Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Tuesday, 24 February 2015

Kompensasi Jam Kerja Pegawai Perempuan



Oleh Dian Marta Wijayanti
Penulis adalah Ibu Rumah Tangga, Guru SDN Sampangan 01 UTPD Gajahmungkur, Semarang


Setujukah Anda dengan kompensasi jam kerja pegawai perempuan? Diakui atau tidak, perempuan yang statusnya bekerja saat ini sudah wajar. Tak hanya di kota, namun juga di desa-desa. Dengan kondisi seperi ini, otomatis peran dan tanggung jawab mereka sangat berat dan dobel.

Menurut Presiden Jusuf Kalla, memuliakan perempuan adalah gagasan positif sepanjang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Pemberian kompensasi 2 jam bagi masa kerja perempuan merupakan salah satu bentuk “memuliakan perempuan” agar tetap dapat menjalankan jenjang karier tanpa mengesampingkan perannya sebagai istri dan ibu.

Menjadi wanita karier adalah pilihan. Perkembangan dan kemajuan pendidikan membawa wanita pada posisi yang sama di hadapan publik. Pasalnya, bekerja bukan hanya tuntutan ekonomi. Namun, juga tuntutan hati atas pengetahuan yang dimiliki perempuan. Sebagai wadah implementasi ilmu, profesi yang digeluti merupakan ladang perempuan dalam memajukan negeri, salah satunya menjadi guru.

Kompensasi Bukan Diskriminasi
Kebijakan yang diwacanakan Wakil Presiden Republik Indonesia memunculkan sisi diskriminatif jika kompensasi jam kerja bagi perempuan diterapkan. Kebijakan ini ditakutkan menempatkan wanita pada posisi lemah karena tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan pekerja laki-laki. Logika tersebut harus diluruskan, sebagai manusia yang memiliki peran dan tanggung jawab “plus-plus”, perempuan harus dihargai dan diistimewakan.

Subyantoro (2014) menjelaskan manusia yang memiliki kekuatan plus-plus adalah perempuan. Ia bertugas tidak hanya bekerja, namun juga mendidik anak-anak, menanamkan moral dan bahasa ibu kepada anak. Artinya, perempuan yang bekerja, baik menjadi PNS atau swasta harus diistimewakan. Dalam rumah tangga saja, seharusnya hal itu dinilai bekerja, bukan sebaliknya. Di sini lah ada “ketidakadilan gender” yang disepelekan semua orang.

Seperti contoh, mencuci piring, pakaian, menyusui, hamil, itu dinilai tidak “menghasilkan uang”, kemudian perempuan dinggap biasa-biasa saja dan hal itu dinilai “tidak bekerja”. Padahal hal itu menjadi “pekerjaan mulia” dan tidak semuanya bisa dilakukan laki-laki. Jika Air Susu Ibu  (ASI) dirupiahkan, misalnya, maka tidak ada laki-laki yang bisa membelinya.

Jika ada perempuan yang mau bekerja yang di sisi lain ia juga menjadi ibu rumah tangga, sudah sangat wajar dan logis jika mereka perlu mendapat kompensasi. Hal itu harus dipahami sebagai bentuk “penghormatan” dan “pengistimewaan” kaum hawa.

Hakikat “diskriminasi” seharusnya tidak menjadi permasalahan dan alasan atas penolakan kebijakan kompensasi jam kerja. Pasalnya, “kompensasi” ini bukan bentuk “diskriminasi”, melain “pengistimewaan” perempuan. Hal itu adalah penghargaan bagi wanita yang memang memiliki peran ganda. Meskipun “bekerja” adalah “pilihan”, tapi menghargai niat baik wanita untuk memajukan bangsa harus didukung.

Pemberian kompensasi jam kerja bagi wanita sangat penting. Dari segi kemanusiaan, wanita dan laki-laki hidup berdampingan. Selama ini banyak pekerjaan yang jam kerjanya cukup menekan waktu perempuan. Bahkan banyak perempuan pekerja yang kesulitan membagi waktu untuk memberikan ASI eksklusif karena jam kerja yang tidak memungkinkan. Padahal ASI eksklusif sangat penting bagi perkembangan kesehatan bayi. Tidak hanya tentang pemberian ASI, anak juga membutuhkan perhatian dari ibu selama masa perkembangan.

Wacana pengurangan 2 jam kerja tidak diberikan bagi semua perempuan. Hanya perempuan yang memiliki anak sampai usia 6 tahun yang mendapatkan kompensasi tersebut. Hal itu tidak lain agar anak tidak kehilangan haknya.

Di Indonesia, kompensasi bagi perempuan sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003. Pada pasal 82, setiap pekerja berhak mendapat cuti 3 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Begitu pula untuk pemberian ASI juga dijamin dalam pasal 83 bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Kompensasi jam kerja bagi kaum menjadi “parameter” bangsa dalam menghargai dan mengistimewakan perempuan. Jika semakin menghargai, maka semakin maju pula tingkat pengetahuan bangsa tentang kemanusiaan dan “keadilan gender”.

Urgensi
Kompensasi pengurangan jam kerja memang belum bisa diberikan semua perusahaan dan lembaga. Banyak perusahaan/lembaga dengan berbagai faktor belum bisa memberikan hak perempuan secara penuh. Maka tidak jarang banyak ibu pekerja yang menitipkan anaknya di pengasuh maupun lembaga pendidikan anak.

Saat ini sudah banyak lembaga yang menyediakan jasa pengasuhan anak usia di bawah 3 bulan. Ada pula individu yang bersedia mengasuh bayi usia dini. Demi tuntutan ekonomi keluarga, mereka mau menjadi pengasuh bayi dari ibu pekerja. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat membantu ibu pekerja.

Namun sayang, banyak juga kasus-kasus kriminal yang terjadi. Karena pasangan suami istri harus bekerja dari siang sampai sore, kontrol terhadap sang bayi pun kurang. Hingga banyak pengasuh yang “menganiaya” anak majikan sampai meninggal.

Mengapa pengurangan jam kerja bagi perempuan urgen? Pertama, secara manusiawi dan fitrah, perempuan adalah makhluk spesial, istimewa, memiliki peran plus-plus, maka ketika mereka bekerja, harus mendapat hak yang spesial dan plus-plus pula.

Kedua, selama ini bentuk penghargaan bagi perempuan di dunia kerja belum berjalan maksimal. Seperti conton dalam hal cuti melahirkan bagi perempuan yang berstatus PNS maupun swasta.

Peraturan cuti untuk PNS diatur melalui Pasal 8 UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sedangkan untuk pekerja swasta diatur UU Ketenagakerjaan Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kedua regulasi itu hanya memberi waktu cuti 3 bulan, yaitu 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan Hal itu membuktikan pemerintah masih setengah hati menghargai perempuan dalam dunia kerja. Seharusnya, perempuan perlu mendapatkan hak cuti hamil dan melahirkan.

Ketiga, selama perempuan bekerja yang halal, legal dan di perusahaan berstatus hukum jelas, maka perlu menghargai hak-hak perempuan. Imam Soepomo (2008) menjelaskan kompensasi terhadap karyawan perempuan sangat penting dalam suatu pekerjaan ketika masih legal.

Keempat, pengurangan jam kerja sangat penting dalam berbagai hal. Mulai dari menegakkan keadilan gender, memuliakan perempuan, memberi kesempatan ibu merawat anak, juga memberikan jaminan keselamatan bagi perempuan yang memiliki anak.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama, seharusnya wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan ditindaklanjuti dan dilegalkan. Semakin tinggi penghargaan pemerintah terhadap perempuan, maka semakin tinggi pula prestasi dan tingkat peradaban dalam hal “keadilan gender".

Siti Haniatunisa (2013) menyatakan perempuan merupakan tiang negara yang harus dimuliakan. Jika perempuan di suatu negara baik, maka bangsa itu baik, begitu pula sebaliknya. Yang perlu ditegaskan, bukankah perempuan adalah tiang negara? Lalu apakah Indonesia tetap tidak akan melegalkan  wacana kebijakan pengurangan jam kerja bagi perempuan?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Kompensasi Jam Kerja Pegawai Perempuan Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora