Blora, Harianblora.com - Inilah alasan masak terlalu asin berarti kebelet kawin menurut beberapa pendapat. Selama ini, di masyarakat Jawa dikenal pameo "kalau masak teralu asin atau keasinan, berarti kebelet nikah".
Pameo ini kebanyakan bagi perempuan yang belum menikah atau masih lajang. Di Kabupaten Blora sendiri, secara tidak sadar pemeo ini masih berlaku dan menjadi keyakinan warga Blora. Tak hanya di Blora, hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah, pameo bahkan mitos ini masih diyakini sebagai kebenaran.
Secara kimia, garam adalah senyawa netral dengan pH sekitar 7 yang terdiri atas ion-ion. Ada beberapa jenis garam. Mulai dari garam dapur, garam yodium, garam yang digunakan pengawet makanan, natrium klorida dan sebagainya.
Perspektif Sejarah
Berbeda dengan hal itu, Fitriani (34) salah satu pemerhati budaya dari Jogjakarta mengatakan, sebenarnya mitos atau kebiasaan itu hadir pertama kali di kalangan keraton. "Dulu, saat putri raja saat ingin menikah, tidak diizinkan oleh sang raja, karena ia hanya mencintai rakyat biasa dari desa. Kemudian, pada suatu hari ia disuruh masak, karena pembantu atau abdi dalem sedang sakit. Lantaran marah, akhirnya ia memberi garam terlalu banyak, sehingga rasa masakan menjadi asin," ujarnya.
Akhirnya sang raja marah karena masakannya terlalu asin. Saat itu pula, raja memanggil putrinya mengapa masaknya kok asin. Apa tidak bisa memasak, apa ada keinginan yang tidka dipenuhi. Saat dia disidang dan dilihat semua warga dan penghuni keraton, ia menjawab bahwa ia ingin menikah.
Kemudian, saat itu raja mengizinkan perkawinan puteri dengan lelaku pilihan putri yang berasal dari kaum jelata. Sejak saat itu, tidak ada perbedaan kasta, antara kaum santri, priyayi dan abangan.
Sejak saat itu lah, tiap ada perempuan yang memasak terlalu asin, maka ia dikatakan sebagai perempuan yang kebelet menikah. Hal itu diungkapan Fitri selaku alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Perspektif Ilmiah dan Budaya
Anik Sukaifah (24), sarjana lulusan Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, sebenarnya tidak ada hubungannya. Akan tetapi, garam atau asin di sini diidentikkan dengan benda yang sering bersentuhan dengan perempuan, yaitu ketika masak. "Kalau sudah pandai masak, berarti ia pandai dan siap menikah," ujarnya, Kamis (22/1/2015).
Kondisi asin, menurutnya, secara ilmiah diartikan sebagai kondisi yang menegaskan seorang sudah dewasa. "Air mata itu asin, air liur juga asin, maka air mani juga asin. Jadi, kalau keasinan, berarti ia sangat kebelet ingin menikah," paparnya.
Pendapat lain, diungkapkan Saeful Yusuf (21), ia adalah mahasiswa komunikasi Udinus Semarang. Menurutnya, asin di sini berarti tanda kedewasaan. Maka ada ungkapan "wis mangan uyah akeh" atau dalam bahasa Indonesia disebut "sudah banyak makan asam garam" berarti sudah pengalaman. Berpengalaman, katanya, itu tanda kedewasaan dan berarti kalau sudah cukup usia, ia siap menikah.
Kondisi asin atau asam, tidak hanya soal rasa. "Namun juga bau yang menyengat, misalnya keringatmu asam, berarti ia sudah dewasa karena sudah bekerja atau sering beraktivitas," paparnya.
Selain itu, masak terlalu asin itu juga pertanda atau mewakili perasaan perempuan. Nabila (43) salah seorang ibu rumah tangga di Blora, mengatakan memasak itu tidak bisa dilakukan semua orang. Memasak, di Jawa kebanyakan dilakukan laki-laki. "Perempuan itu lebih sering menyalurkan perasaannya lewat sesuatu, tidak lewat kata-kata. Maka ketika masak terlalu asin, itu adalah bahasa perempuan agar ia ingin dimengerti. Jadi, tidak semua masak asin itu ingin nikah, tapi lebih pada ingin diperhatikan," katanya.
Menurutnya, hal itu memang berbau mitos. Akan tetapi, baginya, hal itu sudah ilmiah. "Masak asin, tidak selamanya ingin nikah, itu menurut sejarahnya hanya guyonan atau sindirian. Yang paling penting dipahami, masak terlalu asin itu bahasa perempuan agar dimengerti, baik itu bapak, ibu dan adik atau kakak dalam suatu rumah tangga," jelasnya.
Memasak terlalu asin, menurut Kastomo (54), juga dimaknai sebagai wujud ekspresi marah perempuan terhadap orang di sekelilinganya. "Perempuan kalau marah kan kadang mengungkapkannya dengan perlakuan, bukan perkataan, salah satunya lewat masak dengan memberi garam terlalu banyak," katanya. (Laporan Khusus Redaksi Harianblora.com/Foto: Harianblora.com).
Pameo ini kebanyakan bagi perempuan yang belum menikah atau masih lajang. Di Kabupaten Blora sendiri, secara tidak sadar pemeo ini masih berlaku dan menjadi keyakinan warga Blora. Tak hanya di Blora, hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah, pameo bahkan mitos ini masih diyakini sebagai kebenaran.
Secara kimia, garam adalah senyawa netral dengan pH sekitar 7 yang terdiri atas ion-ion. Ada beberapa jenis garam. Mulai dari garam dapur, garam yodium, garam yang digunakan pengawet makanan, natrium klorida dan sebagainya.
Perspektif Sejarah
Berbeda dengan hal itu, Fitriani (34) salah satu pemerhati budaya dari Jogjakarta mengatakan, sebenarnya mitos atau kebiasaan itu hadir pertama kali di kalangan keraton. "Dulu, saat putri raja saat ingin menikah, tidak diizinkan oleh sang raja, karena ia hanya mencintai rakyat biasa dari desa. Kemudian, pada suatu hari ia disuruh masak, karena pembantu atau abdi dalem sedang sakit. Lantaran marah, akhirnya ia memberi garam terlalu banyak, sehingga rasa masakan menjadi asin," ujarnya.
Akhirnya sang raja marah karena masakannya terlalu asin. Saat itu pula, raja memanggil putrinya mengapa masaknya kok asin. Apa tidak bisa memasak, apa ada keinginan yang tidka dipenuhi. Saat dia disidang dan dilihat semua warga dan penghuni keraton, ia menjawab bahwa ia ingin menikah.
Kemudian, saat itu raja mengizinkan perkawinan puteri dengan lelaku pilihan putri yang berasal dari kaum jelata. Sejak saat itu, tidak ada perbedaan kasta, antara kaum santri, priyayi dan abangan.
Sejak saat itu lah, tiap ada perempuan yang memasak terlalu asin, maka ia dikatakan sebagai perempuan yang kebelet menikah. Hal itu diungkapan Fitri selaku alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Perspektif Ilmiah dan Budaya
Anik Sukaifah (24), sarjana lulusan Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, sebenarnya tidak ada hubungannya. Akan tetapi, garam atau asin di sini diidentikkan dengan benda yang sering bersentuhan dengan perempuan, yaitu ketika masak. "Kalau sudah pandai masak, berarti ia pandai dan siap menikah," ujarnya, Kamis (22/1/2015).
Kondisi asin, menurutnya, secara ilmiah diartikan sebagai kondisi yang menegaskan seorang sudah dewasa. "Air mata itu asin, air liur juga asin, maka air mani juga asin. Jadi, kalau keasinan, berarti ia sangat kebelet ingin menikah," paparnya.
Pendapat lain, diungkapkan Saeful Yusuf (21), ia adalah mahasiswa komunikasi Udinus Semarang. Menurutnya, asin di sini berarti tanda kedewasaan. Maka ada ungkapan "wis mangan uyah akeh" atau dalam bahasa Indonesia disebut "sudah banyak makan asam garam" berarti sudah pengalaman. Berpengalaman, katanya, itu tanda kedewasaan dan berarti kalau sudah cukup usia, ia siap menikah.
Kondisi asin atau asam, tidak hanya soal rasa. "Namun juga bau yang menyengat, misalnya keringatmu asam, berarti ia sudah dewasa karena sudah bekerja atau sering beraktivitas," paparnya.
Selain itu, masak terlalu asin itu juga pertanda atau mewakili perasaan perempuan. Nabila (43) salah seorang ibu rumah tangga di Blora, mengatakan memasak itu tidak bisa dilakukan semua orang. Memasak, di Jawa kebanyakan dilakukan laki-laki. "Perempuan itu lebih sering menyalurkan perasaannya lewat sesuatu, tidak lewat kata-kata. Maka ketika masak terlalu asin, itu adalah bahasa perempuan agar ia ingin dimengerti. Jadi, tidak semua masak asin itu ingin nikah, tapi lebih pada ingin diperhatikan," katanya.
Menurutnya, hal itu memang berbau mitos. Akan tetapi, baginya, hal itu sudah ilmiah. "Masak asin, tidak selamanya ingin nikah, itu menurut sejarahnya hanya guyonan atau sindirian. Yang paling penting dipahami, masak terlalu asin itu bahasa perempuan agar dimengerti, baik itu bapak, ibu dan adik atau kakak dalam suatu rumah tangga," jelasnya.
Memasak terlalu asin, menurut Kastomo (54), juga dimaknai sebagai wujud ekspresi marah perempuan terhadap orang di sekelilinganya. "Perempuan kalau marah kan kadang mengungkapkannya dengan perlakuan, bukan perkataan, salah satunya lewat masak dengan memberi garam terlalu banyak," katanya. (Laporan Khusus Redaksi Harianblora.com/Foto: Harianblora.com).
0 comments:
Post a Comment