Oleh Sumardjan, S.Pd, M.MPd
Sertifikasi PPGJ adalah untuk Guru PNS dan Swasta. Program baru Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan (PPGJ) menjadi “harapan
baru” juga “tantangan berat” bagi para guru, khususnya di Jawa Tengah. Mengapa
tantangan berat? Karena PPGJ menjadikan guru harus serius untuk mendapatkan gelar guru profesional dan mereka tak bisa “santai-santai” dalam menjalankan tugasnya. PPGJ juga mengancam tambahan penghasilan guru
PNS sesuai Pasal 5 Peraturan Presiden No 52 Tahun 2005 tentang Tambahan
Penghasilan bagi Guru PNS.
Meskipun substansi PPGJ dinilai hampir sama seperti
pola melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), namun hal itu harus
diapresiasi. Pasalnya, dengan pola apa saja, pemerintah tentu mementingkan
kemajuan pendidikan lewat profesionalitas dan kualitas guru. Maka para guru di
Jateng harus menyambut baik PPGJ tersebut dengan terus meningkatkan kualitas.
Menjadi guru memang tak bisa sembarangan, karena ia tetap
menjadi “penentu” kemajuan pendidikan. Di tangan guru, menurut Kunandar
(2007:40) akan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas, baik secara
akademis, skill, perilaku serta
sikap. Puncak tertinggi pendidikan adalah kemajuan dan peradaban, tanpa guru
berkualitas, maka Indonesia pasti tertinggal.
Mengkaji Ulang
Pada tahun 2015 ini, calon peserta yang terdaftar PPGJ
di Jateng, rata-rata adalah mereka dari calon peserta yang tidak lulus PLPG
2014. Kemudian juga calon peserta untuk sertifikasi kedua, calon peserta yang
belum uji kompetensi, dan calon peserta yang sudah melakukan uji kompetensi.
Artinya, banyak peserta PLPG yang sulit lulus, apalagi PPGJ merupakan sistem
baru. Hal ini menjadikan guru harus “serius” dalam proses mengikuti program
baru tersebut.
PPGJ merupakan pola sertifikasi baru yang harus dikaji ulang. Pola ini
menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan profesionalitas guru. Lewat PPGJ,
guru harus melalui beberapa tahap, mulai dari seleksi administrasi berbasis
data hasil uji kompetensi, baik UKA maupun UKG. Kemudian, workshop selama 16
hari di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditutup dengan ujian
tulis formatif dan dilanjutkan program Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM). Hal
itu tentu memberatkan guru, apalagi tugas guru saat ini sangat berat, baik yang
PNS maupun swasta.
Namun hal itu harus menjadi “spirit” guru untuk
bekerja keras meningkatkan kualitas. Guru tak perlu “galau” dengan syarat dan
prosedur PPGJ yang terlalu teknis, birokratis dan administratif. Meskipun
sistem berganti, guru harus tetap “kuat” dan mampu menjebol halangan itu. Apa
pun kurikulum, sistem, pola sertifikasi, jika guru itu hebat, tentu mampu lolos
PPGJ bahkan mencapai derajat “guru profesional”.
Skema sertifikasi guru tahun 2015 ini memberikan
harapan besar bagi pendidik berstatus PNS maupun swasta yang telah memenuhi
syarat untuk bisa mengikuti usulan sertifikasi pada tahun ini. Secara umum,
sesuai aturan yang beredar, guru yang dapat mengikuti program PPGJ 2015 harus
memiliki beberapa syarat. Pertama, memiliki
Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Kedua, guru yang belum memiliki
sertifikat pendidik dan masih aktif mengajar di sekolah di bawah pembinaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali guru Pendidikan Agama.
Ketiga, guru yang
telah memiliki sertifikat pendidik dengan ketentuan guru PNS yang sudah dimutasi.
Keempat, memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV)
dari program studi yang terakreditasi atau minimal memiliki izin
penyelenggaraan.
Kelima, bagi guru
PNS harus memiliki SK tugas minimal 2 tahun dan bagi guru swasta harus memiliki
SK pengangkatan sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan (guru tetap
yayasan/GTY). Keenam, pada tanggal 1 Januari 2016 belum memasuki usia 60 tahun.
Ketujuh, sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari
dokter.
Syarat-syarat ini
tentu sulit bagi guru, apalagi untuk guru SD yang jam mengajarnya sangat padat. Ditambah dengan kebingungan para guru yang
kini menjalankan dua kurikulum, yaitu KTSP dan K13.
Harapan
PPGJ menjadi harapan baru kemajuan
profesionalitas guru jika diimbangi dengan persiapan yang berkulitas juga.
Pertama, penyelenggara PPGJ harus jelas kualitasnya, bisa itu LPTK dan
sebagainya. Jangan sampai PPGJ hanya menjadi “proyek tahunan” bagi pemerintah.
Kedua, para pendidik atau dosen yang bertugas sebagai
“gurunya guru” harus berkualitas dan mengerti pola profesionalitas guru
mutakhir. Hal itu senada dengan pendapat Fathur
Rokhman (2015) bahwa dosen yang akan menjadi instruktur PPGJ harus dosen
yang memiliki kompetensi dan kualifikasi.
Ketiga, perlu diatur jumlah dan kuota peserta, baik
secara nasional sampai ke teknis di daerah-daerah
bahkan perkelas. Pasalnya, jika PPGJ ditempatkan di
kelas gemuk, pasti tidak berjalan maksimal. Perkelas, harus mengacu pada pola
pendidikan, yaitu sekitar 25-30 peserta saja.
Keempat, meskipun nanti sudah mendapat materi di
tempat PPGJ, selayaknya mereka memantabkan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM)
lewat praktik mengajar di sekolah. Selain menambah pengalaman, hal itu juga
menambah “khazanah pedadogik” untuk mengetahui jenis, pola, karakter sekolah
dan siswa.
PPGJ juga harus mempertimbangkan model pendidikan
profesional. Seperti yang sudah dijelaskan Dharma (2009) tentang Every Teacher, Teacher Development Planinng yang mengharuskan guru profesional
memiliki 4 kemampuan dasar dan 4 kemampuan penting. Kemampuan dasar itu
meliputi kemampuan komunikasi, kolaborasi, teknologi dan evaluasi.
Sedangkan 4 kemampuan penting yaitu basis pengetahuan,
pedagogik, kepemimpinan dan personal
attributes. Hal itu penting karena
guru tidak sekadar dituntut memiliki 4 kompetensi pendidik (pedagogik,
kepribadiaan, sosial, profesional) dan juga 8 keterampilan mengajar. Setelah
lulus PPGJ, kualitas dan kemampuan mendidiknya harus lebih daripada guru-guru
yang belum PPGJ.
Sukses dan tidaknya PPGJ tidak hanya pada
penyelenggara, instruktur, sistem dan juga pelaksanaannya, namun juga pada guru
itu sendiri. Guru profesional pun harus terus melakukan peningkatakan kualitas
dengan terus belajar dan memiliki citra diri yang positif, etika, etos kerja,
komitmen juga empati.
Setelah lulus PPGJ dan mendapat sertifikat guru
profesional, selayaknya mereka tetap mengembangkan profesionalitas berbasis
karakter lewat forum KKG, MGMP, juga service
training dan supervisi akademik. Jadi, tunjangan sertifikasi harus
diimbangi dengan kualitas dan spirit mengabdi untuk memajukan pendidikan.
Meskipun tidak semua guru bisa mengikuti PPGJ, namun
jiwa profesional, heroik dan jiwa revolusioner harus melekat pada guru. Pada
dasarnya, guru adalah pendidik profesional dan revolusioner, jika tidak
profesional dan revolusioner, apa pantas disebut guru?
-Penulis adalah Kepala SD Negeri 01 Tawangrejo Kabupaten Blora
0 comments:
Post a Comment