Semarang, Harianblora.com - Blora
Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat. Demikian tema besar dalam diskusi yang
digelar Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) Cabang Kabupaten Blora, Selasa
(20/1/2015). Selama ini, beredar paradigma bahwa Islam itu Arab, Nabi Muhammad
Saw adalah Arab, maka kita harus meninggalkan Jawa kita, budaya Blora kita.
Barongan, salah satu budaya Blora. |
Maka, banyak orang beranggapan
bahwa semua kebudayaan Blora harus ditinggalkan dan umat Islam harus jadi Arab.
Padahal, kita disuruh Tuhan jadi orang Blora. Hal itu diungkapkan Ahmad Fauzin, salah satu penggagas Lisuma Cabang Blora.
“Kalau berbicara Blora itu ya
ada Barongan, ada Tayub, ada uro-uro, ada nembang, ya ada Samin, ya ada wayang, ketoprak” ujarnya. Diskusi
yang digelar Lisuma Cabang Kabupaten Blora ini diikuti beberapa pengurus Lisuma
Blora dan Lisuma Jawa Tengah. Lisuma Kabupaten Blora adalah salah satu cabang
dari Lisuma Jawa Tengah.
Kami tidak berani meninggalkan
itu semua, lanjutnya, karena kita disuruh Tuhan jadi orang Blora. “Itu perintah
Allah, aku bukan orang Arab, aku orang Blora,” paparnya. Padahal, katanya,
Blora memiliki kebudayaan luar biasa, salah satunya adalah Baronga. “Di Arab
tidak ada barongan lo,” ujarnya.
Tuhan itu kan menciptakan
keindahan luar biasa, katanya, itu nikmat yang luar biasa. “Ada yang jadi orang
Blora, Pati, Demak, Rembang, Semarang. Itu keindahan yang luar biasa, kalau
sama semua, lalu makna lita’arafu di mana? Untuk saling mengenalnya di mana?”
bebernya.
Senada dengan itu, Muhammad
Bayanul Lail, Ketua Umum Lisuma Jawa Tengan mengatakan kita mengapresiasi orang
Arab. “Kita jangan memaksa orang Arab jadi orang Jawa, apalagi jadi orang
Blora,” tutur mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Walisongo Semarang
tersebut.
Bahkan, katanya, kita ini
menyanyikan nada Arab melebihi orang Arab. “Kita ini sudah mau menyanyikan
lagu-lagu Arab, itu sudah luar biasa. Karena tak mungkin orang Arab mau
nembang, apalagi main Barongan,” jelasnya.
Kita ini jangan dipaksa jadi
orang Arab, katanya, karena kita sudah mencintai bahasa Arab. “Meskipun Islam
bukan Arab, tapi kita tetap mencintainya. Justru, Nabi Muhammad itu nabi
universal, kalau nabi-nabi yang lain itu nabi lokal,” terangnya.
Kalau tidak karena Muhammad,
ujarnya, kita gak mau bahasa Arab. “Laulaka, laulaka ya Muhammad. Itu jelas,
karena tidak karena Engkau ya Muhammad, aku emoh bahasa Arab. Tapi karena
Engkau ya Nabi, jangankan bahasa Arab, seribu bahasa yang Engkau cintai, pasti
akan kami cintai juga,” tegas mahasiswa UIN Walisongo Semarang tersebut.
Maka dari itu, lanjutnya, prinsip
orang Blora adalah Blora digowo, Arab digarap, Barat diruwat. Artinya,
sebagai orang Blora, jangan tinggalkan kebudayaan, keluruhan dan nilai-nilai di
Blora. Sebagai orang Islam, kita harus menggarap budaya Arab, tidak semua Arab
itu Islam, karena Islam dan Arab itu beda. Kemudian, kita juga tak mungkin
meninggalkan budaya Barat, maka solusinya, apa saja yang datang dari Barat
harus kita ruwat, semua racun-racunnya kita bersihkan dulu sebelum kita pakai.
Saya pernah mengikuti pengajian
Maiyah oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng, kalau orang Jawa sudah tak bangga dengan
Jawanya, itu sudah ngawur. “Karena Tuhan menyuruh kita jadi orang Jawa, orang
Blora, jadi tidak boleh mengingkari hal itu,” tegasnya. (Red-HB34/Foto:
Harianblora.com).
0 comments:
Post a Comment