Oleh Dian Marta Wijayanti
Penulis adalah Alumni SMA Negeri
1 Blora, Guru dan Asesor USAID Prioritas
Jawa Tengah
Istilah “revolusi mental” ramai didengungkan sejak Joko Widodo
ditetapkan KPU dan MK sabagai presiden terpilih. Namun, “revolusi mental”
bukanlah bentuk terobosan baru. Pasalnya, selama ini berbagai usaha yang telah
dilakukan oleh berbagai bidang, baik itu pendidikan, ekonomi, maupun sosial
telah ditujukan pada “revolusi mental”. Tepatnya, upaya perbaikan kualitas
kehidupan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam semua bidang kehidupan.
Keadaan yang mencengangkan dalam dunia pendidikan pada akhir-akhir ini
memang urgen untuk diwaspadai. Banyaknya tindakan kejahatan yang membawa
pelajar pada status “tersangka”, selayaknya mengantarkan pendidikan pada
revolusi mental pembelajaran yang lebih “nyata”.
Tidak ada pendidikan yang mengajarkan pada keburukan. Pada dasarnya,
pendidikan adalah usaha untuk mengubah dari yang kurang baik menjadi baik, dari
yang belum bisa menjadi bisa, dan yang dari tidak tahu menjadi tahu. Namun,
kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat pendidikan berjalan tidak
mulus. Hal ini tampak jelas dari fenomena-fenomena yang telah menjerat pelajar
pada mental seorang “penjahat”.
Keberadaan kurikulum 2013 yang mengedepankan “karakter” patut untuk
diberi dukungan meskipun dalam implementasinya masih banyak kekurangsiapan.
Kurikulum ini didesain untuk mendidik anak menjadi generasi yang tidak hanya “pandai”
tapi juga “beradab”. Adab sangat penting untuk dibiasakan oleh anak karena
Indonesia tidak hanya butuh orang pintar. Indonesia sudah memiliki ribuan orang
pintar, tapi untuk generasi yang beradab sangat tidak mudah menemukannya.
Sebagai bukti, tertangkapnya tiga menteri kabinet SBY sebagai tersangka kasus
korupsi kekayaan negara. Sangat jelas mereka adalah orang-orang yang tidak
diragukan lagi kepandaiannya, tapi sikap yang demikian sungguh memberikan
contoh yang tidak baik bagi anak-anak yang seharusnya mengidolakan para tokoh
negara sebagai profil pujian.
Menyadarkan Revolusi Mental
Kesempatan yang diberikan oleh kurikulum untuk tidak berfokus pada
kemampuan kognitif anak, memberikan waktu yang cukup banyak bagi guru untuk
mendidik siswa. Untuk mendidik, guru tidak membutuhkan sedikit waktu. Dalam hal
pembiasaan guru butuh banyak waktu untuk mengenal, menyelidiki, mengamati, dan
memberikan tindakan terhadap masing-masing karakter siswa.
Dunia tidak bisa menutup mata bahwa anak-anak zaman sekarang tidak
dapat disamakan dengan anak-anak zaman dulu. Anak-anak zaman dulu baru
diberikan kode dengan sorot mata sudah bisa paham. Tapi “tidak” dengan anak
sekarang. Perlu tenaga dan tekanan urat syaraf lebih sabar untuk menghadapi
perilaku siswa. Bahkan tidak jarang anak-anak zaman sekarang tidak takut dengan
gurunya. Nasihat demi nasihat yang diberikan hanya dianggap sebagai angin lalu
dan lelucon yang sama sekali tidak mengena di hati mereka.
Hal demikian tidak banyak disadari oleh orang tua. Ketika anak dititipkan
kepada sekolah, banyak orang tua yang mulai lepas tangan. Bahkan tidak jarang
yang sama sekali tidak peduli dan tidak melakukan komunikasi terkait
perkembangan anaknya di sekolah. Padahal, bisa jadi sikap anak di sekolah dan
di rumah “berbeda”. Oleh karena itu, revolusi mental pembelajaran harus
sedemikian mungkin dilakukan oleh para pendidik agar “sejak dini” anak terbiasa
dengan karakter positif seperti yang telah didesain oleh para pakar pendidikan
demi kebaikan bersama.
Siap Berevolusi
Tantangan menjadi guru yang revolusioner dan inovatif tidak hanya
sekadar “teori perkuliahan”. Tugas ini nyata dan harus segera dilakukan. Jangan
sampai para generasi emas ini menjadi korban kekejaman zaman yang semakin tak
terkendali.
Pertama, pendidikan membiasakan siswa disiplin di sekolah. Penanaman
disiplin sejak dini sangat penting dilakukan. Selama ini banyak sekolah yang
menyusun tata tertib sedemikian rupa tapi dalam penekanan “sanksi” seakan
terabaikan. Hal ini berdampak pada kurangnya kejelian baik siswa maupun orang
tua terhadap peraturan yang harus dipatuhi. Disiplin diawali oleh guru sebagai
model yang akan diteladani oleh siswa. Bagi siswa yang tidak mematuhi peraturan
sebaiknya diberikan sanksi sesuai aturan. Jika perlu, guru dapat membuat
kontrak sosial di awal pembelajaran dengan diketahui oleh orang tua. Hal ini
dimaksudkan agar kedisiplinan yang ditegakkan merupakan harapan bersama yang
akan dilaksanakan secara bersama-sama pula. Perlu sinergi antara orang tua,
guru, dan pihak sekolah.
Kedua, menjadikan guru sebagai teladan langsung bagi siswa. Guru adalah
model yang lebih banyak dianut siswa dibandingkan orang tuanya sendiri di
rumah. Sebagai seorang model , hendaknya guru mampu memberikan teladan baik itu
dalam hal penampilan maupun sikap, tutur kata, dan tingkah laku. Saat ini siswa
sudah berani memberikan penilaian terhadap gurunya. Tidak jarang mereka
memberikan penilaian terhadap penampilan guru yang kurang menarik, tutur kata
guru yang kurang sopan, maupun tingkah guru yang asing di mata mereka. Maka,
guru harus berhati-hati dan mampu memberikan contoh yang baik di depan siswa.
Hal ini akan memberikan pengalaman langsung bagi siswa.
Ketiga, terbuka dalam pemberian penilaian sikap. Artinya, anak diberi
tahu penilaian sikap apa yang selama pembelajaran akan diamati oleh guru. Anak
juga diberi kesempatan untuk memberikan penilaian bagi teman dan dirinya
sendiri sebagai penilaian diri. Dengan begitu, anak akan terbiasa untuk saling
mengingatkan dalam bersikap. Hal ini memang agak mengkhawatirkan jika orientasi
anak hanya berpihak pada nilai. Namun, hal itu bisa ditutupi dengan nilai-nilai
“pembiasaan” jika penilaian seperti ini dilakukan dalam setiap hari. Kebiasaan
yang dibudayakan akan lebih tertanam dibandingkan nilai-nilai yang hanya
diwujudkan dalam bentuk teori.
Revolusi mental pembelajaran tidak dapat berjalan jika guru hanya
berfokus pada instrument penilaian yang disusun. Komunikasi merupakan
“jembatan” utama untuk menyukseskan visi perbaikan karakter siswa. Sinergi
orangtua, sekolah, dan masyarakat adalah jawabannya. Saatnya merevolusi
pembelajaran
0 comments:
Post a Comment