Oleh Dian Marta Wijayanti
Penulis adalah Ibu Rumah Tangga, Guru SDN Sampangan 01 UTPD Gajahmungkur, Semarang
Setujukah Anda dengan kompensasi jam kerja pegawai perempuan? Diakui atau tidak,
perempuan yang statusnya bekerja saat
ini sudah wajar. Tak hanya di kota, namun juga di
desa-desa. Dengan kondisi seperi ini, otomatis peran dan tanggung jawab mereka sangat
berat dan dobel.
Menurut Presiden Jusuf Kalla, memuliakan perempuan
adalah gagasan positif sepanjang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan.
Pemberian kompensasi 2 jam bagi masa kerja perempuan merupakan salah satu
bentuk “memuliakan perempuan” agar tetap dapat menjalankan jenjang karier tanpa
mengesampingkan perannya sebagai istri dan ibu.
Menjadi wanita karier adalah pilihan. Perkembangan dan
kemajuan pendidikan membawa wanita pada posisi yang sama di hadapan publik.
Pasalnya, bekerja bukan hanya tuntutan ekonomi. Namun, juga tuntutan hati atas
pengetahuan yang dimiliki perempuan. Sebagai wadah implementasi ilmu, profesi
yang digeluti merupakan ladang perempuan dalam memajukan negeri, salah satunya
menjadi guru.
Kompensasi Bukan Diskriminasi
Kebijakan yang diwacanakan Wakil Presiden Republik
Indonesia memunculkan sisi diskriminatif jika kompensasi jam kerja bagi
perempuan diterapkan. Kebijakan ini ditakutkan menempatkan wanita pada posisi
lemah karena tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan pekerja laki-laki.
Logika tersebut harus diluruskan, sebagai manusia yang memiliki peran dan
tanggung jawab “plus-plus”, perempuan harus dihargai dan diistimewakan.
Subyantoro (2014) menjelaskan manusia yang memiliki
kekuatan plus-plus adalah perempuan. Ia bertugas tidak hanya bekerja, namun
juga mendidik anak-anak, menanamkan moral dan bahasa ibu kepada anak. Artinya,
perempuan yang bekerja, baik menjadi PNS atau swasta harus diistimewakan. Dalam
rumah tangga saja, seharusnya hal itu dinilai bekerja, bukan sebaliknya. Di
sini lah ada “ketidakadilan gender” yang disepelekan semua orang.
Seperti contoh, mencuci piring, pakaian, menyusui,
hamil, itu dinilai tidak “menghasilkan uang”, kemudian perempuan dinggap
biasa-biasa saja dan hal itu dinilai “tidak bekerja”. Padahal hal itu menjadi
“pekerjaan mulia” dan tidak semuanya bisa dilakukan laki-laki. Jika Air Susu
Ibu (ASI) dirupiahkan, misalnya, maka
tidak ada laki-laki yang bisa membelinya.
Jika ada perempuan yang mau bekerja yang di sisi lain
ia juga menjadi ibu rumah tangga, sudah sangat wajar dan logis jika mereka
perlu mendapat kompensasi. Hal itu harus dipahami sebagai bentuk “penghormatan”
dan “pengistimewaan” kaum hawa.
Hakikat “diskriminasi” seharusnya tidak menjadi
permasalahan dan alasan atas penolakan kebijakan kompensasi jam kerja.
Pasalnya, “kompensasi” ini bukan bentuk “diskriminasi”, melain “pengistimewaan”
perempuan. Hal itu adalah penghargaan bagi wanita yang memang memiliki peran
ganda. Meskipun “bekerja” adalah “pilihan”, tapi menghargai niat baik wanita
untuk memajukan bangsa harus didukung.
Pemberian kompensasi jam kerja bagi wanita sangat
penting. Dari segi kemanusiaan, wanita dan laki-laki hidup berdampingan. Selama
ini banyak pekerjaan yang jam kerjanya cukup menekan waktu perempuan. Bahkan banyak
perempuan pekerja yang kesulitan membagi waktu untuk memberikan ASI eksklusif
karena jam kerja yang tidak memungkinkan. Padahal ASI eksklusif sangat penting
bagi perkembangan kesehatan bayi. Tidak hanya tentang pemberian ASI, anak juga
membutuhkan perhatian dari ibu selama masa perkembangan.
Wacana pengurangan 2 jam kerja tidak diberikan bagi
semua perempuan. Hanya perempuan yang memiliki anak sampai usia 6 tahun yang
mendapatkan kompensasi tersebut. Hal itu tidak lain agar anak tidak kehilangan
haknya.
Di Indonesia, kompensasi bagi perempuan sudah diatur
dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003. Pada pasal 82, setiap pekerja berhak
mendapat cuti 3 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Begitu pula untuk
pemberian ASI juga dijamin dalam pasal 83 bahwa pekerja/buruh perempuan yang
anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya
jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Kompensasi jam kerja bagi kaum menjadi “parameter”
bangsa dalam menghargai dan mengistimewakan perempuan. Jika semakin menghargai,
maka semakin maju pula tingkat pengetahuan bangsa tentang kemanusiaan dan
“keadilan gender”.
Urgensi
Kompensasi pengurangan jam kerja memang belum bisa
diberikan semua perusahaan dan lembaga. Banyak perusahaan/lembaga dengan
berbagai faktor belum bisa memberikan hak perempuan secara penuh. Maka tidak
jarang banyak ibu pekerja yang menitipkan anaknya di pengasuh maupun lembaga
pendidikan anak.
Saat ini sudah banyak lembaga yang menyediakan jasa
pengasuhan anak usia di bawah 3 bulan. Ada pula individu yang bersedia mengasuh
bayi usia dini. Demi tuntutan ekonomi keluarga, mereka mau menjadi pengasuh
bayi dari ibu pekerja. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat membantu ibu
pekerja.
Namun sayang, banyak juga kasus-kasus kriminal yang
terjadi. Karena pasangan suami istri harus bekerja dari siang sampai sore,
kontrol terhadap sang bayi pun kurang. Hingga banyak pengasuh yang “menganiaya”
anak majikan sampai meninggal.
Mengapa pengurangan jam kerja bagi perempuan urgen?
Pertama, secara manusiawi dan fitrah, perempuan adalah makhluk spesial,
istimewa, memiliki peran plus-plus, maka ketika mereka bekerja, harus mendapat
hak yang spesial dan plus-plus pula.
Kedua, selama ini bentuk penghargaan bagi perempuan di
dunia kerja belum berjalan maksimal. Seperti conton dalam hal cuti melahirkan
bagi perempuan yang berstatus PNS maupun swasta.
Ketiga, selama perempuan bekerja yang halal, legal dan
di perusahaan berstatus hukum jelas, maka perlu menghargai hak-hak perempuan.
Imam Soepomo (2008) menjelaskan kompensasi terhadap karyawan perempuan sangat
penting dalam suatu pekerjaan ketika masih legal.
Keempat, pengurangan jam kerja sangat penting dalam
berbagai hal. Mulai dari menegakkan keadilan gender, memuliakan perempuan,
memberi kesempatan ibu merawat anak, juga memberikan jaminan keselamatan bagi
perempuan yang memiliki anak.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama,
seharusnya wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan ditindaklanjuti dan
dilegalkan. Semakin tinggi penghargaan pemerintah terhadap perempuan, maka
semakin tinggi pula prestasi dan tingkat peradaban dalam hal “keadilan gender".
Siti Haniatunisa (2013) menyatakan perempuan merupakan
tiang negara yang harus dimuliakan. Jika perempuan di suatu negara baik, maka
bangsa itu baik, begitu pula sebaliknya. Yang perlu ditegaskan, bukankah
perempuan adalah tiang negara? Lalu apakah Indonesia tetap tidak akan
melegalkan wacana kebijakan pengurangan
jam kerja bagi perempuan?
0 comments:
Post a Comment