Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah Warga Blora
Saatnya guru di Blora meneliti dan menulis buku. Menggelorakan
tulis-menulis adalah wajib. Saat ini, kualitas buku tidak dilihat dari tebal
atau tipisnya, namun lebih kepada ketajaman serta tingkat keilmiahannya. Banyak
buku tebal, namun terlalu teoretis, substansinya bias karena sama dengan bab
sebelumnya.
Selain menjelaskan tentang syarat kenaikan pangkat guru PNS, kita perlu
menjelaskan jenis-jenis penelitian yang tidak hanya berhenti di Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Namun artikel yang ada selama ini belum secara rinci dan
detail menjelaskan dan memprovokasi guru untuk meneliti dan menulis buku.
Banyak artikel-artikel di media massa yang terlalu kabur substansinya.
Sesuai Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005, tugas guru
sangat berbeda dengan dosen. Jika dosen dituntut melakukan aksi nyata terhadap
implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian
masyarakat), namun guru tidak seberat itu. Lantas, apakah guru tidak mau
meneliti dan menulis? Tentu tidak. Guru yang pola pikirnya di zona nyaman
bukanlah ciri guru revolusioner. Apalagi, sejak diterapkannya Peraturan Menteri
PAN dan BR Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
guru diharuskan meneliti dan menulis.
Keniscayaan guru menulis dan meneliti juga tertera dalam Permendikbud
RI No. 4 Tahun 2014 tentang Penyesuaian Penetapan Angka Kredit Guru PNS dan
Guru Bukan PNS. Substansi Permendikbud itu mewajibkan guru meningkatkan angkra
kredit dan prestasinya. Prestasi itu, mustahil didapatkan tanpa meneliti dan
menulis, bukan sekadar menjalankan tugas mendidik di sekolah saja. Guru yang
mendidik itu biasa, namun yang rajin menulis dan meneliti itu guru luar biasa.
Pola Pikir Praktisi
Saat menjadi mahasiswa, mereka kritis. Namun ketika menjadi guru,
rata-rata pola pikir mereka aman di zona nyaman. Ya, menurut Ida Zulaeha (2014)
pola pikir guru saat ini lebih dominan menerapkan “pola pikir praktisi” yang
malas berpikir, mengritisi, meneliti apalagi menulis buku. Padahal secara
praktik, guru lebih paham detail masalah di lapangan. Seperti contoh penerapan
kurikulum 2013 (K13) yang di dalamnya masih banyak kesalahan fatal, baik itu
standar isi, kesesuaian KD dengan indikator di buku tematik dan sebagainya.
Faktanya, sangat sedikit guru yang kritis dan mau menelanjangi K13 tersebut
lewat artikel ilmiah atau penelitian.
Jika sudah berpola pikir praktisi, maka akan timbul budaya malas dan
stagnasi sifat ilmuwan dan jiwa kritis guru. Ya, pola pikir guru seharusnya tidak
sekadar praktisi, namun mereka harus melakukan kerja ilmuwan dengan maksimal.
Selama ini, idiom “ilmuwan” hanya melekat pada dosen saja. Padahal menurut Indrawan
WS (2000: 218) semua orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu
ilmu dan berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan itu ilmuwan. Guru, selama ini
berarti ilmuwan yang pola pikirnya praktisi.
Mereka praktis tidak mau melakukan kerja ilmuwan yang agak susah,
seperti meneliti dan menulis buku, jurnal, artikel di media massa dan
sebagainya. Hal itu terbukti dengan banyak ditolaknya jurnal ilmiah para guru
oleh LPMP Jawa Tengah tak lama ini. Selain alasan kevalidan buku tentang international
standard book number (ISBN) yang telah disebutkan Joko Subroto, pemilihan tema,
topik penelitian dan artikel ilmiah plagiasi juga menjadi dasar penolakan
tersebut.
Alasan gelar sarjana juga menjadi “kendala” bagi guru untuk meneliti
dan menulis. Mengapa? Mereka minder dengan guru atau dosen yang sudah bergelar
magister dan doktor. Padahal, menulis dan meneliti bukan masalah gelar, namun
masalah kemauan, kemampuan dan kenekatan. Ya, jika guru mau meneliti dan
menulis harus nekat dan membuang jauh mental praktisi yang nyaman di zona aman.
Guru Peneliti dan Penulis
Meneliti dan menulis adalah tugas wajib guru. Namun dua hal itu tidak
mudah, karena membutuhkan modal ilmu, pisau analisis ilmiah yang tajam, mutakhir,
berdasarkan ilmu pengetahuan dan juga koneksi penerbit. Untuk menjadi guru
peneliti dan penulis syaratnya sangat murah dan mudah. Resepnya hanya dua,
yaitu kemauan dan kemampuan.
Peneliti dan penulis sebenarnya berbeda, namun intinya sama-sama
mengembangkan kualitas dan menghidupkan budaya ilmiah. Rustono (2014:4)
menjelaskan peneliti bukan wartawan pelapor data, pelapor berita/reporter, juga
bukan penulis buku. Peneliti adalah orang yang mengembangkan, menerapkan dan
membangun struktur pengetahuan. Meneliti tidak sekadar mengkaji, karena ia
adalah arsitek ilmu pengetahuan yang harus paham filsafat keilmuwan, penalaran
ilmiah, proses dan metode penelitian serta sarana berpikir keilmuwan.
Selama ini, masih banyak orang menganggap meneliti dan menulis hanya
tugas dosen. Sedangkan guru, melakukan hal itu hanya ketika memenuhi syarat
kenaikan pangkat. Hal itu pun tidak maksimal, karena rata-rata mereka membeli
“jurnal siluman” yang didapatkan dari penulis abal-abal (ghost writer).
Padahal hal itu tugas mereka, lalu jika demikian berarti ada yang salah dalam
diri guru. Ya, intinya malas menulis dan meneliti, hal itu menjadi “dosa besar”
bagi guru di negeri ini.
Usaha yang perlu dilakukan adalah mengubah cara berpikir dan perilaku
guru. Kemudian, kampus, dinas pendidikan, LPMP sampai UPTD harus benar-benar
mendorong, mewadahi, memfasilitasi dan memprovokasi guru untuk menulis dan
meneliti. Mengapa? Banyak guru memiliki ide bernas, namun mereka tak memiliki
“koneksi” dan minim pengetahuan tulis-menulis dan penelitian.
Djoko Santoso (2014) menjelaskan ada dua tipe akademisi di negeri ini,
yaitu pemikir dan pelaksana/terapan. Keduanya sangat berbeda, jika guru pemikir
tentu rajin menulis dan meneliti. Jika pelaksana, ia hanya menerima matang,
instan dan tidak mau berpikir dan mengritisi produk pemikiran yang ada. Lalu,
apakah guru di negeri ini tetap menjadi pelaksana saja tanpa berusaha menjadi
pemikir?
Tulisan yang Layak
Syarat tulisan yang baik menurut Ahmad Mukhadis (2014:5) adalah
keaslian, kualitas, kemutakhiran dan manfaat. Tulisan hasil pemikiran atau
penelitian, intinya sama-sama layak jika memenuhi syarat keilmiahan. Pertama;
asli bukan plagiasi dan setengah plagiasi. Asli di sini berarti benar-benar
karya pribadi, bukan pencuriaan gagasan, proses dan data dari orang lain.
Kedua; penelitian harus asli bukan fiktif. Ketiga; tidak ada falcification
atau manipulasi proses, bahan dan data penelitian. Keempat; tulisan harus
hasil kerja sendiri, bukan hasil pemerasan pemikiran orang lain. Hal ini sering
terjadi di jagad akademik kita, karena banyak pihak yang memanfaatkan
penelitian orang lain. Kelima; tulisan para guru juga harus menyesuaikan gaya,
format baku, ilmiah, rujukan primer, berkualitas dan up to date.
Prinsipnya, tulisan atau penelitian yang dilakukan guru harus
benar-benar upaya ilmiah untuk menemukan kebenaran, bukan sekadar memenuhi
syarat administratif “kenaikan pangkat”. Guru yang rajin meneliti dan menulis
adalah ciri guru revolusioner karena terus-menerus mengembangkan potensi demi
perubahan. Sangat lucu jika guru pola pikirnya sempit dan dangkal. Jika
demikian, apa pantas disebut guru? Saatnya guru di Blora menulis dan meneliti!
Jika tidak sekarang, kapan lagi?
0 comments:
Post a Comment