Oleh Siti Ulfaati
“Apa yang terbangun dari teropinikan dalam ruang publik
kerap menjadi lukisan tunggal yang membuat banyak manusia tidak lagi mampu
melihat kenyataan dengan lebih baik, sehingga setiap kebenaran terlalu terlihat
serba dikotomik dan sepihak. Karena itu, sulit membedakan mana iblis dan mana
malaikat, terutama ketika keduanya sama-sama mengutip kitab suci”.
Bagi siapapun, kalimat yang ditulis Gordon dalam bukunya To
change the Way the World Learns tentu bukan hal yang cukup mengagetkan.
Informasi yang ada bukannya menjadi jelas melainkan sebaliknya menjadikan
realita semakin kabur. Apalagi bila informasi tersebut menyangkut agama. Saat
agama diberitakan telah mengalami kekaburan, orang yang mengabarkan hal
tersebut, akan disebut sebagai penyebar fitnah yang halal darahnya untuk
ditumpahkan.
Hal inilah yang terjadi pada kasus teror akhir- akhir ini.
Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi
internasional yang sangat menakutkan masyarakat dan telah memakan korban tanpa
pandang bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya
di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The
Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu
perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian.
Terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan
kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan
cara- cara intimidasi, menimbulkan ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan
terhadap penduduk atau warga negara tertentu. Berdasarkan pengertian itu,
terorisme bisa dilakukan siapa saja, dalam bentuk beragam dan demi motif yang
berbeda-beda.
Terorisme di Indonesia dipahami dengan peristiwa yang
terpenjara pada segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan
kelompok-kelompok militan garis kerasnya. Namun apakah terorisme selalu identik
dengan Islam, berjenggot, bom, dan semacamnya sebagaimana yang ada di benak
sebagian besar orang? Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan
mendayagunakan cara-cara luar biasa (extraordinary measure).
Para pelaku teror ini tidak pernah secara eksplisit
menyatakan motif di balik aksi mereka. Sehingga menjadikan pekerjaan pemerintah
relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah
pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut. Setiap aksi terorisme
disertai alasan kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan
nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu.
Sedikitnya ada dua alasan utama yang mendasari munculnya
aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi yang berwujud pada kebencian
terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang
menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Alasan kedua adalah ekonomi.
Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan
bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri
hidup.
Oleh mereka jihad dijadikan sebagai ideologi gerakan
radikalisme dan terorisme. Tujuan jihad di sini adalah menaklukkan semua
hambatan penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial
dan tradisi-tradisi asing. Mereka akan
melakukan jihad yang komprehensif, termasuk menggunakan kekerasan. Karena
kewajiban jihad disertai dengan imbalan “kesyahidan”.
Aksi bom bunuh diri merupakan alat komukasi yang efektif
untuk melawan musuh-musuh Islam akibat ketidakberdayaan umat Islam melawan
hegemoni Amerika Serikat dan Israel.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah benar Islam
mengajarkan yang demikian? Faktanya, terorisme tidak mungkin diajarkan oleh
agama. Meskipun banyak orang menduga bahwa idiologi teroris muncul dari paham
keagamaan yang bersangkutan. Akan tetapi analisis itu bisa segera digagalkan
karena justru banyak tokoh agama yang juga mengecam dan mengutuk para teroris
itu sendiri. Selain itu simbol dan aksesoris yang mereka pakai tidak cukup
membuktikan kalau mereka ahli agama.
Agama selalu mengajak kepada kebaikan, keselamatan,
kedamaian dan kelembutan. Agama, tidak terkecuali Islam menentang kekerasan,
apa saja yang merusak, dan apalagi hingga memusnahkan orang lain, adalah justru
dilarang. Islam sendiri mengatur agar dakwah dilakukan dengan bijak, dan tidak
ada paksaan dalam beragama.
Terorisme mesti dilepaskan dan ditelanjangi sehingga
terpisah dari agama. Terorisme adalah pengkhianatan kepada kecerdasan individu
yang menyergap individu dalam keterikatan kepentingan umum sehingga membuat
seseorang mengabdi kepada kepentingan kelompok tanpa pertanyaan.
Bila tujuan luhur semua agama menghendaki kedamaian dan
memiliki komitmen terhadap anti kekerasan, mengapa kekerasan atas agama kerap
terjadi? padahal agama mengajarkan nilai- nilai luhur dan agama juga
bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan dimuka bumi ini.
-Penulis adalah Ketua Badko HMI Jawa
Tengah-D.I.Yogyakarta, Mahasiswi Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.
0 comments:
Post a Comment