Blora, Harianblora.com – Aktivis Kabupaten Blora tak
setuju Ujian Nasional (UN) online. Wacana yang dikeluarkan Kemendikbud ini masih
menuai kontroversi, terutama di kalangan pemerhati, pegiat dan aktivis yang
peduli pendidikan di Kabupaten Blora.
UN mulai tahun 2015 tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Akan
tetapi, wacana UN online menjadi polemik sendiri bagi kabupaten/kota yang belum
siap 100 persen. Apalagi di daerah tertinggal yang masih jauh dari peradaban.
Ketua Umum PD Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Blora,
Ammalia Choiyriyati Machmud kurang setuju atas wacana tersebut. “UN manual saja
sudah repot, banyak masalah dan banyak kecurangan apalagi online,”
jelasnya, Rabu (28/1/2015) malam.
Sekolah-sekolah di negeri kita tidak bisa
dipukul rata, ujarnya, dari segi fasilitas saja pasti banyak yang tidak
sebanding antara sekolah 1 dengan yang lain. “Kalau sekolah elite mungkin ya
komputer banyak, jaringan internet memadai, SDM sepadan, mungkin juga listrik
didukung genset,” tandas aktivis muda tersebut.
Ia juga meragukan sekolah yang komputernya
terbatas. “La kalau sekolah yang komputernya terbatas? Bahkan internet belum
terpasang, SDM juga kurang mendukung, kan tidak lucu apabila tiba-tiba sedang mengerjakan
UN tiba-tiba listrik padam,” terangnya. Kecuali kalau pihak penyelenggara UN,
katanya, sudah ada kesepakatan dengan PLN untuk tidak matikan listrik.
Senada dengan hal itu, Jayanti Yudha
Pertiwi, lulusan PGSD Unnes yang kini menjadi guru di Blora juga kurang setuju
dengan pelaksanaan UN online. “Kalau aku tak setuju bila pemerintah belum
siap akan sarana prasarananya, dan menurutku untuk sarprasnya sendiri
menyeluruh tentu butuh proses lama,” katanya kepada Harianblora.com.
Melihat tes CPNS kmrn berjalan dengan baik, katanya, tidak berlama-lama
waktu untuk melingkari jawaban dengan pensil. “Tapi ya itu kelemahannya jika
daerah belum siap kasihan muridnya,” tukas aktivis PMI Bogorejo Blora tersebut.
Seperti tes CPNS tahun 2014 dengan sistem
CAT baru terlaksana di karesidenan masing, lanjutnya, itu saja dengan jumlah
peserta yang tidak ada apa-apanya dengan jumlah murid SD seluruh kota,” ujar
dia.
Syamsul Arifin salah seorang aktibis Gerakan Pemuda
Nusantara (GPN) Cabang Blora juga tidak setuju jika UN berlangsung dengan
sistem online. “Saya tidak setuju, kalau memang sudah siap, silahkan saja. Tapi
kalau belum, jangan dipaksakan,” papar sarjana pendidikan tersebut.
Lulusan FTIK UIN Walisongo Semarang ini juga mengakui,
kesemrawutan UN saja masih terjadi, apalagi UN dilakukan dengan online. “Pasti
lebih semrawut,” ujar dia. (Red-HB19/Foto: Kemendikbud).
0 comments:
Post a Comment