Judul buku: Agama adalah Penyakit
Penulis: M Yudhie Haryono, dkk
Penerbit: Grafika Media Sidoarjo
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: 239
Harga: Rp 50.000
ISBN: 978-602-19154-0-0
Peresensi: Nailul Mukorobin
Staf Pengajar Psikologi Agama FIP Universitas Negeri Semarang
Agama ketika mati, ia terlahir kembali. Nyawanya semiliar. Sebab, ia
diwariskan, diajarkan, dan dihidupi serta menghidupi manusia. Bagai angin, ia
bergerak, hidup, memvirusi manusia di mana saja dan kapan saja. (Hlm.iii). Dengan
alasan fundamental itulah, penulis buku ini menganggap agama adalah penyakit. Bisa
menyesatkan, sekaligus mencerahkan.
Menurut penulis buku ini, banyak orang beragama mengalami “candu
metafisik”. Merasa apa yang dilakukan adalah metafisika. Padahal, metafisik
yang romantis dapat mengakibatkan kebiasaan berfantasi yang akan menjadikannya
mengalami “ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan nyata”.
Buku ini secara tegas juga mendekonstruksi “cacat bawaan agama”. Banyak
orang beragama menilai dirinya dan agamanya paling benar dan menyalahkan yang
lain. Itu lah wujud agama membawa cacat dan virus. Dus, dari itu lah agama yang
seharusnya menjadi alat penyemai kebersamaan, justru melahirkan fanatisme buta
dan menyakiti pemeluknya sendiri.
Cacat Bawaan Agama
Sejak lahir, semua agama membawa pesan yang mirip secara seimbang,
yaitu ketuhahan atau tauhid, kemanusiaan dan lingkungan. Sayanganya, dimensi ketuhanan
lebih besar daripada kemanusiaan dan lingkungan. Padahal jika mengacu pada
ayat-ayat Alquran, dimenasi kemanusiaan dan lingkungan lebih banyak jumlahnya. Sebab,
2/3 Alquran berisi dimensi kemanusiaan dan lingkungan. (Hlm. x).
Mau bukti? Lihat saja pendapat Alquran tentang orang yang mendustakan
agama. Pada surat Alma’un/108: 1-7 mereka yang mendustakan agama bukanlah yang
mengingkari Tuhan semata, melainkan orang yang 1) menghardik anak yatim, 2)
tidak memberi makan orang miskin, 3) bersikap sombong dan ke 4) tidak mau
berzakat.
Secara berurut, buku ini akan dimulai dengan menggali kembali
gagasan-gagasan Nurcolich Madjid sebagai peletak dasar Neo-Modernisme Islam di
Indonesia. Kemudian, diikuti tesis Karen Armstrong tentang fundamentalisme
agama.
Berikutnya, tokoh Albert Houroni yang menjadi sejarawan ensiklopedis
agama-agama Ibrahimian. Dilengkapi riset dari Philip K Hitti yang
mendeskripsikan sejarah bangsa Arab dengan sangat monumental. Kemudian, kita
akan berselancar melihat mazhab Wilfred Cantwell Smith dalam kajian sosiologi
agama. (Hlm. xi).
Tak hanya itu, dalam buku ini mendekonstruksi pemikiran Kuntowijoyo
serta Edward W. Said tentang gagasan semiotika dan orientalisme. Juga Frithjof
Schoun, sang nabi penemu filsafat perennial yang dijuluki one level under
all propgetic.
Agar tak kering, buku ini juga mengangkat pemikiran Huston Smith,
Mircea Eliade dan juga Paulo Coelho sang pendiri mazhab pauloisme.
Buku ini pernah diresensi oleh Hamidulloh Ibda yang mengusung judul “Benarkah
Agama itu Penyakit” di situs NU. Ibda mengatasnamakan peneliti dari Centre for
Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang. Namun ia mendapat kritikan keras
dari berbagai elemen, terutama warga NU itu sendiri.
Penulis, pada halaman (xii) juga meminta kritik dan saran atas buku
kontroversial ini. Sebab, cara penulis dalam mencintai agama dan merayakan
keberagaman adalah dengan mengusung pluralitas tanpa batas.
Sambil bertuhan dan beragama, mari membuka diri dan selamat membaca.
0 comments:
Post a Comment