Arini Ulfa Garina, tawarkan solusi nasib Guru Tidak Tetap (GTT) di Kabupaten Blora. Guru SD Negeri 1 Pengkolrejo UPTD Japah Kabupaten Blora yang kini sedang menulis tesis di Prodi Pendidikan Dasar Konsentrasi PGSD Pascasarjana Unnes ini berharap antara guru PNS dan GTT sama. "Jangan ada kesenjangan antara guru GTT dan PNS," ujarnya kepada Harianblora.com, Rabu (14/1/2015).
Selama ini, menurutnya masih ada kesenjangan antara guru PNS dan GTT di Blora. Ia juga tidak setuju dengan asas guru senior dan junior. "Tetapi kalau bagi kami penting sekali membangun atmosfir yang nyaman di kantor," paparnya.
Selama ini, beban guru tidak tetap (GTT) di Blora sangat memprihatinkan. Dengan beban kerja sama, namun bayaran dan tunjangan yang berbeda. Di sisi lain, menurut Arini, guru dengan status GTT kadang-kadang juga dibebani dengan pekerjaan lain yang seharusnya kerjaan TU. Seperti jadi operator, ngurus administrasi dan sebagainya.
Atas porsi kerja yang njlimet dan banyak itu, menurut Arini tidak jarang banyak GTT terutama di SDN yang tidak masuk sekolah. "Gak semua GTT yang bertanggung jawab," ujarnya.
Menurut pendapat Arini, kondisi GTT yang tidak masuk itu karena beban kerja yang sangat banyak. "Bisa jadi itu ungkapan kekecewaan karena kesenjangan yang ada tadi," terangnya.
Ia sangat miris dengan kondisi GTT saat ini. "Bagaimana menurutmu jika bayaran 200 ribu dibebani kelas dan harus masuk tiap hari?" Tanya dia.
GTT di Blora memang sangat butuh perhatian. Pasalnya, kuliah S1 sangat tidak mudah. Juga dituntut mendidik dan mencerdaskan anak. "Pembantu saja sebulan minimal 500 ribu, lah guru cuma 200 ribu dengan segudang tuntutan," ujarnya.
Ia berharap, pemerintah memperhatikan nasib GTT di Blora. "Harusnya pemerintah mikirke kita lah," harapnya. Ironisnya, menurut Arini, banyak guru GTT di Blora yang sudah lama mengabdi namun juga belum mendapat tunjangan. "Wong untuk dapat tunjangan fungsional dan kesra saja gak tau persyaratane apa," katanya. Yang ngabdi baru, katanya, malah ada yang dapat, "Saya heran dengan sistemnya," paparnya.
Tawaran Solusi
Menurut Arini, kalau membicarakan GTT dan nasibnya memang tak ada habisnya. "Paling tidak, GTT dihargai dengan cara dibayar seperti sistem UMR. Pasti banyak orang-orang pintes di atas sana yang bisa memikirkan satu cara untuk memanusiakan GTT," jelasnya.
Ia berharap, ada pihak atau orang pinter yang duduk di atas memperhatikan nasib GTT dengan bayaran yang untuk membeli bensin saja tidak cukup perbulannya.
"Bagaimana caranya supaya GTT itu tidak ngenes," paparnya. Ia juga memberi solusi untuk mendata GTT, seleksi supaya dapat tunjangan. "Kita tak berharap apa-apa, cuma ingin dihargai. Beban kerja kita sama dengan PNS," paparnya. PNS saja, katanya, yang sudah sertifikasi paling tidak 1 bulan itu 9 juta. "La kita?" Ujarnya.
Itu pendapat saya tentang nasib GTT, lanjutnya, mungkin ada yang setuju mungkin ada yang tidak. Guru ini juga berharap, jika hal itu terlaksana, semua GTT yang kompeten bisa berlomba-lomba supaya mendapat kontrak kerja sesuai yang sudah diatur dalam UU ASN. "Bagi GTT yang malas-malas ya selamat tinggal saja," paparnya. Kalau tidak layak, katanya, tak mungkin dapat kontrak kerja.
Bagi GTT yang belum dapat kontrak, katanya, akan terdorong untuk mencari kontrak kerja jika sistem ini diterapkan pemerintah untuk menangkat nasib GTT. "Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan kinerja dan keprofesionalannya," paparnya. (Laporan Khusus Redaksi Harianblora.com/Foto: AUG). Baca juga: Tokoh Inspiratif dari Blora.
Arini Ulfa Garina |
Selama ini, beban guru tidak tetap (GTT) di Blora sangat memprihatinkan. Dengan beban kerja sama, namun bayaran dan tunjangan yang berbeda. Di sisi lain, menurut Arini, guru dengan status GTT kadang-kadang juga dibebani dengan pekerjaan lain yang seharusnya kerjaan TU. Seperti jadi operator, ngurus administrasi dan sebagainya.
Atas porsi kerja yang njlimet dan banyak itu, menurut Arini tidak jarang banyak GTT terutama di SDN yang tidak masuk sekolah. "Gak semua GTT yang bertanggung jawab," ujarnya.
Menurut pendapat Arini, kondisi GTT yang tidak masuk itu karena beban kerja yang sangat banyak. "Bisa jadi itu ungkapan kekecewaan karena kesenjangan yang ada tadi," terangnya.
Ia sangat miris dengan kondisi GTT saat ini. "Bagaimana menurutmu jika bayaran 200 ribu dibebani kelas dan harus masuk tiap hari?" Tanya dia.
GTT di Blora memang sangat butuh perhatian. Pasalnya, kuliah S1 sangat tidak mudah. Juga dituntut mendidik dan mencerdaskan anak. "Pembantu saja sebulan minimal 500 ribu, lah guru cuma 200 ribu dengan segudang tuntutan," ujarnya.
Ia berharap, pemerintah memperhatikan nasib GTT di Blora. "Harusnya pemerintah mikirke kita lah," harapnya. Ironisnya, menurut Arini, banyak guru GTT di Blora yang sudah lama mengabdi namun juga belum mendapat tunjangan. "Wong untuk dapat tunjangan fungsional dan kesra saja gak tau persyaratane apa," katanya. Yang ngabdi baru, katanya, malah ada yang dapat, "Saya heran dengan sistemnya," paparnya.
Tawaran Solusi
Menurut Arini, kalau membicarakan GTT dan nasibnya memang tak ada habisnya. "Paling tidak, GTT dihargai dengan cara dibayar seperti sistem UMR. Pasti banyak orang-orang pintes di atas sana yang bisa memikirkan satu cara untuk memanusiakan GTT," jelasnya.
Ia berharap, ada pihak atau orang pinter yang duduk di atas memperhatikan nasib GTT dengan bayaran yang untuk membeli bensin saja tidak cukup perbulannya.
"Bagaimana caranya supaya GTT itu tidak ngenes," paparnya. Ia juga memberi solusi untuk mendata GTT, seleksi supaya dapat tunjangan. "Kita tak berharap apa-apa, cuma ingin dihargai. Beban kerja kita sama dengan PNS," paparnya. PNS saja, katanya, yang sudah sertifikasi paling tidak 1 bulan itu 9 juta. "La kita?" Ujarnya.
Itu pendapat saya tentang nasib GTT, lanjutnya, mungkin ada yang setuju mungkin ada yang tidak. Guru ini juga berharap, jika hal itu terlaksana, semua GTT yang kompeten bisa berlomba-lomba supaya mendapat kontrak kerja sesuai yang sudah diatur dalam UU ASN. "Bagi GTT yang malas-malas ya selamat tinggal saja," paparnya. Kalau tidak layak, katanya, tak mungkin dapat kontrak kerja.
Bagi GTT yang belum dapat kontrak, katanya, akan terdorong untuk mencari kontrak kerja jika sistem ini diterapkan pemerintah untuk menangkat nasib GTT. "Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan kinerja dan keprofesionalannya," paparnya. (Laporan Khusus Redaksi Harianblora.com/Foto: AUG). Baca juga: Tokoh Inspiratif dari Blora.
Setuju dengan mba Arini..
ReplyDeleterejeki allah datang dari mana saja. ..
ReplyDeletesabar dan selalu bersyukur
Itulah Birakrasi Indonesia........
ReplyDeleteTidak memikirkan kwalitas & kwantitas SDM....
Dituntut S1 bagi guru GTT, Jam Kerja Full Time
Tapi Gaji......Lebih kecil dari PRT.
Ironisnya...????? Sudah hampir satu tahun
belum juga dicairkan. Apakah memang terlalu
miskin Indonesiaku kini???? Sehingga bayar gaji guru GTT saja tidak mampu?