Judul Buku : Stop Pacaran, Ayo Nikah!
Penulis : Hamidulloh Ibda
Penerbit : Lintang Rasi Aksara Books dan Lentera Aksara
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : xxiii+115 Halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 978-602-7802-18-6
Harga: Rp. 30.000
Oleh Siwi Fatmawati
“Jika setelah membaca buku ini, Anda tetap
pacaran dan tidak berani menikah, maka anggap saja buku ini adalah khayal dan
takhayul.” (Hal. xiii). Demikian pesan menarik yang
tertulis di buku ini dengan gaya bahasa lugas, tidak bertele-tele dan ngepop diterima
semua kalangan.
Sebelum membaca buku ini lebih dalam, seharusnya pembaca mengetahui
makna filosofis dan epistemologis tentang pacaran dan perkawinan. Dalam bahasa
“gaul” kita mengenal pacaran, bahasa formal adalah perkawinan dan bahasa Islam
namanya menikah. Ini berbeda, masing-masing memiliki definisi dan spirit tersendiri.
Jika pacaran, hubungan laki-laki dan perempuan sekadar “iseng” atau
“kucing-kucingan” menurut bahasa penulis buku ini. Jika perkawinan, hal itu
sudah melangkah lebih jauh, harus berani memberi nafkah sandang, pangan dan
papan kepada anak istri. Karena itu, banyak kawula muda tak berani menikah
dengan alasan harus menanggung kesejahteraan keluarga dari urusan A sampai Z.
Dalam buku ini disinggung beberapa hal, kiat, formula dan motivasi
menikah. Sangat menarik dan menambah wawasan jika para pembaca melahap habis
dari awal sampai bab terakhir. Selain itu, buku ini juga menjelaskan bagaimana
posisi dan etika bersetubuh dengan beberapa retorika dalam bercinta sesuai
anjuran agama. Jadi sangat cocok sebagai panduan bagi yang masih pacaran, sudah
berkeluarga atau baru menikah. (Hal. xiii-xiv).
Di zaman edan dan republik korslet
seperti ini, sangat sulit membedakan mana putih dan hitam, antara biru dan
ungu, antara halal dan haram, khususnya dalam dunia pacaran. Jika sudah
berkumpul dua orang laki-laki dan perempuan di tempat sepi, penulis yakin
sedikit banyak terjadi “tragedi” yang belum jelas halal-haramnya. Ini
sebenarnya sudah dilarang tegas oleh agama, akan tetapi dunia digital seperti
ini sudah menjadi hal wajar dan biasa-biasa saja.
Dalam hal ini harus ditegaskan kembali,
apa hukumnya pacaran?
Di dalam agama Islam, terminologi pacaran
memang belum ada atau belum tegas dihukumkan. Artinya, di dalam Islam hanya
dikenal istilah “zina” yang secara tegas hukumnya haram. Jangankan melakukannya, mendekati saja tidak boleh dan dilarang tegas dalam Alquran. Akan
tetapi, kita harus berijtihad, membuat formula cerdas, merumuskan pacaran yang
cerdas dan menganalogikan istilah pacaran ke dalam hukum agama. Banyak buku
fikih, menyebutkan bahwa hukum zina secara tegas haram dan dilarang.
Menurut jumhur ulama, hukum pacaran secara
tegas “haram”, meskipun banyak beberapa pendapat yang kontradiksi. Namun, hal
itu disanggah beberapa pemuda Islam yang hobi berpacaran.
Menurut penulis buku ini, pacaran Islami
jelas tidak ada. Jika ada pacaran Islami, maka juga ada zina Islami, korupsi Islami,
mencuri Islami. Jadi itu semua hanya alasan ideologis para aktivis Islam.
Pacaran ya pacaran, ia tidak memiliki jenis kelamin dan embel-embel agama. Demikian
tesis dalam buku karya Hamidulloh Ibda ini yang juga dijadikan mahar
pernikahannya.
Bagi mereka, selama pacaran tidak
melakukan hal negatif, hanya sekadar SMS-an, makan bersama, perhatian, saling
memotivasi, hukumnya adalah “halal”. Akan tetapi, bagi pemuda yang beraliran
fundamental dan tekstualis, hukum pacaran adalah “haram” karena mendekati
“zina”. Bagi mereka jelas, pacaran dan zina hampir sama, padahal mendekati zina
saja diharamkan, apalagi melakukan zina yang didalihkan pacaran. (Hal. 13-14).
Pertama, hukum pacaran halal. Mengapa?
Jika pacaran dijadikan alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi, hemat penulis
hal itu boleh dan sah-sah saja. Karena, terbukti saat ini banyak anak kiai,
banyak santri dan intelektual muslim berpacaran. Bahkan, banyak para penghafal
Alquran/hafiz dan hafizah juga berpacaran. Jiak sekadar berkomunikasi, bertemu
dan diskusi, bagi penulis jelas halal hukumnya. Jika dengan berpacaran timbul
motivasi, semangat hidup, belajar dan berkarya, maka sah-sah saja pacaran
dilakukan. Karena hakikat pacaran adalah memotivasi, menyuntik dan meludahkan
spirit hidup dan berkarya, bukan menjamah dan menghancurkan masa depan pasangan
dengan perilaku seks bebas.
Selama ini, banyak pacaran produktif.
Artinya, dengan pacaran terjadi motivasi hidup, motivasi berkarya dan melakukan
kebaikan lebih banyak lagi. Dengan memiliki pacar, seseorang akan lebih
semangat dalam melakukan kebaikan, belajar, bahkan bekerja dan beribadah. Dari
landasan ini, pacaran secara eksplisit hukumnya halal. Karena pacaran hanya alat,
bukan tujuan. Namun, jika pacaran dijadikan tujuan, penulis yakin akan terjadi
hal negatif, mulai dari ciuman hingga pergaulan bebas. Demikianlah epistemologi
pacaran. (Hal. 17).
Kedua, hukum haram. Saat ini banyak pemuda
terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan. Jiwa dan
pikiran mereka sudah konslet dan keluar dari norma agama.
Apakah mereka tidak menyadari
bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari khalwat atau
berdua-duaan dengan lawan jenis dan ikhtilath atau laki-laki dan
perempuan bercampur baur tanpa ada hijab/tabir penghalang? Padahal semua itu
telah dilarang dalam Islam. Apa maksudnya? Perhatikanlah tentang larangan
tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rasulullah Saw, “Sekali-kali tidak
boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu
bersama mahromnya.” (HR. al-Bukhori: 1862, Muslim: 1338).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani berkata: “Hadits
ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom
adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100). (Hal. 18).
Ketiga, hukum subhat. Pacaran dalam hal
ini masih berada pada kondisi yang tidak jelas halal dan haramnya. Artinya,
meskipun berdalih untuk mengenal dan memotivasi diri, tetapi pacaran tersebut
juga digunakan untuk melampiaskan nafsu. Inilah yang jelas merugikan pasangan
itu, terutama pihak perempuan, karena dijarah dan dieksploitasi tubuhnya.
Laki-laki itu tidak menjaga perempuan tersebut, tapi justru merusak dengan
menjamah tubuh perempuan itu dengan tidak dihalalkan dengan akad nikah. Hukum
subhat berarti remang-remang, ambigu dan sangat tidak baik jika pacaran
dilakukan. Dengan dinamika perbuatan yang tidak jelas, maka hukum pacaran tidak
jelas halal dan haramnya dan selalu dikejar-kejar dosa dan belenggu nafsu.
Lalu, apakah Anda akan tetap berpacaran? Tentu harus tegas dan cerdas. Jika
Anda cerdas, penulis buku ini yakin akan memilih menikah daripada sekadar melakukan
pacaran yang lebih cenderung menggiring pada lembah nafsu.
Berpacaran atau menikah adalah pilihan.
Karena Anda sendiri yang akan menanggung akibatnya nanti. Menuju neraka atau
surga juga terserah Anda. Ke utara atau ke selatan, ke cahaya atau ke lorong
hitam adalah pilihan. Akan tetapi, kenikmatan dan kepuasan bukanlah pada
pacaran, tapi di dalam nikmatnya pernikahan. Inilah yang harus dipahami secara
radikal dan ilmiah. (Hal. 19-20).
Setelah membaca buku ini, Anda harus mengambil keputusan. Menjadi
manusia baru, atau tetap ikut kekonyolan modern. Berhenti pacaran dan menikah,
atau tetap melampiaskan nafsu dengan pacaran. Anda punya pilihan! Setelah
membaca buku ini, Anda tidak punya waktu lagi, karena ini adalah masalah waktu,
this is about the time, hazal ajal, tidak ada waktu lagi mencari alasan
untuk tidak menikah. Selamat memilih, pacaran atau nikah? Anda punya pilihan.
Akhirnya, selamat membaca, semoga kita termasuk orang yang menemukan kebahagiaan
dalam pernikahan. (xxii).
-Peresensi adalah Aktivis Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Rayon FTIK UIN Walisongo Semarang.
0 comments:
Post a Comment