpk) di PTS dan 8.030 dosen
yayasan. Di antara dosen PTS itu, terdapat 2.244 dosen yayasan dan 38 dosen
yang diperbantukan yang belum berpendidikan S-2 (SM, 7/2/2015).
Di dunia pendidikan, menjadi guru di tingkat SD-SMA saja tidak boleh
main-main, apalagi menjadi dosen. Sebab, dosen adalah gurunya guru yang
memiliki tugas “mencetak” calon guru berkualitas. Sangat tidak logis jika guru
berkualitas lahir dari dosen S-1. Kalau sekadar asisten dosen atau dosen
kontrak, hal itu tidak terlalu masalah. Namun jika sudah menjadi dosen tetap,
maka sangat berdampak pada kualitas pendidikan, akreditasi, sertifikasi,
pembukaan prodi baru dan merendahkan bargaining kampus bersangkutan.
Jadi, tahun ini harus menjadi akhir dari era dosen sarjana.
Pacu Kualitas
Kunci dari problem ini adalah “menegakkan konstitusi” yang sudah diatur
pemerintah. Yaitu UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14/2005 (pasal 46 ayat 2) tentang
Guru dan Dosen (UUGD),
dipertegas Permen No 42/2007 tentang Sertifikasi Dosen, seorang dosen harus
memiliki strata pendidikan minimal satu tingkat lebih tinggi dari para
mahasiswa yang diajarnya. Artinya, dosen program diploma atau sarjana wajib
memiliki kualifikasi akademik minimum S-2/magister. Dosen program pascasarjana wajib memiliki kualifikasi akademik S-3/doktor.
Selain itu, untuk mengakhiri
era dosen sarjana, kampus juga perlu melakukan moratorium bahkan menghentikan
dosen-dosennya yang belum magister. Ida Zulaeha (2015) menyatakan dosen yang
mengajar S-1/diploma yang belum magister harus diarsipkan atau wajib
dihentikan.
Pemerintah juga harus memperbanyak beasiswa untuk calon dosen, baik di
dalam maupun luar negeri. Hal itu dapat memancing lebih banyak orang untuk
menjadi dosen dan otomatis mengurangi kriris dosen. Kampus terutama PTS perlu
memperketat perekrutan dosen baru. Artinya, semua dosen yang mengajar harus
minimal lulusan magister.
Kampus yang menyelenggarakan program pascasarjana sebagai pencetak
dosen juga harus berkualitas internasional. Muklas (2008) menjelaskan pascasarjana
wajib meningkatkan mutu berkelas dunia. Dengan demikian, lulusan yang dihasilkan
juga berkelas dunia, dan akan berpengaruh pada lulusan undergraduate (S-1).
Tak hanya itu, kampus perlu meningkatkan twinning program atau double
degree dengan perguruan tinggi asing untuk pendidikan pascasarjana. Melalui
kolaborasi semacam itu, lulusan perguruan tinggi di Indonesia juga akan diakui
sama dengan perguruan tinggi kelas dunia yang menjadi rekanan kerja sama. Hal
itu juga menjadi sinyal positif bahwa menuntut ilmu tak perlu di luar negeri jika
kampus di Indonesia kualitasnya bertaraf internasional.
Sebagai ilmuwan, dosen wajib memacu kualitasnya. Sebab, ia memiliki tugas
lebih berat daripada guru. Jika guru hanya mendidik, namun dosen selain
mendidik juga meneliti dan melakukan implementasi ilmu dalam unsur pengabdian
kepada masyarakat sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sesuai UUGD No 14/2005, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan
dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Dari regulasi itu sudah jelas bahwa dosen harus berkualitas
dan minimal lulusan magister.
Secara keilmuwan, dosen memang profesi mulai meskipun dianggap kurang
menjanjikan. Padahal profesi guru/dosen berada di atas profesi-profesi lainnya.
Sebab, tanpa guru/dosen, tak akan ada yang namanya pengacara, tentara,
pengusaha, ekonom, politisi, dokter dan sebagainya.
Memacu kualitas dan kualifikasi dosen menjadi substansi problematika di
atas. Dosen memang bukan segalanya, namun segalanya berawal dari dosen
berkualitas. Semua dosen harus memenuhi kualifikasi akademik, patuh kostitusi
dan berkualitas. Jika tidak berkualitas, apa pantas disebut dosen?
0 comments:
Post a Comment