Oleh: Muhammad
Haizun Niam
Penulis adalah
Peneliti Muda di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN), Alumnus MA YSPIS
Rembang.
Moralitas pendidikan Indonesia kian
rantas. Pasalnya, kondisi pendidikan Indonesia kini kian mengenaskan. Beberapa
waktu lalu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Anies Baswedan menyatakan bahwa pendidikan di
Indonesia dalam kondisi darurat. Pernyataan tersebut berdasarkan data yang
diungkapkan oleh The Program for International
Student Assessment (PISA). Hasil penemuan
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari
65 negara.
Ironi tersebut berakar dari kondisi pendidikan Indonesia selama kurun
waktu 12 tahun terakhir mengalami stagnasi. Dalam hal ini, PISA menyebutkan
bahwa pada kisaran tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, pendidikan Indonesia
tidak menampilkan adanya peningkatan dalam pendidikan Indonesia. Keadaan ini
diperparah oleh merosotnya moralitas para peserta didik.
Sejauh ini, pendidikan Indonesia gagal dalam menciptakan nuansa
pendidikan yang dihiasi dengan moralitas. Berdasarkan
data yang dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang tahun 2013 tercatat Sebanyak 19
pelajar tewas sia-sia dalam tawuran antar pelajar di Indonesia. Melihat kondisi
ini, Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus tawuran yang
terjadi sepanjang 2013 meningkat secara drastis dari tahun sebelumnya yang
hanya sekitar 128 kasus tawuran. Ini baru salah satu contoh kasus saja, belum
kasus yang lain.
Jika dicermati
lebih dalam, maka akan kita jumpai kasus serupa yang lebih banyak lagi.
Terlebih di kurun waktu tahun 2014. Dari realitas ini, perlu rasanya
menyelipkan pendidikan moral dalam benak para pelajar Indonesia.
Pemahatan Karakter
Seorang tokoh
pergerakan Islam, Muhammad Abduh mengatakan “Manusia itu tidak akan
menjadi manusia yang hakiki, kecuali dengan pendidikan.” Maka dari itu,
setiap manusia harus membuka mata hati untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Termasuk bangsa Indonesia yang kini dilanda berbagai permasalahan pendidikan.
Namun, apa jadinya jika pendidikan hanya diartikan secara sempit. Yakni menganggap
bahwa pendidikan hanya terbatas pada pembelajaran ilmu-ilmu umum kemudian
mengabaikan pendidikan moral? Tentu sangat mengenaskan.
Sebagai bagian dari
negara timur—negara yang identik dengan moralitas—sudah selayaknya Indonesia
menempatkan moral sebagai penyeimbang intelektual. Sebab, kecerdasan seseorang
dapat menjadi bumerang apabila tidak dikendalikan dengan baik. Dalam masalah
ini, moral merupakan solusi untuk mengendalikan kecerdasan. Sebab, moralitas
bersumber dari nilai-nilai agama yang memang berfungsi sebagai pembimbing
kehidupan manusia. Lebih jauh Albert Einstein, mengatakan bahwa “ilmu tanpa
agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”.
Namun sungguh
ironi, idealitas yang seperti itu belum menghiasi perjalanan pendidikan
Indonesia. Moralitas telah lama terabaikan dalam pendidikan di bangsa timur
ini. Bahkan, moralitas telah terkubur secara dalam oleh pernak-pernik kehidupan
yang fana. Maka sangat wajar apabila dunia pendidikan di bangsa ini acapkali
dilanda masalah yang “memalukan” sekaligus “memilukan”.
Misalnya saja kasus
yang baru-baru ini menggegerkan dunia maya di berbagai media online. Yakni, tentang beberapa anak perempuan
berjilbab yang pesta miras dan merokok di dalam angkot, yang di bagian belakang
angle fotonya ada tulisan tauhid (Laa Ilaha Illallah). Tentu saja
tindakan yang seperti itu sangatlah memilukan sekaligus memalukan. Namun,
inilah realitas yang terjadi pada dunia pendidikan Indonesia.
Melihat realitas
buruk tersebut, perlu ada upaya keras untuk memperbaiki moralitas para peserta
didik. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara pemahatan karakter. Pemahatan
karakter sangatlah penting. Sebab, karakter dapat mempengaruhi keperibadian
seseorang. Dengan kata lain, karakter dapat menjadi tameng dari godaan
keburukan apabila tertanam secara kuat dan baik. Dalam hal ini, guru memiliki
peran vital untuk mamahat karakter peserta didik.
Sebagai seorang
pendidik, guru tidaklah sekadar sosok yang hanya bertanggung jawab untuk
mentransfer ilmu pengetahuan saja (transfer of knowledge). Di sisi lain
guru juga bertanggung jawab untuk mentransfer etika dan kepribadian (transfer
of personality). Jika hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, maka pribadi
liarlah yang akan terlahir. Sebab, pengetahuan yang dimiliki hanya akan menjadi
senjata untuk mempermudah berbuat buruk.
Butuh Pendidik
Terdidik
Menanggapi
tentang vitalnya peran guru dalam dunia pendidikan, John Hattie, dari Visible Learning Lab, University of
Auckland, New Zealand, mengatakan bahwa peran guru paling dominan dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan dalam suatu negara, dengan persentase sebesar
50%. Kemudian disusul dengan peran kurikulum dengan persentase sebesar
45%, dan pembelajaran sebesar 43%. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil review
dari 56.000 riset tentang perbaikan mutu pendidikan di tahun 2007.
Dari hasil
riset tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidik merupakan salah satu aktor
terpenting dalam upaya perbaikan pendidikan. Maka dari itu, apabila seseorang
telah berani memilih jalan hidup sebagai seorang guru, maka harus memiliki
kualitas yang ideal. Yakni setidaknya memiliki kecerdasan intelektual, yang
ditandai dengan pendidikan yang tinggi dan sepiritual. Jangan sampai gelar guru
hanyalah sebuah label belaka. Dalam masalah ini, pemerintah harus lebih
selektif dalam menentukan para pendidik hingga benar-benar memiliki kualitas
mumpuni. jangan sampai memilih pendidik yang salah.
Pemerintah juga harus
mampu menciptakan sistem pendidikan yang bergengsi, namun tetap beretika dan
berdikari. Jangan sampai mengolak-alik sistem pendidikan namun tidak memberikan
solusi yang efektif. Jika perlu, pemerintah harus menekankan mata pelajaran
yang bernilai religius. Sebab, selama bergulirnya perjalanan pendidikan di
bangsa ini, pemerintah hanya memprioritaskan knowledge belaka. Sedangkan
nilai-nilai religi dikesampingkan. Wallahu a’lamu bi al-Showab.
0 comments:
Post a Comment