Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Penulis adalah alumnus SMA Negeri 1 Blora, Penulis buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?
Program E-Sabak Kemendikbud menarik untuk dikritisi. Wacana buku elektronik oleh Kemendikbud
terkesan buru-buru. Sebab, akan banyak masalah baru yang dihadapi dunia pendidikan jika e-book maupun e-tablet diterapkan. Problematika kurikulum 2013 yang tidak
berjalan dengan baik karena “kurang siapnya” stakeholder terkait seharusnya menjadi pembelajaran bersama.
Kondisi belum siap jika dipaksakan tentu hasilnya kurang baik pula.
Wacana
penggunaan e-sabak mulai dari tingkat
Sekolah Dasar akan menjadi polemik baru khususnya bagi guru “belum melek IT”. Belum reda aura panas polemik kurikulum 2013 yang cukup
menguras tenaga para pendidik, guru sudah harus dihadapkan pada persiapan
kebijakan baru.
Akan sangat berbeda
ketika guru menggunakan buku dan tanpa buku. Jelas sangat berbeda penerapan e-sabak pada pendidikan dasar dengan
menengah. Secara psikologis dan perkembangan cara berpikir, anak SD/MI masih
menyukai permainan. Sedangkan peserta didik jenjang menengah sudah mampu
berpikir lebih lanjut.
Kemampuan anak dalam
mengoperasikan tablet juga menjadi tantangan tersendiri. Tidak semua anak mampu
mengoperasikan tablet dengan baik, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali.
Tidak hanya dari sudut pandang siswa, tidak semua guru juga mampu menggunakan
tablet. Pembelajaran dipastikan akan terganggu jika gurunya sendiri masih
kebingungan. Hal ini akan berbeda jika guru menggunakan buku.
Tanpa Buku
Terbayang sebuah
aktivitas sederhana ketika seorang guru mengatakan “Ayo anak-anak, kita baca
halaman 56”, sementara di depan kelas guru masih bingung dengan touchscreen tablet sebagai buku digital.
Terlebih lagi jika ada siswa yang bertanya tentang materi di suatu halaman
sedangkan gurunya sendiri kesulitan mengoperasikan tablet yang menjadi
pegangan.
Siswa yang memiliki
kemampuan teknologi atau IT melebihi gurunya ditakutkan akan menertawakan sang
guru yang terlihat bingung di depan kelas. Kesulitan menggunakan e-Sabak akan
menjadi alasan guru untuk tetap menggunakan buku sebagai acuan. Bukan berarti
guru tidak peduli pada perkembangan inivoasi dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan, tapi kondisi di lapangan hendaknya menjadi
pertimbangan lanjut sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan.
Seperti telah
diketahui tablet merupakan barang elektronik bergaransi yang setelah beberapa
saat garansi itu akan habis. “Rawan rusak” adalah bagian yang ditakutkan dari e-sabak. Apalagi bagi pengguna yang
belum mahir dan terbiasa menggunakan gadget. Barang elektronik memang banyak
mempermudah kegiatan manusia. Tapi teknologi juga bisa menyesatkan ketika tidak
dipergunakan sebagaimana mestinya. Bisa jadi ketika guru menggunakan e-sabak, perhatian guru terhadap tugas
utamanya. Guru lebih sibuk memainkan tablet dibandingkan memperhatikan
perkembangan peserta didiknya.
Buku memang bukan
satu-satunya sumber dan bahan ajar. Namun buku memiliki peran penting dalam
kegiatan pembelajaran. Seperti meskipun sudah ada banyak Buku Sekolah
Elektronik (BSE) yang siap diunduh dan dipergunakan sewaktu-waktu, sebagian
besar guru merasa lebih mantap menggunakan buku cetak karena dianggap lebih
mudah dan fleksibel. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah dengan cakupan
teknologi dan listrik terbatas. Padahal e-sabak
yang berbentuk tablet butuh selalu diisi baterai sebelum dipergunakan dalam
pembelajaran. Perlu diingat bahwa tidak semua sekolah memiliki kemampuan yang
sama. Kecuali jika pemerataan sarana prasarana serta infrastruktur tiap daerah
sudah sama. Kemungkinan penggunaan e-sabak
sangat mungkin terjadi.
Memperkeruh Suasana
Dengan adanya e-sabak, sebenarnya sangat “memperkeruh
suasana” pembelajaran di kelas. Media ini tidak terlalu “urgen”
diimplementasikan di sekolah karena banyak dampak negatifnya daripada
manfaatnya. Dengan buku cetak saja, pembelajaran belum bisa maksimal, apalagi
nanti menggunakan e-sabak yang justru
akan menimbulkan kesenjangan antara siswa dan guru.
Stigma negatif dan
terkesan “main-main” akan melekat pada guru yang menggunakan e-sabak di kelas. Bahkan, saat memegang
ponsel saja guru dinilai negatif oleh siswa, apalagi menggunakan gadget atau pun e-sabak.
Alat bantu e-sabak juga hanya bergantung pada
energi baterai, sedangkan buku cetak tidak demikian. Buku cetak tidak selamanya
buruk, semua bergantung gurunya dan bagaimana cara menyampaikan dan
membelajarkannya kepada siswa.
Dalam hal ini,
pemerintah perlu mengkaji ulang wacana tersebut. Pasalnya, e-sabak hanya salah satu wahana saja dalam proses pembelajaran.
Yang justru harus dibenahi adalah sistem, kurikulum dan kualitas gurunya. Mau
memakai e-sabak, laptop, buku cetak,
BSE, namun jika gurunya tidak berkualitas, justru sama saja dan akan
memperkeruh keadaan. Guru gaptek di sini bukan berarti tidak mau menerima e-sabak, namun justru harus mengutamakan
asas manfaat dan keefektifan media atau bahan ajar tersebut.
Seolah-olah,
pemerintah hanya mencari proyek yang dampaknya tidak terlalu signifikan bagi
pendidikan. Jika mau memajukan pendidikan, justru yang perlu dibenahi dan
diganti bukan bahan ajarnya, namun cara mendidiknya. Walaupun memakai e-sabak, namun cara guru mendidikan
masih “jadul”, kuno, dan otoriter, maka sama saja tidak membawa geliat positif.
Sebagus apa pun
bahan ajar dengan menggunakan e-sabak,
jika guru tidak pandai, cerdas, profesional dan revolusioner, maka sama saja
tidak memajukan pendidikan. Hanya guru revolusioner yang bisa memajukan
pendidikan. Media atau e-sabak hanya
salah satu faktor dalam menyukseskan pembelajaran. Sebab, yang utama adalah
guru, ya sampai kapan pun, maju dan mundurnya pendidikan ada di tangan guru,
buku di e-sabak.
0 comments:
Post a Comment