Mochammad Sayyidatthohirin |
Oleh Mochammad
Sayyidatthohirin
Pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan tadisional yang menjadi sarana atau media bagi para tokoh dan pemuka
muslim untuk mencerdaskan umat di abad 19. Melalui pesantren, mereka
memanfaatkannya untuk merealisasikan perintah dakwah dari Allah dalam QS.
Al-Imron: 104 sekaligus menjalankan salah satu konsep berdakwah dalam QS.
Al-Nahl: 30. Menurut Amin Haedari dalam bukunya Masa Depan Pesantren, pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional di mana seluruh peserta
didik tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Dengan sistem
pondok, kondisi di pesantren mampu mewujudkan suasana yang tenang dan damai,
sehingga para siswa di pesantren (baca: santri) bisa fokus dalam proses
pembelajarannya (Ahmad Sumpeno).
Dewasa ini, sekolah model pesantren kian
diminati banyak masyarakat khususnya umat muslim. Fenomena ini diperkuat dengan
argumentasi Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, bahwa sekarang sekolah-sekolah semakin mengarah ke model pesantren, Padahal
itu di luar negeri. Sebab, banyak kalangan mulai sadar akan manfaat yang nyata dari
pendidikan pesantren, sehingga peran eksistensi pesantren sebagaimana menurut
M. Dian Nafi’ dalam buku Praktis Pembelajaran Pesantren menjadi semakin
‘hidup’, yaitu sebagai Lembaga Pendidikan, Lembaga Keilmuan, Lembaga
Pelatihan, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Artinya, pendidikan pesantren bisa
dikatakan berhasil merealisasikan visi misinya.
Namun, dalam perkembangan kemajuan zaman pada
saat ini, pesantren tidak boleh puas dengan ‘prestasi’ cemerlangnya dalam
rangka mencerdaskan umat seperti keberhasilan pembuatan karya oleh Syeikh Nawawi
al-Bantani yang menjadi pegangan pembelajaran di Makkah dan Madinah. Demikian pula
karya Syeikh Mahfudh al-Turmusi yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar yang
menjadi kitab pegangan ilmu Hadis hingga sampai jenjang perguruan tinggi. Selain
itu, pesantren juga disebut sebagai “alat revolusi” dan penjaga keutuhan Negara
Republik Indonesia (NRI) pada masa awal kemerdekaan RI. Pada era ini, dikenal
para tokoh nasional seperti KH. Wahid Hasyim (salah satu anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) dan KH. Saifuddin Zuhri (Menteri Agama
Era Orde Lama) yang dibesarkan melalui pesantren, juga KH. Abdurrahman Wahid
yang bahkan berhasil menduduki kursi Presiden RI ke-4.
Pada saat ini, jika pesantren hanya menikmati
romantisme masa lalu dan tanpa diiringi penyesuaian terhadap perkembangan
zaman, pendidikan pesantren akan tertinggal. Pasalnya, pesantren hanya menjalankan
sistem pendidikan yang sejak dulu diterapkan tanpa ghirah untuk
“mengamandemen” sistem pendidikan pesantren demi kemajuan santri. Kalaupun ada,
persentasenya sangat kecil. Apabila kondisi demikian terus dipertahankan,
pesantren akan mengalami fase stagnasi karena sistem atau metode pendidikan
tradisionalnya dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.
Padahal, pesantren dituntut untuk selalu bisa
menjawab segala tantangan zaman karena dianggap masyarakat sebagai “ladang
ilmu”. Konsekuensi logisnya, para perangkat pesantren yang terdiri dari kiai, ustad,
santri, dan pihak lainnya harus mampu mengembangkan definisi pesantren ala Martin
van Bruinessen yang mengatakan bahwa pesantren adalah untuk mentransmisikan
Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis
berabad-abad lalu. Salah satu caranya yaitu dengan menerapkan pendidikan
elektronik (e-pendidikan).
Dalam kacamata sebagian kelompok, saat ini
pesantren dianggap menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas. Namun,
sayangnya pihak pesantren kurang bisa mengikuti alur perekembangan zaman. Salah
satu indikator dan buktinya ialah mayoritas pesantren belum mampu
mengoptimalkan perangkat-perangkat teknologi modern untuk difungsikan dalam
menunjang pendidikan santri sehingga terwujud pendidikan elektronik
(e-pendidikan) seperti proyektor, email, blog, youtube, dan perangkat teknologi
modern lainnya. Fakta di lapangan, saat ini pesantren hanya puas dengan
menyertakan mata pelajaran yang ada di sekolah umum, diantaranya bahasa
inggris.
Bahkan, saat ini banyak pesantren termasuk
Pondok Pesantren (Ponpes) Raudlatul ‘Ulum di Guyangan Trangkil Pati sedang
semangat menggalakkan para santrinya supaya menggunakan bahasa inggris dalam
bahasa sehari-hari. Upaya itu dilakukan dalam rangka penyesuaian kemajuan zaman
yang mana bahasa Inggris sedang menjadi bahasa Internasional, sehingga setiap
orang termasuk santri dituntut untuk bisa menguasainya, baik secara lisan dan
tulisan. Dengan begitu, diharapkan setelah lulus dari pesantren, para santri
diharapkan selain menjadi kader unggul juga mampu bersaing tidak hanya dengan
orang pribumi, akan tetapi juga orang asing. Namun, jika itu saja yang
dilakukan, maka setelah lulus dari pesantren santri akan mengalami
“kuperisasi”. Jika demikian terjadi, maka akan membahayakan nasib santri,
bahkan bangsa dan negara.
Maka, di zaman ini tidak cukup seorang santri
hanya menguasai bahasa Inggris tanpa diimbangi dengan penguasaan teknologi.
Sebab, hal itu akan memunculkan ketimpangan tersendiri. Menguasai bahasa inggris
menjadi satu keniscayaan bagi santri selain juga harus mengasai bahasa arab.
Namun, menguasai teknologi modern jauh lebih urgen. Sebab apabila santri hanya
mahir berbahasa inggris, maka akan setali tiga uang dan ibarat menegakkan tali
yang basah. Di masa depan, santri akan kalah bersaing dengan orang pribumi
ataupun asing yang mengasai teknologi. Sebab,
pada dasarnya bahasa inggris hanyalah ilmu alat yang seringkali perlu
diaktualisasikan melalui teknologi modern.
Oleh sebab itu, seluruh perangkat pesantren
terutama para ustad ataupun kiai yang berperan sebagai pendidik santri harus mau
dan mampu bersinergi dalam memfungsikan perangkat teknologi modern dalam
pendidikan elektronik (e-pendidikan). Dengan itu, para pendidik dalam konteks
ini para ustad dan atau kiai, akan lebih mudah dalam melakukan pemutakhiran
bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan
perkembangan keilmuan yang mutakhir. Selain itu juga mengembangkan diri atau
melakukan penelitian guna meningkatkan wawasannya dan mengontrol kegiatan
belajar peserta didik.
Dalam praktinya, para pendidik di pesantren
harus mampu memfungsikan perangkat elektronik dalam berbagai metode
pembelajaran santri seperti bandongan, sorogan, hafalan, diskusi, maupun
lainnya. Jika mereka masih ingin pesantren berperan sebagaimana pandangan M.
Dian Nafi’, maka mereka harus mau dan mampu bersaha merealisasikan itu semua
dalam pendidikan pesantren supaya tujuan pendidikan nasional dan pesantren
terwujud dan menghasilkan suatu karya, sehingga terwujud pula konsep maqolah “al-‘ilmu
bila ‘amalin ka al-syajarin bila tsamarin” (ilmu tanpa amal bagaikan pohon
tanpa buah).
Sebagai warga Indonesia dan sekaligus warga
pesantren, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk mampu mengintegrasikan antara
dua sistem pendidikan dengan e-pendidikan, baik berdasarkan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 Pasal 31 maupun konsep pendidikan ala KH. Sahal Mahfudz yang
berdasarkan kaidah ushul fiqih “al-muhafadah ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhdh
bi al-jadid al-aslah” (menjaga nilai lama yang baik dan mengadopsi hal baru
yang lebih baik). Dengan begitu, peran pesantren sebagaimana disebutkan M. Dian
Nafi’ akan benar-benar terwujud dan relevan dengan perkembangan zaman, yaitu
insan yang terampil, informal leader, berorientasi keahlian,
inventif (berdaya cipta), dan kreatif sehingga pesantren akan maju. Selain itu
juga, para santri akan menjadi insan seutuhnya, yakni sebagai warga negara
Indonesia sekaligus santri yang kafah. Wallahu a’lam bimurodihi.
Penulis adalah Qori’ Juara 1 Provinsi Jateng, Alumnus Ponpes Raudlatul ‘Ulum Pati,
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang.
0 comments:
Post a Comment