Oleh Hamidulloh Ibda
Mahasiswa S2 Pendidikan Dasar (Dikdas) Pascasarjana Unnes
Menarik membaca berita berjudul “Dosen Tak Berhak Mempersulit Mahasiswa”
yang menjelaskan bahwa dosen tak boleh melenceng dari tugasnya (SM, 30/1/2015).
Hal itu diungkapkan Rektor Undip Prof Sudharto PH MES PhD dalam acara wisuda
mahasiswa Undip ke-137 tak lama ini. Tak hanya bagi Undip, namun pesan ini
sebenarnya menjadi peringatan dan refleksi bagi kampus-kampus di Jawa Tengah,
terutama bagi dosen-dosen yang membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tesis
maupun disertasi.
Selama ini, kegalauan mahasiswa dalam dunia akademik adalah saat menyusun
tugas akhir. Tak hanya karena malas mengerjakan, ketidakmampuan menulis,
meneliti, menalisis, mengomentari data, namun kendala bimbingan dosen juga
menjadi keluhan mereka. Sebab, sebagus apa pun hasil penelitian/tulisan
mahasiswa, tanpa asese dari dosen pembimbing, maka karya tidak akan laku,
diakui dan lolos untuk diujikan.
Puncak kegalauan tertinggi mahasiswa adalah ketika menulis tugas akhir.
Akibat dipersulit dosen, maka lahir kejahatan akademik, seperti plagiasi, menggunakan
jasa analisis data bahkan membeli skripsi maupun tesis. Kadang, banyak dosen
“apatis” dengan kondisi tersebut. Apalagi saat ini sudah banyak joki skripsi
merebak di dunia akademik. Di Semarang sendiri, banyak spanduk dan pamflet jasa
skripsi bertebaran di mana-mana bahkan masuk di papan-papan pengumuman kampus.
Ironis.
Dosen Killer
Dalam dunia mahasiswa, istilah dosen killer (pembunuh) sudah
biasa terdengar. Ia diidentikkan sebagai dosen galak, kejam, tak belas kasih,
pelit nilai, susah diajak berkomunikasi dan konsultasi, susah dicari, bahkan tak
menyayangi mahasiswa. Padahal mahasiswa adalah “anak ideologis” dari dosen.
Paradigma seperti ini masih jarang dimengerti para dosen di negeri ini. Mereka
hanya mengajar dan yang penting menjalankan tugas akademiknya secara formalistik
simbolis saja.
Sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (UUGD), dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Faktanya, masih banyak mahasiswa mengeluh karena dosen pembimbingnya
tidak sesuai tugas, fungsi dan kewajiban.
Rhenald Kasali (2014) menjelaskan dosen adalah posisi istimewa yang
tidak semua orang bisa menempati posisi tersebut. Karena istimewa, kinerja dan
tugas yang dosen jalankan harus istimewa pula. Dosen dilarang keras killer
terhadap mahasiswanya, baik saat di kelas maupun saat membimbing tugas akhir.
Selain itu, banyak pula dosen dalam proses bimbingan hanya menyuruh
meninggalkan skripsi mahasiwa di meja dosen tanpa tatap muka. Hal itu membuat
substansi bimbingan menjadi bias dan tak maksimal. Sebab, ketika mahasiswa mau
merevisi karyanya tersebut, mahasiswa tidak tahu alasan kesalahan. Juga
bagaimana cara merevisi, baik dari segi teknis penulisan maupun substansi
materi penelitian.
Kampus sudah memberi buku pedoman pokok penyusunan tugas akhir. Banyak
dosen pembimbing bergeser dari aturan baku tersebut. Selain itu, pembagian
tugas antara pembimbing 1 dan pembimbing 2 juga kadang bergeser. Misalnya,
pembimbing 1 bertugas membimbing dalam bidang metodologi penelitian dan
pembimbing 2 di bidang materi dan teknis penulisan. Di antara mereka, sering
berseberangan dan membuat mahasiswa bingung meskipun dipatronkan pada
pembimbing 1.
Kejadian seperti di atas, sudah menjadi hal wajar terjadi di kampus.
Selain mematahkan semangat mahasiswa, banyak timbul kejahatan akademik yang dilakukan
mahasiswa agar skripsinya cepat selesai. Meskipun tampak bagus, banyak skripsi
hasil dari plagiasi, setengah menjiplak bahkan skripsi bongkokan atau
hasil membeli. Kejahatan seperti ini harus dihentikan, para dosen harus mampu
menangkap pesan ini bahwa banyak mahasiswa melakukan perbuatan nekat karena
sulitnya proses bimbingan.
Jika dosen killer, maka sangat wajar jika ada mahasiswa
terkatung-katung lulus sampai semester akhir bahkan sampai drop uot.
Faktor kesibukan dosen juga menjadi kendala mahasiswa, apalagi mereka mendapat
dosen pembimbing yang memiliki jabatan seperti kaprodi, dekan maupun yang lain.
Sehingga, intensitas bimbingan menjadi minim dan justru merugikan mahasiswa dan
mengurangi kualitas karya.
Mahasiswa pun harus berbenah diri dan “melawan malas”. Sebab, musuh
utama menyusun karya tulis adalah malas. Tanpa semangat membara, meskipun
dosennya ideal, maka karya pun akan mangkrak dan setengah matang.
Banyak dosen berkata, “skripsi yang baik adalah yang selesai”. Namun
pameo ini harus diluruskan. Artinya, selesai tidak sekadar selesai, namun karya
ilmiah harus berkualitas, cepat dan hasil penelitian bermanfaat dalam dunia
ilmiah dan kehidupan nyata sesuai bidang yang diteliti. Sebab, apa ada karya
ilmiah yang tidak ilmiah?
Kemesraan Akademik
Pesan Rektor Undip di atas sangat brilian, yaitu di antara dosen dan
mahasiswa harus sinergi dan saling asuh. Dalam hal ini, kemesraan akademik
perlu dibangun dan dinyalakan sejak dini. Dosen adalah bapak dan ibu ideologis
bagi mahasiswa. Meskipun tidak pernah melahirkan dan menjadi orang tua biologis,
namun tugas akademik harus menjadikan mahasiswa “mesra” dan terjalin sinergitas
kekeluargaan di dunia kampus.
Sesuai UUGD, dosen memiliki kewajiban bertindak objektif dan tidak
diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi
fisik tertentu, atau latar belakang sosioal ekonomi mahasiswa dalam
pembelajaran, termasuk dalam membimbing tugas akhir. Maka, dosen harus menjalankan
tugasnya secara profesional dan objektif.
Meskipun kampus adalah tempat akademik, namun atmosfer kekeluargaan dan
harmoni cinta harus diutamakan. Bimbingan tidak sekadar formalitas membahas
benar dan salahnya karya ilmiah, namun juga menjalin kemesraan akademik. Sebab,
kenyamanan dalam dunia akademik akan melahirkan “kemapanan” mahasiswa dalam
menguasai ilmu sesuai bidangnya. Apalagi, prinsip belajar menurut Suparmin
Dandan (2014) bukan meraup ilmu sebanyaknya, melainkan menata cara berpikir dan
mengubah perilaku.
Dosen juga harus mendeteksi tulisan mahasiswa saat bimbingan. Artinya,
yang dikoreksi tidak hanya benar dan salahnya metode penelitian dan subtansi,
namun juga plagiasi atau tidak. Rujukan karya tersebut harus jelas dan jangan
sampai dosen meloloskan karya tulis hasil copy paste.
Dosen baik adalah yang menciptakan kegembiraan bagi mahasiswanya. Ia
telaten, sabar dan membimbing dengan hati meskipun berhadapan dengan mahasiswa
pemalas dan bodoh sekalipun. Sebab, tanpa bimbingan dan arahan dosen, mahasiswa
akan tersesat di jalan kegelapan dan dibuntu kekerdilan tanpa pencerahan dari
dosen. Apalagi, dosen adalah mercusuar penerang di dalam jagat akademik. Tanpa
dosen, mahasiswa akan tersesat di lembah kebodohan.
Dosen dan mahasiswa bagaikan keluarga, kampus adalah rumah ilmu yang
harus dihidupkan dan melahirkan kenyamanan dan kemapanan bernalar. Perlu ditanamkan
paradigma “kampusku surgaku” bagi dosen dan mahasiswa. Semua itu akan tercipta
jika semua elemen kampus, termasuk dosen dan mahasiswa mesra. Jika tidak bisa mesra
dan menjadi surga, apa layak disebut kampus?
0 comments:
Post a Comment