Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Friday, 27 February 2015

Menakar Ideologi Gerakan Sparatis Indonesia

Oleh Siti Ulfaati
“Apa yang terbangun dari teropinikan dalam ruang publik kerap menjadi lukisan tunggal yang membuat banyak manusia tidak lagi mampu melihat kenyataan dengan lebih baik, sehingga setiap kebenaran terlalu terlihat serba dikotomik dan sepihak. Karena itu, sulit membedakan mana iblis dan mana malaikat, terutama ketika keduanya sama-sama mengutip kitab suci”.

Bagi siapapun, kalimat yang ditulis Gordon dalam bukunya To change the Way the World Learns tentu bukan hal yang cukup mengagetkan. Informasi yang ada bukannya menjadi jelas melainkan sebaliknya menjadikan realita semakin kabur. Apalagi bila informasi tersebut menyangkut agama. Saat agama diberitakan telah mengalami kekaburan, orang yang mengabarkan hal tersebut, akan disebut sebagai penyebar fitnah yang halal darahnya untuk ditumpahkan. 

Hal inilah yang terjadi pada kasus teror akhir- akhir ini. Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan masyarakat dan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. 

Terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan cara- cara intimidasi, menimbulkan ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan terhadap penduduk atau warga negara tertentu. Berdasarkan pengertian itu, terorisme bisa dilakukan siapa saja, dalam bentuk beragam dan demi motif yang berbeda-beda. 

Terorisme di Indonesia dipahami dengan peristiwa yang terpenjara pada segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan kelompok-kelompok militan garis kerasnya. Namun apakah terorisme selalu identik dengan Islam, berjenggot, bom, dan semacamnya sebagaimana yang ada di benak sebagian besar orang? Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extraordinary measure).

Para pelaku teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Sehingga menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut. Setiap aksi terorisme disertai alasan kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu.

Sedikitnya ada dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi yang berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Alasan kedua adalah ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup. 

Oleh mereka jihad dijadikan sebagai ideologi gerakan radikalisme dan terorisme. Tujuan jihad di sini adalah menaklukkan semua hambatan penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial dan tradisi-tradisi asing. Mereka  akan melakukan jihad yang komprehensif, termasuk menggunakan kekerasan. Karena kewajiban jihad disertai dengan imbalan “kesyahidan”.
Aksi bom bunuh diri merupakan alat komukasi yang efektif untuk melawan musuh-musuh Islam akibat ketidakberdayaan umat Islam melawan hegemoni Amerika Serikat dan Israel.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah benar Islam mengajarkan yang demikian? Faktanya, terorisme tidak mungkin diajarkan oleh agama. Meskipun banyak orang menduga bahwa idiologi teroris muncul dari paham keagamaan yang bersangkutan. Akan tetapi analisis itu bisa segera digagalkan karena justru banyak tokoh agama yang juga mengecam dan mengutuk para teroris itu sendiri. Selain itu simbol dan aksesoris yang mereka pakai tidak cukup membuktikan kalau mereka ahli agama. 

Agama selalu mengajak kepada kebaikan, keselamatan, kedamaian dan kelembutan. Agama, tidak terkecuali Islam menentang kekerasan, apa saja yang merusak, dan apalagi hingga memusnahkan orang lain, adalah justru dilarang. Islam sendiri mengatur agar dakwah dilakukan dengan bijak, dan tidak ada paksaan dalam beragama.

Terorisme mesti dilepaskan dan ditelanjangi sehingga terpisah dari agama. Terorisme adalah pengkhianatan kepada kecerdasan individu yang menyergap individu dalam keterikatan kepentingan umum sehingga membuat seseorang mengabdi kepada kepentingan kelompok tanpa pertanyaan.
Bila tujuan luhur semua agama menghendaki kedamaian dan memiliki komitmen terhadap anti kekerasan, mengapa kekerasan atas agama kerap terjadi? padahal agama mengajarkan nilai- nilai luhur dan agama juga bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan dimuka bumi ini. 

-Penulis adalah Ketua Badko HMI Jawa Tengah-D.I.Yogyakarta, Mahasiswi Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Menakar Ideologi Gerakan Sparatis Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora