Oleh:
Muhammad Haizun Niam
Drama
pendidikan Indonesia kini tampak
“beken” di kalangan publik. Di tengah-tengah pergolakan politik yang kian
“membosankan”, pemerintah
kembali menampilkan polemik pendidikan yang cukup krusial. Pasalnya, di tengah masa “bulan madu” sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies
Baswedan memetamorfosa sistem penentu kelulusan yang semula beristilah Ujian Nasional (UN) menjadi EN (Evaluasi Nasional).
Sepak
terjang Mendikbud langsung menyedot perhatian publik, bahkan menuai banyak
perdebatan. Bagaimana tidak, setelah
dunia pendidikan cukup direpotkan oleh permasalahan kurikulum yang efeknya tidak
berujung. Kini, tiba gilirannya UN menambah repot dunia pendidikan. Pasalnya,
tidak hanya soal dan pelaksanaannya saja yang membuat resah. Namun, sistemnya
pun menambah persoalan baru di kalangan akademisi.
Perubahan UN menjadi EN tekesan dilematis. Pasalnya, pemberlakuan UN telah bergulir selama setengah abad silam. Sangat disayangkan apabila UN dihilangkan. Walaupun acapkali sistem tersebut mengalami pelbagai modifikasi, namun setidaknya UN merupakan sejarah panjang yang telah mewarnai lika-liku dunia pendidikan Indonesia. Perubahan ini diapologikan karena mulai terdistorsinya sistem UN dam menjalankan peran dan fungsinya.Anies Baswedan menyatakan bahwa fungsi atau peran UN dalam pendidikan adalah sebagai evaluasi pendidikan dan alat pemetaan kualitas pendidikan. Tapi, UN kini justru berbalik arah menjadi standar kelulusan dan peningkat mutu pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, Anies memetamorfosa UN menjadi EN untuk mengembalikan fungsi dan peran UN pada fitrahnya. Meskipun demikian,pemberlakuan EN pun tidak akan lepas dari bayang-bayang kegagalan. Oleh sebab itu, Mendikbud memberikan upaya lebih untuk membentengi kemungkinan buruk tersebut.
Upaya ini terlihat pada penerapan program komputerisasi pada soal-soal EN. Dalam menentukan kelulusan siswa tahun 2015, ujian tidak lagi menggunakan lembar soal dari kertas. Semua soal akan disampekan melalui monitor yang akan menjadi lawan para peserta ujian. Upaya ini dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran UN. Berdasarkan perkiraan Mendikbud, biaya pengeluaran UN bisa ditekan hingga 50%. Penurunan biaya pengeluaran ini setidaknya bisa dialihkan pada keperluan-keperluan pendidikan lainnya.
Polemik UN Online
Meskipun sistem EN terkesan solutif dalam menangani gejolak polemik UN, namun setidaknya perubahan ini menuai banyak kritik dan bahkan menimbulkan perdebatan di kalangan publik. Pasalnya, selain EN terkesan asing, melalui program-program yang dicanangkan pun menimbulkan pelbagai permasalahan baru bagi lingkungan akademisi.
Permasalahan pertama nampak jelas pada sistem komputering. Sistem ini bukanlah sebuah solusi yang efektif untuk menunjang keberhasilan UN. Pasalnya, sistem tersebut hanya potensial untuk diberlakukan pada sekolah-sekolah yang berada di wilayah melek teknologi. Sedangkan wilayah yang berada dalam pusaran arus “kebutaan” teknologi akan terabaikan.
Papua misalnya, rata-rata kaum akademis di wilayah Indonesia bagian timur ini masih belum melek teknologi. Bahkan, melihat komputer pun dikira sebagai sebuah telesisi yang tidak berantena. Apalagi jika harus menggunakan tipikal teknologi yang cukup rumit tersebut. Toh, kalaupun mengharuskan diadakannya pelatihan, apakah tidak memakan waktu yang lama?
Salain itu, pemerintah perlu memperkirakan apakah di daerah-daerah terpencil yang ada di Indonesia sudah memiliki komputer secara keseluruhan? Nampaknya upaya pemerintah akan terasa semakin sulit untuk mengadakan UN tahun ini. Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak dibereskan oleh pemerintah, maka tinggal menghitung jari pelaksanaan UN akan mengalami kegagalan.
Atau jika pemerintah membendung kemungkinan-kemungkinan itu dengan pemerataan teknologi—pemberian komputer pada setiap sekolah di setiap penjuru negeri—bukankah sama saja merogoh kocek yang lebih dalam lagi. Pasalnya jumlah instansi yang ada di Indonesia tidaklah sedikit. Jika setiap instansi diberikan 20 komputer saja, maka 1000 Instansi memerlukan 20.000 komputer. Bukankah memerlukan biaya yang mahal, belum lagi biaya pengiriman. Lalu, dengan keadaan yang seperti ini, pemerintah masih mengatakan bahwa biaya UN yang baru lebih muraah dibandingkan UN yang lama? Sungguh logika yang “sesat”.
Di sisi lain, Sistem UN yang baru akan membuka pintu penyelewengan menjadi kian lebar. Pasalnya, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menerangkan bahwa penentu kelulusan dipegang oleh guru dan satuan pendidikan (sekolah). Jika sistem UN 2015 menerapkan Undang-undang tersebut, maka kong kaling kong antara siswa, guru dan sekolah kian parah. Sebab, setiap guru dan sekolah menginginkan semua siswanya lulus, dan cara mudah untuk merealisasikannya adalah dengan praktik kong-kalingkong. Akibatnya, kualitas pendidikan akan terabaikan karena mereka lebih memilih “pengakuan pendidikan” melalui predikat lulus dibanding peningkatan mutu.
Tugas Pemerintah
Melihat metamorfosa UN yang ternyata menuai beberapa titik lemah, pemerentah perlu mencari formulasi untuk setidaknya menutup kelemahan sistem tersebut. Dalam masalah ini, pemerintah tidak sepatutnyamemberi titah kepada guru dan satuan pendidikan sebagai elemen penentu kelulusan secara mutlak dan free control. Pemerintah tetap dan harus melakukan control secara bijak dan akuntabel. Upaya ini dapat dilakukan dengan sedikit mengkalaborasikan sistem UN lama dengan yang baru. yakni membagi peran guru dan sekolah dengan pemerintah dalam menentukan kelulusan siswa. Upaya ini bertujuan untuk menepis kemungkinan terjadinya kong kaling kong diantara guru, sekolah dan siswa.
Selanjutnya, masalah pendistribusian soal yang memungkinkan terjadinya kesulitan akibat ketidakmerataan fasilitas (komputer), perlu diantisipasi. Pemerintah perlu melakukan pemerataan fasilitas sekolah di kawasan terpencil. Jika tidak, maka sistem yang dianggap solutif tersebut akan menuai kegagalan. Perlu diketahui, bahwa dalam pemerataan fasilitas tersebut membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, jika apologi pemerintah mengenai kehematan biaya sistem UN yang baru ini benar, maka biaya tersebut semestinya digunakan untuk pemerataan fasilitas (komputer) yang mendukung sestem tersebut.
Selain itu, pemerintah perlu malakukan pressing terhadap siswa maupun guru dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Pasalnya, UN atau yang sekarang dimetamorfosakan sebagai EN, bukanlah satu-satunya jalan untuk memartabatkan pendidikan Indonesia. Justru mlalui pembelajaran sehari-harilah peningkatkan kualitas pendidikan dapat dilakukan secara optimal. Dalam upaya ini, perlu adanya kerjasama yang apik antara siswa, guru dan pemerintah. Semoga pendidikan Indonesia dapat bergulir lebih baik! Wallahu a’lam.
- Penulis adalah Ketua Penulis Muda Bertalenta (PMB) Walisongo Semarang, Menteri Hukum di Monash Institute Semarang, Alumnus MA YSPIS Rembang.
0 comments:
Post a Comment