Oleh Setyaningsih
Penulis adalah Santri Bilik Literasi Solo
Catatan sang aktivis
Pada tanggal 15 Desember 2014, aku mendapati kabar sedih lewat pesan pendek di ponsel. Aku kaget dan terdiam. Seseorang yang kukenal beberapa tahun lalu meninggal karena kecelakaan. Aku telah menganggap dia sebagai adik laki-laki yang baik hati. Aku mengenalnya lewat organisasi pergerakan dan organisasi dalam kampus. Aku dan dia mulai sering mengobrol dan bertukar pesan saat dia terpilih menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Keinginan mencalonkan diri memang bukan keinginan sepenuhnya. Barangkali, dia mesti “mengabdi” pada organisasi yang mengusungnya.
Beban hidup menjadi ketua mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Aku tahu dia bersemangat, rajin, dan ingin melakukan banyak hal lewat HMJ. Dia dan aku sering bertemu, sengaja atau tidak sengaja, di taman di samping rektorat kampus. Dia ingin membuat banyak agenda berfaedah, tidak hanya asal menjadi ketua. Aku merasa, terkadang dia tampak tegang dan tiba-tiba harus menjadi sangat berani. Hanya, dia seperti tidak memiliki teman yang mampu memberi cerita, ide-ide aneh, dan perhatian. Sampai akhirnya, aku mengundurkan diri secara terhormat dari organisasi pergerakan. Aku meninggalkan adikku di sana!
Pergerakan mahasiswa memang masa lalu. Aku sering malu saat mengingat masa-masa berdiskusi berat, berseragam, demonstrasi di jalanan, menyanyikan lagu wajib, mengangkat tangan yang terkepal, atau mengikuti agenda besar di beberapa daerah. Dulu, loyalitas adalah modal besar untuk bisa diakui di dalam organisasi. Gemboran berpikir kritis, tidak pragmatis, dan logis sering mendatangkan fanatisme. Kini, aku anggap semua organisasi pergerakan adalah agenda foto dan main bersama dengan agenda sampingan membela rakyat.
Dimana rakyat? Mereka tentu lebih sering berpikir pemerintah daripada rakyat. Organisasi pergerakan masa kini tentu tidak berani turun ke desa-desa. Mahasiswa turun ke desa hanya pada saat KKN. Itupun mereka sering wira-wiri bergaya pakai jas almamater. Hidup di desa bukan untuk melayani masyarakat, tapi lebih sering dilayani masyarakat. Duh, busyet! Mereka masih tetap ingin dipuja sebagai mahasiswa pembawa perubahan.
Apakah aku menyesal ikut pergerakan? Aku sering menganggap masa beroganisasi adalah masa-masa ganjil nan konyol. Namun, melewati masa itu juga menjadi bekal untuk tahu kondisi mahasiswa mutakhir. Mengerti baju identitas yang dipakai oleh mahasiswa pergerakan menjadi jalan membaca zaman. Aku mesti mengingat Soe Hok Gie lagi yang mesti sering kukutip hidupnya dalam lembar-lembar tulisan. Aku semakin sulit menemukan aktivis yang menulis sebagai dokumentasi. Aktivis masa kini menulis hanya demi LPJ (Laporan Pertangungjawaban), itu pun bentuk laporan bergerombol, bukan personal seperti catatan harian. Dalam kongres, mereka tidak mengundang rakyat untuk menilai kerja mereka selama menjabat. Pihak paling berhak menilai adalah kaum sesama aktivis.
Betapa aku harus menyindir dan sinis saat mendapati seorang aktivis dari sebuah kampus Muhammadiyah di Solo. Beberapa aktivis tengah mengikuti sinau bareng di Bilik Literasi pada tanggal 5-7 Desember 2014. Pada saat obrolan puisi sekaligus menulis puisi, aktivis itu menulis puisi tentang sepeda motornya yang mewah. Aktivis masa kini lebih suka memuja sepeda motor, tempat nongkrong, ponsel bagus yang sering dibawa untuk demonstrasi untuk membela rakyat. Dia sungguh tidak malu dengan kegoblogkannya.
Aku pun merasa pertemanan ala organisatoris sering menjadi pertemanan sementara dan bermakna politis. Pertemanan ini terlembaga dan terikat oleh AD-ART organisasi. Tidak mengherankan ketika seseorang keluar dari organisasi, relasi pertemanan itu semakin kuat terputus. Pertemanan telah ditetapkan batasnya. Namun, aku merasa batasan ini tidak berlaku untuk aku dan adikku yang manis. Terkadang, aku malah meminta dia untuk sejenak keluar dari garis organisasi. Bertindak sebagai “manusia biasa” saja.
Aku telah pensiun dari organisasi, tapi tidak berhenti membaca buku mahasiswa dan hidup berorganisasi dari masa ke masa. Membaca adalah jalan mengerti situasi dan kondisi. Aku pun tidak ingin membaca buku saat menjadi aktivis saja (pun jika aktivis memang sadar membaca).
Selamat jalan, …!
Penulis adalah Santri Bilik Literasi Solo
Catatan sang aktivis
Pada tanggal 15 Desember 2014, aku mendapati kabar sedih lewat pesan pendek di ponsel. Aku kaget dan terdiam. Seseorang yang kukenal beberapa tahun lalu meninggal karena kecelakaan. Aku telah menganggap dia sebagai adik laki-laki yang baik hati. Aku mengenalnya lewat organisasi pergerakan dan organisasi dalam kampus. Aku dan dia mulai sering mengobrol dan bertukar pesan saat dia terpilih menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Keinginan mencalonkan diri memang bukan keinginan sepenuhnya. Barangkali, dia mesti “mengabdi” pada organisasi yang mengusungnya.
Beban hidup menjadi ketua mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Aku tahu dia bersemangat, rajin, dan ingin melakukan banyak hal lewat HMJ. Dia dan aku sering bertemu, sengaja atau tidak sengaja, di taman di samping rektorat kampus. Dia ingin membuat banyak agenda berfaedah, tidak hanya asal menjadi ketua. Aku merasa, terkadang dia tampak tegang dan tiba-tiba harus menjadi sangat berani. Hanya, dia seperti tidak memiliki teman yang mampu memberi cerita, ide-ide aneh, dan perhatian. Sampai akhirnya, aku mengundurkan diri secara terhormat dari organisasi pergerakan. Aku meninggalkan adikku di sana!
Pergerakan mahasiswa memang masa lalu. Aku sering malu saat mengingat masa-masa berdiskusi berat, berseragam, demonstrasi di jalanan, menyanyikan lagu wajib, mengangkat tangan yang terkepal, atau mengikuti agenda besar di beberapa daerah. Dulu, loyalitas adalah modal besar untuk bisa diakui di dalam organisasi. Gemboran berpikir kritis, tidak pragmatis, dan logis sering mendatangkan fanatisme. Kini, aku anggap semua organisasi pergerakan adalah agenda foto dan main bersama dengan agenda sampingan membela rakyat.
Dimana rakyat? Mereka tentu lebih sering berpikir pemerintah daripada rakyat. Organisasi pergerakan masa kini tentu tidak berani turun ke desa-desa. Mahasiswa turun ke desa hanya pada saat KKN. Itupun mereka sering wira-wiri bergaya pakai jas almamater. Hidup di desa bukan untuk melayani masyarakat, tapi lebih sering dilayani masyarakat. Duh, busyet! Mereka masih tetap ingin dipuja sebagai mahasiswa pembawa perubahan.
Apakah aku menyesal ikut pergerakan? Aku sering menganggap masa beroganisasi adalah masa-masa ganjil nan konyol. Namun, melewati masa itu juga menjadi bekal untuk tahu kondisi mahasiswa mutakhir. Mengerti baju identitas yang dipakai oleh mahasiswa pergerakan menjadi jalan membaca zaman. Aku mesti mengingat Soe Hok Gie lagi yang mesti sering kukutip hidupnya dalam lembar-lembar tulisan. Aku semakin sulit menemukan aktivis yang menulis sebagai dokumentasi. Aktivis masa kini menulis hanya demi LPJ (Laporan Pertangungjawaban), itu pun bentuk laporan bergerombol, bukan personal seperti catatan harian. Dalam kongres, mereka tidak mengundang rakyat untuk menilai kerja mereka selama menjabat. Pihak paling berhak menilai adalah kaum sesama aktivis.
Betapa aku harus menyindir dan sinis saat mendapati seorang aktivis dari sebuah kampus Muhammadiyah di Solo. Beberapa aktivis tengah mengikuti sinau bareng di Bilik Literasi pada tanggal 5-7 Desember 2014. Pada saat obrolan puisi sekaligus menulis puisi, aktivis itu menulis puisi tentang sepeda motornya yang mewah. Aktivis masa kini lebih suka memuja sepeda motor, tempat nongkrong, ponsel bagus yang sering dibawa untuk demonstrasi untuk membela rakyat. Dia sungguh tidak malu dengan kegoblogkannya.
Aku pun merasa pertemanan ala organisatoris sering menjadi pertemanan sementara dan bermakna politis. Pertemanan ini terlembaga dan terikat oleh AD-ART organisasi. Tidak mengherankan ketika seseorang keluar dari organisasi, relasi pertemanan itu semakin kuat terputus. Pertemanan telah ditetapkan batasnya. Namun, aku merasa batasan ini tidak berlaku untuk aku dan adikku yang manis. Terkadang, aku malah meminta dia untuk sejenak keluar dari garis organisasi. Bertindak sebagai “manusia biasa” saja.
Aku telah pensiun dari organisasi, tapi tidak berhenti membaca buku mahasiswa dan hidup berorganisasi dari masa ke masa. Membaca adalah jalan mengerti situasi dan kondisi. Aku pun tidak ingin membaca buku saat menjadi aktivis saja (pun jika aktivis memang sadar membaca).
Selamat jalan, …!
0 comments:
Post a Comment